HARI-hari ini publik di tanah air dikejutkan oleh wacana redenominasi rupiah yang dilontarkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution saat rapat dengar pendapat dengan DPR akhir Juli lalu. Gagasan redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah itu dilakukan Bank Indonesia dengan meniadakan tiga angka nol terakhir sehingga menjadi seperseribu dari nilai semula. Jika gagasan BI itu disetujui, mulai 2013 redenominasi siap digulirkan.
Alasannya adalah demi menyederhanakan perhitungan sehingga nilai rupiah menjadi sejalan dengan kehidupan, tetapi bukan sanering atau pemotongan nilai uang. BI mengingatkan nilai pecahan mata uang Indonesia sebesar Rp 100.000 merupakan angka pecahan terbesar di dunia. Pecahan mata uang Indonesia itu hanya kalah dari dong Vietnam yang memiliki pecahan 500.000 dong. Dengan pecahan yang amat besar itu, rupiah menjadi tidak efisien, tidak bergengsi, dan terkesan lemah di mata internasional.
Nantinya pecahan mata uang disederhanakan tanpa mengurangi nilai dari uang. Nilai mata uang tetap sama meski angka nolnya berkurang. Misalnya Rp 1.000 menjadi Rp 1, sedangkan Rp 1 juta menjadi Rp 1.000. BI akan membuat pecahan koin sen seperti zaman dulu dan kembali diedarkan. BI memberikan contoh dengan mata uang lama, membeli barang dengan harga Rp 300.000 sama dengan Rp 300 dengan mata uang baru. Jumlah barang yang diperoleh juga sama.
Menurut BI, kebijakan seperti itu mengikuti kebijakan Turki pada Januari 2005 yang menggantikan 1.000.000 lira dengan 1 lira baru. Berikutnya pada Juli 2005 Romania menggantikan 10.000 leu lama dengan 1 leu baru.
Meski gagasan ini nawaitunya bagus, namun karena wacana penyederhanaan rupiah ini terkesan tiba-tiba, tak pelak memunculkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Apalagi
pemerintah sendiri seperti disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, tidak pernah diajak BI untuk membahas persoalan itu dan Pemerintah tidak punya agenda itu.
Namun karena wacana telanjur bergulir di masyarakat, maka munculnya polemik dan keresahan pun tak terhindarkan. Banyak yang terkejut. Karena tidak mengerti, banyak yang menolak, karena masyarakat sudah berpikir salah bahwa itu sanering atau pemotongan uang rupiah. Hal ini bisa dimaklumi, karena pemerintah Indonesia pernah melakukan pemotongan uang tahun 1950-an maupun sanering tahun 1965 di saat ekonomi Indonesia dilanda inflansi yang sangat tinggi, 650 persen.
Padahal, dari aspek pengawasan dari pemerintah, pemberlakuan redenominasi nilai rupiah akan menguntungkan, karena akan meringankan. Dengan redenominasi, maka pengawasan menjadi lebih praktis, karena jumlahnya lebih kecil.
Hanya saja agar redenominasi rupiah ini berhasil, maka sebelum diterapkan, BI dan pemerintah harus mengatasi masalah pokok ekonomi Indonesia. Mengutip mantan Deputir Gubernur BI, Anwar Nasution, antara lain menyehatkan industri perbankan sehingga dapat menggerakkan roda perekonomian. Meningkatkan pengawasan bank agar dapat memenuhi ketentuan nasional, mengendalikan kurs riil devisa agar bisa merangsang daya saing perekonomian nasional agar dapat menciptakan lapangan kerja, terutama industri manufaktur yang berada di pulau Jawa.
Sekali lagi kita mengapresiasi rencana menyederhanakan mata uang rupiah. Hanya saja soal timingnya sekarang belum tepat. Sebab masih masih banyak persoalan yang membelit perekonomian dan bangsa ini. Terutama menghadapi era perdagangan bebas, dengan masuknya barang-barang murah dari negeri jiran, terutama Cina, sejauh ini pemerintah belum berbuat banyak untuk melindungi pengusaha lokal yang kian terjepit. (*)
corner, 7 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar