HARI Ulang Tahun (HUT) Ke-65 Kemerdekaan RI, 17 Agustus kemarin menjadi hari yang tak akan pernah dilupakan oleh 341 narapidana (napi) kasus korupsi. Para koruptor itu mendapatkan keringanan hukuman berupa remisi dan grasi, bahkan 11 di antaranya langsung menghirup udara bebas karena mendapat Remisi Umum (RU) II. Sisanya, sebanyak 330 napi mendapat RU I atau bebas bersyarat, di antaranya terpidana korupsi dana Yayasan Pengembangan dan Perbankan Indonesia (YPPI) Rp 100 miliar, Aulia Tantowi Pohan, dan Artalyta Suryani yang menjadi terpidana penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar berdalih, pemberian remisi bebas bersyarat kepada Aulia Pohan yang tak lain besan Presiden SBY itu sudah sesuai prosedur. Jika ada pihak yang tidak setuju atas pemberian bebas bersyarat kepada Aulia pohan dan kawan-kawan, maka sebaiknya undang-undang yang mengatur pemberian remisi maupun bebas bersyarat kepada napi diubah. Menurut Patrialis, itu hak mereka. Kalau kami tidak berikan hak itu (remisi dan bebas bersyarat), kata Patrialis, kami bisa dituntut. Pernah ada kejadian itu dan kami kalah. UU tidak boleh diskriminatif,.
Pemberian remisi untuk para koruptor yang terkesan diobral pemerintah itu mengundang kecaman, serta disesalkan, di antaranya oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena dianggap tidak sesuai dengan semangat pemerintah memberantas korupsi yang selama ini selalu disampaikan oleh Presiden SBY dalam berbagai kesempatan. Selain itu juga melukai rasa keadilan publik.
Wakil Ketua KPK M Jasin, menilai pemberian remisi terhadap para koruptor itu kontraproduktif dengan sifat pidana korupsi yang termasuk kategori kejahatan luar biasa. Sebuah kejahatan luar biasa harus diselesaikan secara luar biasa dan hal itu sudah ditunjukkan dengan lahirnya UU No 30/2002 tentang KPK yang memberi kewenangan penuh lembaga itu memberantas korupsi.
Terhadap para koruptor, seharusnya tidak ada toleransi. Karena korupsi juga merupakan kejahatan kemanusiaan yang telah merusak sistem demokrasi, ekonomi, dan program ekonomi yang digerakkan pemerintah. Sehingga, semangat yang dibangun pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kemenkumham juga seharusnya adalah semangat untuk memberangus korupsi dengan semua cara. Termasuk dengan tidak memberikan potongan masa tahanan kepada para terpidana korupsi.
Untuk itu, ke depan Presiden SBY diminta tidak mengabulkan setiap grasi. yang diajukan oleh terpidana korupsi atau remisi/pengurangan hukuman bagi para koruptor. Kareena sekarang kita sedang menghadapi situasi darurat korupsi. Kalau tidak, suatu hari SBY akan kewalahan sendiri menghadapi para koruptor yang berharap dibebaskan seperti mantan Bupati Kutai Kertanegara, HM Syaukani HR, terpidana korupsi Rp 93 miliar yang baru saja dibebaskan dengan grasi. Mereka akan menuntut, "Kalau Syaukani bisa, mengapa kami tidak"
Presiden harusnya tidak begitu drastis dalam pemberian grasi supaya menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Presiden harusnya tidak semata-mata melihat aspek kemanusiaan, tapi juga aspek psikopolitik masyarakat yang sudah diyakinkan dengan pidato Presiden tentang pemberantasan korupsi sebagai program nomor wahid.
Sejumlah kalangan mengusulkan adanya moratorium atau penghentian rermisi bersifat sementara, sampai terjadi penguatan perlawanan terhadap koruptor. Bila nantinya situasi pemberantasan korupsi sudah membaik, pemberian remisi bisa dibuka kembali. Namun sebelum dibuka kembali, ketentuan- ketentuan yang mengatur soal remisi atau grasi perlu direvisi, dengan memperberat persyaratan bagi pemberian grasi atau remisi. Sebab penegakan hukum terletak pada pemidanaannya, sehingga pemidanaannya yang diperberat agar betul-betul bisa memberikan efek jera. (*)
corner, 23 Agustus 2010
Minggu, 05 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar