Minggu, 05 September 2010

Malaysia-Indonesia Skore Telak 7:3

SEORANG temen di Tanjungpinang menulis di status facebooknya dengan kalimat yang menggelitik sekaligus membuat kita mengelus dada, karena meskipun pahit kenyataannnya realitas ekonomi politik dan keamanan Indonesia memang kalah pamor dan diplomasi dibanding negeri jiran terdekat kita, Malaysia. Inilah tulisan status temen facebooker, "Salam Olahraga!!! Ibarat pertandingan sepakbola, Malaysia baru saja membantai tim Indonesia dengan skor telak 7-3. Hebatnya lagi, gol-gol tersebut dihasilkan oleh tujuh nelayan Malaysia...."
Ya, itulah gambaran antiklimak insiden di perbatasan dua negeri serumpun, Indonesia-Malaysia yang kini menjadi isu nasional, menggetarkan relung-relung batin sebagian warga bumi pertiwi Indonesia yang terusik jiwa nasionalismenya. Ini menambah daftar panjang kenakalan ini Malaysia dimata publik Indonesia. Mulai dari urusan batas wilayah, pemulangan paksa TKI, klaim lagu dan budaya, hingga pencurian ikan di daerah perbatasan yang nyaris setiap tahun menjadi berita di media Indonesia.
Ketika kita membaca, tiga petugas patroli dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Kepri ditahan Marine Police Malaysia (MPM) karena menangkap tujuh nelayan tradisional negeri jiran yang menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) di perairan Tanjung Berakit, Bintan, Kepri, kita pun tersinggung dan marah.
Karena jelas-jelas tindakan tujuh nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Indonesia dan aksi polisi air Malaysia mengeluarkan tembakan ke petugas KKP untuk membebaskan tujuh nelayan yang ditangkap merupakan pelanggaran teritorial alias kedaulatan negara. Karena terjadi di wilayah perairan Indonesia.
Ulah nakal aparat keamanan negeri jiran itu semakin publik meradang, karena memperlakukan 3 petugas KKP layaknya tahanan kriminal, dipaksa pakai seragam tahanan, tidak diberi makan untuk sahur, dan salah seorang petugas KKP itu sempat dipukul pakai popor senapan menolak ketika dipaksa untuk mengarahkan perahu nelayan yang ditangkapnya ke perairan Malaysia.
Saat tim negosiator dari Indonesia bernegosiasi untuk membebaskan tiga petugas KKP yang ditahan di Johor, pihak Polisi Di Raja Malaysia (PDRM) meminta 7 nelayan yang mencuri ikan itu harus dibebaskan lebih dulu. Bahkan mereka sempat tidak mau melepas tiga petugas KKP. Ini berbeda jauh dengan perlakuan yang diberikan petugas kita kepada 7 nelayan saat ditahan maupun dipulangkan melalui bak tamu kehormatan melalui ruang VIP pelabuhan Batam Centre.
Pembebasan petugas patroli itu dan 7 nelayan Malaysia lebih tepat disebut sebagai 'tugar guling' atau barter, meski pemerintah membantah. Logikanya, wajar kita minta kepada Malaysia membebaskan 3 petugas patroli KKP itu, mereka ditangkap saat sedang melaksanakan tugas negara, menangkap pelanggar tapal batas negara.
Penangkapan ini sama saja melecehkan Indonesia. Sebaliknya, pelepasan tujuh nelayan pencuri ikan asal Malaysia telah mempertaruhkan masa depan penegakan hukum laut terotorial Indonesia. Ini bisa menjadi preseden buruk, ketidaktegasan dan kelemahan pemerintah Indonesia ini akan membuka peluang Malaysia untuk mengklaim wilayah kita di masa mendatang.
Persoalan perbatasan ini adalah sumber masalah utama yang bersifat jangka panjang. Apalagi wilayah perbatasan laut Indonesia memiliki posisi strategis karena dekat dengan Lautan Pasifik dan Lautan Hindia yang merupakan stok ikan yang nyaris tak terbatas. Anugerah Tuhan ini membuat iri bukan kepalang para nelayan Malaysia, dan negeri jiran lainnya sehingga mereka sangat senang mencuri ikan dil autan Nusantara. Konflik-konflik perbatasan dengan Malaysia tak bisa lagi hanya diselesaikan di tingkat para diplomat kelas bawah. Diperlukan diplomat-diplomat yang canggih untuk merundingkan kembali masalah tapal batas kelautan kedua negara, agar kejadian memalukan, dengan skore 7:3 untuk Malaysia tidak terjadi lagi. (*)

corner, 19 Agustus 2010

Tidak ada komentar: