Minggu, 05 September 2010

Insinden Perbatasan

UNTUK kesekian kalinya terjadi insiden di perbatasan antara dua negeri serumpun; Indonesia dan Malaysia. Kali ini sekitar 10 petugas pengawas perikanan dari Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Kepulauan Riau (Kepri) terlibat insiden kontak bersenjata dengan Petugas Marine Police Malaysia di wilayah Perairan Tanjung Berakit Pulau Bintan, Kepri, Jumat (13/8) malam.
Polisi Malaysia sempat menembaki kapal patroli DKKP yang hendak mengamankan tujuh nelayan asal Malaysia setelah kedapatan melakukan illegal fishing di Perairan Bintan. Buntut dari insiden tersebut, tiga petugas pengawas perikanan Dinas KKP kini ditahan di Malaysia. Sebaliknya, tujuh nelayan Malaysia yang mengaku terbawa ombak dan tidak tahu posisinya di mana saat berada di perairan Berakit kini ditahan di Mapolda Kepri.
Insiden berawal ketika aparat KKP yang sedang berpatroli di wilayah perairan utara Pulau Bintan sekitar pukul 21.00 WIB, mendapati lima buah kapal nelayan asal Malaysia. Saat itu pula petugas yang menggunakan kapal patroli Dolphin 015 berusaha menangkap nelayan-nelayan tersebut. Setelah dikejar, kapal Dolphin pun berhasil merapat. Malam itu juga tujuh nelayan bersama lima kapal miliknya akan dibawa ke Batam untuk diproses secara hukum.
Sementara tiga petugas KKP berpindah ke kapal milik nelayan untuk membawanya ke Batam sebagai barang bukti dalam tindak kejahatan illegal fishing. Namun berselang sekitar 45 menit perjalanan menuju Pulau Batam, tiba-tiba mereka disergap sebuah kapal patroli dari Police Marine Malaysia (PMM) yang masuk wilayah Indonesia untuk pembebasan tujuh nelayan yang telah diamankan kapal KKP. Karena pihak KKP tak mau menyerahkan, pihak PPM langsung melepaskan tembakan ke udara sebelum menangkap tiga petugas KKP dan membawanya ke Johor Malaysia beserta lima kapal nelayan yang gagal dibawa ke Batam.
Jajaran Ditpolair Polda Kepri langsung melakukan negosiasi untuk melepaskan para tahanan tersebut dengan menghubungi Polisi Diraja Malaysia. Namun mereka menjawab bahwa urusan pembebasan bukan lagi menjadi tanggung jawab antara polisi dua negara. Namun proses hukumnya sudah mengarah pada hubungan bilateral kedua negara, melalui Departemen Luar Negeri.
Insiden di perbatasan negeri jiran yang diwarnai dengan aksi kekerasan berupa penembakan terhadap aparat KKP Kepri oleh Polisi Diraja Malaysia di wilayah perairan Indonesia tersebut menunjukkan adanya arogansi negeri jiran tersebut. Sebab meskipun maksudnya untuk membebaskan nelayan warga negaranya yang ditangkap aparat Kepri karena melakukan illegal fishing, tetapi dengan mereka nekat memasuki wilayah perairan Indonesia dan menangkap tiga petugas KKP menunjukkan watak asli rezim negeri jiran tersebut.
Seperti diketahui, insiden-insiden yang terjadi di perbatasan kedua negara serumpun ini, antara lain di perairan Ambalat Kalimantan Timur selalu didahului dengan provokasi dari kapal- kapal Malaysia yang memasuki perairan Indonesia. Karena itu sudah sepantasnya pemerintah RI mengirim nota protes kepada pemerintah Malaysia, karena telah melanggar aturan perbatasan.
Kita mengapresiasi sikap Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang bertindak cepat dengan memerintahkan anak buahnya di Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur dan Konsulat Jenderal RI di Johor Baru untuk menangani kasus penangkapan sekaligus mengupayakan pembebasan tiga petugas KKP Kepri yang ditangkap PMM saat patroli di wilayah perairan Indonesia. Kita harus bersikap tegas terhadap Malaysia, agar mereka tidak memandang remeh Indonesia.
Insiden perbatasan ini menjadi momentum untuk merundingkan kembali permasalahan perbatasan yang tak kunjung tuntas antara kedua negara yang berbatasan laut dan daratan itu. Proses perundingan didalamnya harus didukung oleh bargaining position yang kuat yaitu pertahanan. Artinya pertahanan sebagai alat diplomasi yang tidak hanya dimaknai sebagai tujuan perang tetapi juga sebagai sarana perdamaian untuk tercapainya kesejahteraan. (*)

corner, 15 Agustus 2010

Tidak ada komentar: