PERKEMBANGAN demokrasi kita terkait perilaku korupsi, khususnya dalam penyelenggaraan pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) langsung kian mengkhawatirkan. Praktik politik uang terjadi di hampir dalam semua pemilukada. Biasanya para kandidat melakukan politik uang, baik menjelang kampanye, saat kampanye maupun menjelang pemilihan. Indikasinya, setidaknya terlihat dari perkara pemilukada yang masuk di Mahkamah Konstitusi, semua mengandung kecurangan terkait pemberian uang atau natura.
Selain itu butuh biaya yang besar, dan besarnya biaya kampanye seringkali tak wajar, yang bila dihitung tidak sebanding dengan penghasilan sebagai kepala daerah. Hakim konstitusi Hamdan Zoelva menyebutkan pemilukada yang berlangsung saat ini merupakan wujud demokrasi yang minus aturan. Demokrasi tanpa aturan sama dengan tirani (Kompas, 7/8/2010).
Bahkan, kini muncul satu fenomena yang memprihatinkan, yakni partisipasi incumbent (kepala daerah yang ikut dalam pemilihan) yang terjerat kasus korupsi membuktikan bahwa pemilukada masih memberi ruang bagi koruptor. Ironisnya, meskipun sudah ditetapkan oleh kepolisian sebagai tersangka, mereka tetap terpilih sebagai pemenang pemilukada.
Indonesia Corruption Watch mencatat, setidaknya terdapat lima incumbent yang menjadi tersangka korupsi dan memenangi pemilukada periode 2010-2015. Mereka adalah Bupati Rembang Mochamad Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin. Sebagian dari tersangka kasus korupsi yang menang dalam Pemilukada 2010 itu sudah dilantik oleh Mendagri Gamawan Fauzi.
Tentu saja ini merupakan preseden buruk demokrasi di tingkat lokal karena Pemilukada masih memberikan ruang untuk koruptor dan gagal menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pemilukada belum berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin yang baik, bersih, dan jujur. Bahkan, banyak sekali kepala daerah hasil Pemilukada yang menjadi tersangka atau terdakwa saat masih menjabat.
Masalahnya, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menjadi acuan pelaksanaan Pemilukada juga memberi ruang bagi para koruptor untuk tampil kembali sebagai calon kepala daerah. Bagaimana mungkin pemimpin yang mempunyai cacat integritas dapat memimpin pemerintah yang bersih dan sejahtera.
Wajar bila publik khawatir kepala daerah tersebut akan mengulangi tindak korupsi karena merasa dilegalkan dan dilindungi oleh Negara. Dengan kekuasaan yang mereka pegang kembali, para tersangka bukan tidak mungkin akan berupaya mengangkangi hukum hingga bebas dari segala sangkaan dan tuduhan.
Untuk itu ke depan diperlukan regulasi yang lebih ketat untuk menentukan seseorang bisa memenuhi syarat sebagai calon yang akan bertarung dalam pemilukada. Para legislator perlu didorong untuk mengambil inisiatif merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menjadi acuan pelaksanaan Pemilukada agar tidak memberi ruang bagi seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka untuk maju dalam pemilukada.
Selanjutnya rambu-rambu disertai sanksi yang tegas untuk mencegah terjadinya praktik korupsi pada saat acara demokrasi lima tahunan di tingkat lokal itu perlu dipertegas di dalam regulasi yang baru. Seperti penggunaan anggaran negara, manipulasi dana kampanye, dan politik uang. Kebiasaan buruk yang dipelihara dalam roda demokrasi di tingkat lokal ini harus dikikis. Sehingga sistem pemilukada langsung yang bertujuan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat bisa diwujudkan. Semoga. (*)
corner, 9 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar