SEMAKIN mendekati Hari Raya Idul Fitri, para buruh dan karyawan perusahaan berharap-harap cemas. Lebih-lebih bagi karyawan berstatus outsourcing atau kontrak ada yang masih ragu apakah akan mendapatkan tunjangan hari raya (THR), sebagian lagi berfikir seberapa besar THR yang diberikan, akan mendapatkan satu bulan gaji/upah penuh atau hanya setengahnya.
Sebenarnya apabila kita kembalikan pada ketentuan yang mengatur soal pemberian THR keagamaan, kekhawatiran itu tidak perlu ada. Sebab THR keagamaan merupakan hak normatif para buruh/pekerja yang harus dibayarkan pengusaha kepada para pekerjanya yang telah bekerja minimal 3 bulan. Hal ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan No 13/2003 dan juga Permenakertrans No. 4/1994 tentang THR bagi pekerja.
Secara khusus, Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar juga telah mengeluarkan Surat Edaran No.190/MEN/PHIJSK-PJSK/VIII/2010 yang mengatur ketentuan pembayaran THR keagamaan. Antara lain disebutkan THR keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan atau lebih secara terus menerus.
Besarnya THR keagamaan sebagaimana dimaksud diatur sbb: Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih, sebesar 1 bulan upah. Bagi pekerja/upah yang masa kerjanya 3 bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional dengan perhitungan jumlah bulan masa kerja x satu bulan upah lalu dibagi 12.
THR keagamaan bagi pekerja/upah ini diberikan satu kali dalam setahun oleh pengusaha dan pembayarannya disesuaikan dengan Hari Raya Keamanaan masing-masing selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan.
Namun tentu akan lebih baik bila bisa diberikan dua minggu atau paling tidak 10 hari sebelum hari raya lebaran Tujuannya agar memberi keleluasaan bagi pekerja menikmatinya bersama keluarga. Sebab menjelang hari raya keagamaan pekerja dihadapkan pada tuntutan pengeluaran tambahan, sehingga mereka mengharapkan adanya THR sebagai sumber pendapatan di luar upah.
Apapun kondisinya, perusahaan tetap wajib memberikan THR, karena itu merupakan hak karyawan/buruh tentunya harus sudah disiapkan sejak lama. Jika THR tidak dibayar, sama halnya pengusaha tidak melakukan kewajibannya kepada karyawan dan itu tentu ada sanksinya.
Untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembayaran THR, Menaker Muhaimin Iskandar meminta pemerintah daerah membentuk satuan tugas (satgas) ketenagakerjaan Peduli Lebaran 2010 sebagai pusat pengaduan problem THR dan berbagai masalah ketenagakerjaan terkait dengan hari raya tersebut.
Jika ada yang melanggar, seperti perusahaan belum membayar THR, tunjangan diberikan di luar batas waktu ditentukan, atau besaran tunjangan tak sesuai dengan ketentuan, maka petugas dari posko berhak melakukan penindakan. Khusus untuk Batam, menurut Kepala Disnaker Batam, Rudi, pengaduan tersebut bisa diantar langsung ke Disnaker bagian pengawasan supaya bisa ditindaklanjuti.
Barangkali yang perlu lebih dicermati oleh Posko pengaduan atau disnaker adalah pembayaran THR terhadap para pekerja kontrak yang di Batam jumlahnnya jauh lebih besar dibanding pekerja tetap. Mereka inilah yang rawan. Karena mengutip Ketua SPSI Tanjung Uncang, AK Tarmizi. yang dilansir Tribun pekan lalu, pada 2008 ada sekitar 27 perusahaan yang tidak membayarkan THR pada karyawannya, meskipun akhirnya masalah ini selalu selesai menjelang lebaran.
Bila urusan pemberian THR sudah selesai, maka pekerja dan karyawan ada baiknya memperhitungkan pengeluaran sebelum dan ketika Idul Fitri dan sesudahnya. THR diberikan karena sebenarnya ada lonjakan konsumsi yang sangat besar. Hingga hari ketiga dan keempat lebaran otomatis masih bisa ditalangi. Padahal yang perlu difikirkan adalah menjaga agar THR jangan sampai habis karena setelah lebaran biasanya semua mengeluh kesulitan keuangan. (*)
corner, 24 Agustus 2010
Minggu, 05 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar