HUBUNGAN Indonesia-Malaysia di tingkat publik, pasca penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia yang sedang bertugas mengamankan teritori laut Indonesia oleh polisi Malaysia, kian panas. Insiden tersebut telah menyulut emosi sebagian publik di Indonesia, dengan menggelar demo di berbagai daerah mengecam Malaysia, menginjak-injak dan membakar bendera Malaysia, bahkan sampai aksi anarkistis yang sangat kita disesalkan, yakni melempar tinja ke gedung Kedubes Malaysia di Jakarta.
Pada awalnya, publik di Malaysia tak peduli dengan insiden di perairan Tanjuingberakit, Bintan, Kepri, karena menganggap itu masalah negara. Mereka baru ikut tersulut emosinya sehingga gantian mendemo Indonesia di negaranya, dan menlu Malaysia Datuk Seri Anifah mengeluarkan travel advisory, yakni imbauan kepada warga Malaysia untuk tidak berkunjung ke Indonesia, setelah gedung Kedubes mereka di Jakarta dilempar dengan kotoran manusia.
Meminjam istilah Rektor UI Gumilar R Soemantri, yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia saat ini layaknya perselisihan kakak dan adik. Sedikit ada perselisihan itu biasa, tapi kita harus bisa berpikir jernih (Koran Tempo, 29/8). Karena itu, pemimpin kedua negara itu harus segera meredakan ketegangan yang terjadi di antara dua negara. Sebab jika dibiarkan, hal ini akan menambah rumit hubungan kedua negara serumpun.
Selanjutnya menempuh diplomasi dan menekan Malaysia untuk merundingkan akar persoalan yang selama ini sering memicu ketegangan hubungan di antara kedua negara, yakni belum adanya kesepakatan soal tapal batas teritori laut. Termasuk perairan tempat insiden penangkapan nelayan Malaysia dan tiga petugas KKP Indonesia di Tanjungberakit, Bintan yang sama-sama diklaim oleh Indonesia dan Malaysia masuk perairan mereka. Dalam hal ini, kedua negara sudah sepakat membahas tapal batas termasuk insiden Tanjungberakit pada 6 September 2010 dalam bentuk Joint Ministrial Committe.
Terkait perbatasan laut, tiap negara kepulauan memang berhak atas wilayah teritorial 12 mil laut dari batas pantai saat pasang terendah, lalu berhak atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil lagi dari dalam pulau terdekat. Ini diatur hukum internasional melalui konvensi Perserikatan-Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yang ketiga (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982, sesuai dengan Deklarasi Djuanda (1958), sehingga wilayah laut Indonesia membungkus seluruh kepulauan. Masalahnya, ketika wilayah laut teritorial 12 mil itu bersinggungan dengan batas negara lain, seperti halnya dengan Malaysia.
Malaysia sebetulnya mengakui dan menjadi anggota UNCLOS. Namun sejak kemenangan atas klaim mereka atas Pulau Sipadan dan Ligitan di perairan utara Kaltim beberapa tahun lalu, Malaysia semakin percaya diri dan berkeras tetap berpatokan pada peta wilayah yang dibuatnya sendiri tahun 1977 (klaim unilateral/sepihak). Peta itu memasukkan sejumlah wilayah kita, sesuai UNCLOS, kedalam wilayah mereka. Tak heran bila kemudian muncul sengketa akibat klaim sepihak tadi, seperti di Ambalat dan kemarin di sekitar Pulau Bintan.
Masalah-masalah seperti ini lah yang perlu dirundingkan kedua negara yang bertetangga. Indonesia harus menurunkan diplomatnya yang ulung dilengkapi alat bukti aturan hukum yang kuat serta peta (kadaster) laut, untuk beradu klaim batas wilayah laut dengan negara tetangga. Bila mentok, bisa minta bantuan arbitrase ICJ (Int'l Court of Justice).
Selain masalah diplomasi, langkah yang perlu Indonesia lakukan untuk mempertegas klaimnya adalah penguasaan secara de facto yang bisa ditunjukkan dengan patroli rutin dan ekstensif di perairan itu oleh angkatan laut dan kegiatan perikanan dari nelayan setempat. Bukan hanya di perairan Batam-Bintan dengan Malaysia, tapi juga di perairan utara Provinsi Kaltim. (*)
corner, 30 Agustus 2010
Minggu, 05 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar