Sudah lebih dari sepekan ini, tepatnya mulai Sabtu, 27 Desember 2008, seluruh dunia disuguhi sebuah serangan udara masif yang dilancarkan jet-jet tempur Israel ke wilayah tanah Palestina di Jalur Gaza. Mulai Sabtu (3/1) malam waktu setempat seribuan personel pasukan darat Israel dari 10.000 pasukan yang disiapkan giliran menyerbu wilayah Gaza, menggunakan sejumlah tank dan dikawal helikopter-helikopter tempur. Sebaliknya para pejuang Palestina menembakkan roket-roketnya terhadap wilayah Israel.
Inilah babak baru peperangan antara zionis Israel yang didukung perangkat-perangkat tercanggih dengan tentara pejuang Hamas yang bersenjata roket. Israel tak hanya membidik pejuang Hamas sebagai target serangan tapi juga penduduk sipil Hamas di kota berpenduduk total 1,5 juta itu. Laporan-laporan kantor berita internasional menunjukkan, jumlah korban serangan Israel yang dimulai sejak sepekan terakhir ini mencapai 414 orang warga Gaza, dan lebih dari 2250 orang menderita luka-luka.
Israel kini menurunkan ribuan pasukan darat masuk ke Gaza karena kecil kemungkinan mencegah serangan roket Qassam pejuang Hamas hanya dari serangan udara. Tapi di darat mereka mesti ingat petaka saat melawan Hizbullah di Lebanon pada 2006. Hasil pertempuran di Lebanon boleh disebut seri. Tapi hasil perang boleh disebut dimenangkan Hizbullah. Gengsi Hizbullah naik, organisasinya makin kuat, dukungan makin besar, persenjataan sekarang makin lengkap, dan semangat makin tinggi.
Jika pasukan Hamas bisa menahan pasukan Israel, seperti Hizbullah menahan Israel di Lebanon, maka posisi Hamas yang berkekuatan 10-15 ribu orang makin kuat. Apalagi jika serangan ini diakhiri dengan gencatan senjata karena, mungkin sekali, dalam kesepakatan gencatan Hamas akan menuntut blokade ekonomi Gaza dibuka. Ini tidak diinginkan Israel karena mereka menghitung kemakmuran Gaza sama dengan memperkuat Hamas yang akan mengancam Israel, mengingat organisasi sayap militer Palestina ini terang-terangan tidak mengakui eksistensi negara Israel.
Tetapi satu hal yang harus menjadi keprihatinan dunia sekarang, warga Gaza kini benar-benar sedang mengalami mimpi buruk. Bukan hanya dibayangi rasa putus asa, tertekan, ketakutan menjadi sasaran serangan tentara Israel, tetapi juga banyak kebutuhan dasar tak bisa terpenuhi, mulai dari kekurangan pangan, kesehatan yang parah, bahan bakar untuk memasak, listrik, obat- obatan. Situasinya lebih layak disebut sebagai pembantaian massal.
Harapan masyarakat internasional agar segera tercapainya gencatan senjata, untuk menghentikan serangan-serangan di luar batas kemanusiaan itu, juga tak terwujud karena para petinggi Tel Aviv justru terus melemparkan ancaman-ancaman serangan. Apalagi Israel nyata-nyata didukung oleh Amerika Serikat yang sudah tiga kali ini sejak serangan dimulai Sabtu lalu (27/12) memveto resolusi PBB tentang seruan penghentian serangan Israel ke Gaza.
Sementara pemimpin negara-negara liga Arab seperti sedang menderita sakit gigi, tidak melakukan upaya-upaya yang siginifikan untuk menekan Israel menghentikan agresinya, melalui tekanan politik ataupun ekonomi. Mereka hanya sekadar mengecam, sehingga rakyat di negara-negara Teluk itu menggelar demo selain mengutuk kebiadaban Israel juga mengecam pemerintahnya yang membiarkan aksi brutal tentara Israel.
Bukan pertama kalinya bangsa Palestina dikhianati para pemimpin Arab. Peristiwa di Gaza ini mengingatkan pembantaian massal yang terjadi di Sabra dan Shatila, yang mengakibatkan ribuan orang Palestina di kedua kamp itu dibantai Israel, dan tidak ada pembelaan sedikitpun dari para pemimpin Arab.
Jadi hal yang patut disayangkan, mengapa pemimpin negara-negara Arab dan Dewan Keamanan PBB tak berdaya menghentikan terjadinya aksi 'pembantaian' massal terhadap rakyat Palestina di Gaza oleh zionis Israel. (ahmad suroso)
Cornet Tribun Batam, 5 Januari 2009
Senin, 05 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar