HANTAMAN krisis global terhadap perekonomian Indonesia memaksa pemerintah Indonesia harus berpikir dan bekerja keras untuk mengatasinya. Antara lain pemerintah berkali-kali mengeluarkan dan mengubah paket stimulus fiskal. Dalam bulan Januari ini saja, pemerintah sudah tiga kali mengubah paket stimulus. Pada awal bulan, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan menambah stimulus fiskal menjadi Rp 51 triliun. Sepekan kemudian besaran rangsangan ekonomi itu dipangkas separuh menjadi Rp 27,5 triliun, terdiri atas paket stimulus pertama Rp 12,5 triliun dan tambahan stimulus Rp 15 triliun.
Tetapi baru berjalan dua minggu, kemarin Menteri Keuangan merangkap Menko Perekonomian Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (27/1) mengumumkan menambah stimulus fiskal. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, dari 12,5 triliun menjadi Rp 71,3 triliun. Total stimulus fiskal itu setara dengan 1,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Itu cukup memadai untuk menahan tekanan krisis ekonomi global.
Penambahan stimulus itu diharapkan bisa menahan laju pengangguran terbuka pada tahun 2009. Seperti diketahui, akibat krisis ekonomi, pengangguran terbuka akan mencapai 8,87 persen dari jumlah angkatan kerja yang mencapai 107 juta orang. Namun, dengan paket stimulus fiskal tersebut, pengangguran terbuka diharapkan bisa ditekan ke level 8,34 persen atau menciptakan 150.000 lapangan kerja baru. Arah penggunaan stimulus fiskal ini juga untuk meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan daya saing dan daya tahan dunia usaha, serta meningkatkan belanja infrastruktur yang padat karya.
Penambahan stimulus fiskal tersebut patut disyukuri. Persoalannya, apakah penentuan sektor tersebut bisa berjalan efektif sesuai target yang diharapkan? Dapatkah paket stimulus ini benar-benar memberi manfaat bagi tetap tumbuhnya perekonomian, dan berdampak langsung terhadap produk yang dinikmati konsumen. Karena faktanya paket stimulus sebelumnya sampai sekarang belum bisa dinikmati masyarakat. Meskipun harga BBM sudah tiga kali turun dalam waktu 45 hari, tarif transportasi dan harga barang belum banyak berubah. Kebutuhan pokok sehari-hari rakyat masih mahal.
Belajar dari pengalaman peluncuran stimulus-stimulus ekonomi sebelumnya yang tidak cukup untuk merespon persoalan, agaknya dibutuhkan sikap tegas dan tindak lanjut nyata dari pemerintah selaku regulator. Pembenahan pembentukan struktur harga dan tarif harus diawasi dengan kemauan politik pemerintah ditambah BI memaksimalkan fungsi dan perannya sebagai regulator. Selama ini pemerintah cenderung 'kompromistis' dan diam saja ketika terjadi 'pembangkangan' yang dilakukan operator angkutan publik yang ogah menurunkan tarif transportasi.
Keengganan operator transportasi menurunkan tarif angkutan bukannya tanpa sebab. Alasannya, faktor BBM hanya mencakup 8-12 persen dari total biaya operasional. Beban terbesar justru pada komponen kendaraan yang harus diimpor, mencapai 30 persen. Bila benar faktor komponen menyulitkan operator angkutan turunkan tarif, perlu dipertimbangkan kebijakan bea masuk komponen ditanggung pemerintah (DTP) untuk kelompok kendaraan angkutan umum.
Tanpa campur tangan dan sikap tegas dari regulator, dikhawatirkan pemberian stimulus tidak bisa dimanfaatkan sesuai dengan tujuan stimulus itu sendiri, yakni merangsang pertumbuhan ekonomi, dan menekan tingkat pengangguran terbuka. (ahmad suroso)
Tajuk tribun Batam, 29 Jan 2009
Rabu, 28 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar