Rabu, 28 Januari 2009

Aturan Afirmatif Perempuan Memicu Konflik

RENCANA Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat kebijakan afirmatif memberikan satu kursi untuk calon perempuan jika partai politik memperoleh minimal tiga kursi DPR/DPRD di sebuah daerah pemilihan (dapil) menuai protes. Banyak pihak yang tidak setuju dengan aturan yang digagas dan lemahnya posisi KPU jika nekat membuat aturan tentang kuota keterwakilan perempuan di Parlemen.

Aturan itu dinilai bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan soal keterpilihan tetaplah harus dikembalikan kepada rakyat berdasarkan perolehan suara terbanyak. Kebijakan afirmatif dari MK untuk calon perempuan hanya sebatas tahap penyusunan daftar calon.

Karena itu banyak pihak, terutama dari kaum pria yang tidak menginginkan affirmasi bagi perempuan terlaksana. Sikap KPU memberikan keistimewaan kepada caleg perempuan dinilai sebagai bentuk ketidakadilan. Kebijakan afirmatif itu juga berpotensi memunculkan konflik antarcaleg maupun antarlembaga negara.
Karena seperti diketahui, saat ini seluruh caleg menggunakan segala potensinya untuk meraih kursi. Ekspektasi caleg sangat tinggi. Jika ada caleg yang mendapatkan kursi ketiga, tetapi dikalahkan dengan kebijakan KPU, pasti bisa timbul konflik. KPU juga akan menuai gugatan dari caleg. Bila benar ini terjadi tak menutup kemungkinan akan terjadi chaos.

Tampaknya banyaknya protes dan penolakan tersebut membuat KPU menjadi bimbang menetapkan peraturan affirmative action untuk perempuan, terutama penetapan aturan jika 3 kursi, satu untuk perempuan di DPR. Sikap bimbang itu disampaikan anggota KPU Andi kepada wartawan di gedung KPU Jakarta, Selasa (27/1). Andi beralasan, bila aturan afirmatif terhadap perempuan itu dilaksanakan, ia khawatir dampaknya akan berujung kepada banyaknya gugatan-gugatan terhadap KPU bahkan uji materi terhadap peraturan KPU.

Memang harus diakui, keterwakilan perempuan di DPR hasil 9 kali pemilu sejak pemilu 1955 prosentasinya sangat kecil. Paling tinggi pada pemilu 1992 mencapai 12,4 persen, dan pemilu 2004 lalu hanya 11,8 persen. Masih jauh dari yang diamanatkan UU No 10 Th 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD bahwa daftar caleg paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.

Bila berbicara dari tujuan untuk mempercepat proses keadilan dan kesetaraan yang telah diatur UU tersebut, terbitnya aturan afirmatif perempuan dari KPU memang relevan. Apalagi keputusan MK akhir November 2008 yang membatalkan pasal 214 UU No 10/2008 mengenai caleg berdasarkan nomor urut, dan menggantinya berdasarkan suara terbanyak secara tak langsung telah menghilangkan hak konstitusional perempuan Indonesia.

Tetapi bila mengingat waktu pelaksanaan pemilu yang tinggal sekitar 75 hari lagi, sementara KPU sendiri masih terlihat gagap mempersiapkan pemilu, ditambah kuatnya arus penolakan terhadap rencana aturan afirmatif perempuan, tampaknya KPU harus berpikir ulang untuk meneruskan rencana tersebut. Untuk saat ini biarkan perempuan bertarung dan memerjuangkan haknya untuk mendapatkan kursi sesuai dengan keputuan MK.

Sebab terlepas dari kontroversi, keputusan MK membatalkan pasal 214 sebenarnya sudah memicu konflik internal parpol apalagi jika dimasukkannya kebijakan afirmatif terhadap perempuan. Ditambah lagi rencana KPU memprioritaskan perempuan dalam penentuan calon terpilih bakal memunculkan sengketa baru lagi. Rencana itu pun tidak sejalan dengan putusan MK.

Jadi demi kemaslahatan supaya potensi konflik intern parpol dan gugatan ke KPU pada pemilu bisa diminalisir, sebaiknya KPU kembali ke mekanisme yanng sudah ditetapkan MK yakni kebijakan afirmatif dari MK untuk calon perempuan hanya sebatas tahap penyusunan daftar calon. Sebab setiap putusan MK selain bersifat final dan mengikat juga seperti UUD. Artinya setiap putusan yang bertentangan dengan putusan MK berarti tidak konstitusional. (ahmad suroso)

Tajuk Tribun Batam, 28 Jan 2009

Tidak ada komentar: