Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan fatwa haram golput (golongan putih) alias tidak memilih, dan merokok hukumnya dilarang (berada di antara haram dan makruh) serta merokok hukumnya haram untuk: ibu-ibu hamil, anak-anak, di tempat umum, dan pengurus MUI. Hal itu diputuskan dalam Forum Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padangpanjang, Sumatera Barat, Minggu (25/1).
Lewat ijtima, MUI mengeluarkan fatwa bahwa golput haram hukumnya bila masih ada pemimpin yang layak pilih. Bila tidak ada pemimpin yang layak dipilih, maka tetap harus memilih calon yang baik dari yang terburuk. Fenomena golput kalau dibiarkan, akan berbahaya. Sebab bila tidak memilih, bisa tidak punya pemimpin.
Keluarnya fatwa tersebut ditanggapi beragam. Ada yang mendukung, ada pula yang memandang tidak perlu ada fatwa haram golput tersebut, dan ada pula yang tidak setuju. Pihak yang paling setuju tentu saja Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Sebab mantan Presiden PKS inilah salah satu tokoh yang meminta MUI mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk tidak berpartisipasi dalam Pemilu mendatang.
Saya yakin fatwa MUI berangkat sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh umat yang juga menyertakan lembaga keilmuan, termasuk individu-individu yang bukan ulama. Oleh karena itu, dengan keluarnya fatwa MUI ini sudah selayaknya diikuti oleh seluruh umat Islam, betul-betul diamankan oleh MUI dan umat, kata Hidayat Nurwahid dalam percakapan dengan koran ini, Senin (26/1).
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi berpendapat fatwa haram golput pada Pemilu dan Pilpres 2009 mendatang tidak diperlukan. Menurut Hasyim, golput sendiri ada beberapa kecenderungan terjadi di Tanah Air. Ada yang sibuk bekerja, ada yang sibuk dengan keluarga dan ada juga yang tidak berkenan dengan sosok yang akan dipilihnya. Jadi ini soal selera tidak bisa kita menyalahkan. Namun , bila tindakan golput sudah menjadi sebuah gerakan supaya orang tidak memilih, maka itu termasuk tindakan destruktif.
Pendapat Ketua PB NU ini sedikit berbeda dengan rekomendasi sejumlah kyai dan ulama NU yang berkumpul di Pesantren Edi Mancoro Salatiga, Jateng belum lama ini. Pertemuan tersebut merekomendasikan umat Islam, khususnya warga NU diimbau menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2009 sambil tetap memegang teguh etika berpolitik dan tidak meninggalkan tugas kemaslahatan dakwah dan sosial kemasyarakatan.
Sementara kalangan nasionalis, seperti diungkapkan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aria Bima, justru berpendapat fatwa mengharamkan golput semakin menambah masalah. Fatwa itu tak sesuai dengan nafas kebhinnekaan yang dibangun Indonesia sejak 1945. Fatwa itu tidak sesuai dengan nafas pluralitas yang sedang dibangun di Indonesia. Ada juga yang mengusulkan MUI lebih tepat mengeluarkan imbauan daripada fatwa soal golput. Karena banyak juga yang golput karena alasan teknis seperti tidak bisa meninggalkan pekerjaan atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Memang tidak bisa dipungkiri, realitas di lapangan menunjukkan banyak masyarakat tidak memilih atau golput karena merasa aspirasinya tidak terwakili. Memang dalam konteks UU, memilih dalam pemilu adalah hak bukan kewajiban. Namanya juga hak, terserang orang yang punya hak itu, apakah mau menggunakan haknya atau tidak.
Tetapi dalam konteks kemaslahatan, wajar saja jika ada fatwa MUI tersebut keluar. Penting menyadarkan umat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi untuk menggunakan hak pilihnya. Terserah mau memilih partai mana saja, atau capres/caleg mana saja, tapi yang jelas umat memilih sesuai dengan hati nuraninya. Satu hal yang perlu disadari, apapun pilihan kita, memilih atau tidak, itu ada konsekuensinya. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, Selasa, 27 Jan 2009
Rabu, 28 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar