Sabtu, 20 Desember 2008

Privatisasi Pendidikan

PENGESAHAN Undang Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh DPR Rabu (17/12) lalu memicu protes. Bukan hanya mahasiswa yang unjuk rasa turun ke jalan, tetapi para praktisi pendidikan tinggi baik dari negeri maupun swasta. Seperti dilakukan mahasiswa di depan gedung DPR Jakarta, dan di Makasar yang memicu bentrokan dengan polisi.

Demikian juga mahasiswa di kota-kota lainnya. Di Purwokerto, sekitar 100 mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menggelar aksi serupa. Mereka melempari gambar-gambar partai politik yang dipasang tepat di depan kampus Unsoed. sebagai bentuk hujatan terhadap wakil rakyat yang dinilai telah mengkhianati rakyat dengan mengesahkan UU BHP. Karena itu mahasiswa mendukung langkah judicial review UU BHP ke Mahkamah Konstitusi.

Lembaga pendidikan yang sudah menyiapkan materi judicial review, yakni Taman Siswa. Menurut Ketua III Majelis Luhur Taman Siswa Bidang Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Wuryadi yang juga Ketua Dewan Pendidikan DIY, Jumat kemarin, undang-undang tersebut berpengaruh pada kualitas hubungan murid-guru. Hubungan itu, nantinya tereduksi menjadi hubungan konsumen dan penyedia jasa belaka.

Ada beberapa alasan mengapa pengesahan RUU BHP yang terdiri atas 14 bab 69 pasal itu mengundang protes di sana sini. Dengan pengesahan UU BHP ini maka pemerintah lebih memosisikan diri sebagai regulator bukan operator. Dengan perubahan status hukum PTN yang tadinya merupakan bagian dari unit pemerintah menjadi entitas badan hukum tersendiri, artinya telah terjadi privatisasi atau liberalisasi pendidikan.

Sebab, dalam UU BHP disebutkan seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diwajibkan menyandang status BHP, selambat-lambatnya enam tahun setelah ditetapkannya UU BHP.
Penolakan itu terkait status otonomi yang kelak disandang setiap PT BHP. Status ini membawa konsekuensi pada sumber pembiayaan pendidikan yang tak lagi menjadi beban pemerintah. Universitas dituntut kreatif mencari sumber-sumber pendapatan lain dengan jalan pengoptimalan unit dan aset PTN. Disinilah potensi terjadinya komersialisasi pendidikan menjadi terbuka. Akhirnya BHP dinilai tak lebih daripada kapitalisasi pendidikan.

Pengalaman membuktikan, setelah pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada empat perguruan tinggi negeri ternama (UI, UGM, ITB, IPB) PTN tersebut seakan-akan saling berlomba-lomba untuk menetapkan "tarif" biaya tinggi bagi calon mahasiswa baru yang berniat untuk masuk ke dalam PTN bersangkutan. Fenomena ini membuat shock masyarakat Indonesia, khususnya kalangan menengah bawah. Akses pendidikan yang murah dan adil tak dapat lagi dinikmati masyarakat menengah ke bawah.

Tetapi menurut Heri Akhmadi, Ketua Panitia Kerja RUU BHP Komisi X DPR, penolakan terhadap BHP itu dinilai akibat belum dipahaminya semangat dan substansi pasal demi pasal UU BHP. Heri menjelaskan, jika mengacu pada UU BHP seharusnya biaya semakin murah, karena ada batasan pungutan kepada masyarakat yaitu paling banyak sekitar 33 persen biaya operasional.

Persoalannya, siapa yang bisa mengawasi bahwa pungutan tersebut tak lebih dari 33 persen? Suharyadi, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia menilai dalam UU BHP ini, pemerintah belum memberi bantuan dana yang proporsional untuk PTS atau lembaga pendidikan swasta, padahal tidak semua lembaga pendidikan formal swasta itu kuat secara finansial. Ini membuktikan, UU ini memasung semangat mengapresiasi terhadap kehadiran sekolah/lembaga pendidikan swasta.

Intinya, kita tak rela jika nantinya masyarakat golongan menengah ke bawah tidak dapat lagi mengenyam pendidikan tinggi. Jadi, usulan untuk mengajukan uji materiil atau judicial review terhadap UU BHP selayaknya kita dukung. (***)

Dimuat di Corner Tribun Batam, Sabtu, 20-12-2008

Tidak ada komentar: