Senin, 01 Desember 2008

Memerangi Aksi Terorisme

AKSI sekelompok pria bersenjata api, granat, dan bom yang membombardir Mumbai, India Rabu malam lalu mencengangkan kita semua. Aksi teroris tersebut selain membunuh 125 orang, melukai tak kurang dari 300 orang sampai Jumat malam masih menyandera puluhan tamu dua hotel mewah di pusat keuangan dan ekonomi negeri multi ras yang sering dilanda pertikaian tersebut.

Masyarakat internasional pun tercengang dan tersentak oleh aksi brutal gerombongan teroris yang memberondong kerumuman orang tujuh titik, yakni hotel mewah Taj Mahal, hotel Oberoi Trident, bandar udara di Santa Cruz, restoran, stasiun kereta api, bahkan rumah sakit dan markas kepolisian. Kita juga ikut tersentak, karena terdapat lima perempuan Indonesia asal Bali yang terperangkap di hotel Oberoi.
Aksi brutal teroris tersebut mengingatkan kita, khususnya masyarakat Bali pada peristiwa ledakan dahsyat bom Bali 1 dan bom Bali II. Karena skala kerusakan dan korban yang ditimbulkan tak berbeda jauh.
Ledakan dahsyat bom pada 12 Oktober 2002 telah meluluhlantakkan Paddy's Cafe dan Sari Club di Denpasar dan menewaskan 202 orang dan 209 di antaranya luka itu dengan sebutan Bom Bali I. Bom Bali II terjadi pada 2005 di Pantai Jimbaran Bali. Mirip dengan aksi teroris di Mumbai yang menargetkan orang-orang Amerika Serikat dan Inggris sebagai sasaran, aksi di Bali juga memilih sasaran orang-orang Barat, khususnya Amerika Serikat, dan Australia.

Meski sudah berlangsung enam tahun dan tiga tahun lalu, trauma masih membekas di benak masyarakat Bali akibat ledakan dahsyat bom Bali I dan II. Trauma tersebut mungkin baru mulai menghilang setelah trio bomber bom Bali I, Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron (Muklas) sudah menemui nasib akhir di depan regu tembak, Minggu (9/11) di Nusakambangan, Cilacap.

Trauma keganasan aksi teroris itu kembali mengusik masyarakat Pulau Dewata, menyusul aksi pemboman dan penembakan dan penyanderaan di Mumbai. Karena lima orang WNI juga menjadi korban penyanderaan, yang belakangan diketahui semuanya berasal dari Bali. Mereka adalah Nyi Kadek Edi Dharmayanti dan 4 temannya yang bekerja di sebuah spa di Hotel Oberoi. Mereka berangkat ke India pada Januari 2008 dan akan pulang akhir Desember 2008.
Namun kita patut bersyukur. Informasi terakhir yang diterima wartawan dari orangtua Darmayanti, Wayan Sadat, puterinya itu bersama empat temannya telah dibebaskan dalam keadaan selamat. Kabar menggembirakan itu disampaikan langsung oleh anaknya pada pukul 14.00 Wita, Jumat (28/11). Kini mereka tinggal di KBRI di India. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk dapat membantu pemulangan Nyi Kadek ke Bali dengan segera.
Apapun alasannya, siapapun kelompoknya, aksi terorisme tersebut patut dikutuk. Kita tidak habis pikir dan geram, bagaimana pun mungkin sekelompok teroris bersenjata lengkap itu tega-teganya memberondong orang-orang yang sedang dirawat di rumah sakit.

Aksi terorisme di Mumbai ini bisa menjadi warning bagi Indonesia, ternyata aksi-aksi terorisme yang terencana itu masih ada. Karena itu kita berharap aparat keamanan di Indonesia, baik itu pihak kepolisian maupun TNI, serta masyarakat untuk tetap mewaspadai tindakan-tindakan terorisme.
Dunia harus bersatu untuk melawan terorisme. Kerjasama lintas negara dibutuhkan untuk membasmi terorisme. Semoga tekad yang dicetuskan oleh 200 anggota parlemen dunia yang mengadakan pertemuan di Jakarta Kamis (27/11) lalu untuk memerangi bersama-sama aksi terorisme, khususnya di Asia tidak sekadar gertakan saja. Namun ada langkah-langkah konkret untuk memeranginya. (ahmad suroso)

Tidak ada komentar: