Senin, 26 Januari 2015

tajuk 12 Jan 2015 Politik Aklamasi D alam waktu dekat, beberapa partai akan menggelar kongres untuk memilih ketua umum periode 2015-2020. Antara lain Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat. Megawati Soekarnoputri yang dipercaya menjadi Ketua Umum PDI P sejak era Orde Baru (1993) telah diminta kembali oleh para kader untuk maju sebagai Ketua Umum PDIP periode mendatang. Di depan kader-kader PDIP dan sejumlah tokoh nasional termasuk Presiden Jokowi Widodo yang juga kader PDIP dan Wapres Jusuf Kalla yang menghadiri HUT ke-42 PDIP di Jakarta, Sabtu (10/1), Mega menegaskan menerima dengan baik keinginan dari para kader partai yang meminta dirinya untuk melanjutkan kepemimpinan di PDI Perjuangan pada periode 2015-2020. "Ketika Rapat Kerja Nasional Partai ke IV, para peserta Rakernas meminta saya, untuk kembali memimpin PDI Perjuangan pada periode 2015-2020 yang akan datang, dengan penuh haru, saya menerima tugas tersebut," kata putri sulung Bung Karno itu seperti diberitakan koran ini kemarin. Meski banyak pihak yang mengkritik praktik politik aklamasi dalam setiap suksesi kepemimpinan partai, majunya kembali Megawati sebagai calon ketua umum diyakini para kader muda PDIP tidak akan merusak proses regenerasi di tubuh partai itu. Seperti disampaikan kader muda PDIP, Maruarar Sirait. Putra politikus senior PDIP, Sabam Sirait itu menuturkan regenerasi tidak hanya bisa dilihat dari posisi ketua umum partai, tetapi juga dalam mendorong regenerasi di tiga tempat, yakni pemerintah, kepengurusan partai, dan legislatif. Hal tersebut telah dibuktikan dengan baik oleh Megawati, dengan penunjukan Joko Widodo sebagai calon presiden kala pemilihan presiden. Lalu di DPR ada Rieke Dyah Pitaloka, pemerintahan ada Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, di kepengurusan ada Hasto Kristiyanto. Itu semua, kata Maruarar, anak muda. Merebaknya politik aklamasi bukan hanya terjadi pada parpol peninggalan Orba, seperti PDIP dan Partai Golkar versi Munas IX di Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie secara aklamasi,tapi sudah menjalar pula pada partai modern. Antara lain Muktamar PKB di Surabaya pada 1 September 2014, yang telah menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB, Partai Gerindra yang telah menetapkan secara aklamasi Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum. Terlepas dari sahih tidaknya pendapat kader muda PDIP, politik aklamasi mengutip Bambang Arianto, mahasiswa S2 Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Bpost, 9/1/2014), merebaknya praktik aklamasi menunjukkan jika partai kerap menampilkan suksesi kepemimpinan semu. Fenomena politik aklamasi menandai minimnya proses institusionalisasi (pelembagaan) demokrasi internal kepartaian. Ada beberapa penyebab munculnya politik aklamasi di antaranya: Pertama, masih terlembaganya budaya patronase dan kuatnya cengkeraman figur-figur tua pada pucuk kepemimpinan partai. Sebut saja, di PDI-Perjuangan ada sosok Megawati, Aburizal Bakrie di Partai Golkar, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat. Artinya, parpol saat ini tidak lebih dari sekadar institusi pemuja para figur ketimbang ideologi. Eksesnya, fenomena ini dapat memunculkan jejaring pragmatisme politik. Sebab, elektabilitas parpol akhirnya kalah jauh ketimbang figur politiknya. Sosok figur akhirnya dianggap lebih penting ketimbang platform apalagi ideologi parpol. Kedua, fenomena politik aklamasi akan membuat partai semakin mandul dalam melahirkan sosok kepemimpinan muda organik yang berasal dari akar rumput. Kepemimpinan organik yakni kepemimpinan yang berasal dari kader muda yang telah merangkak dari bawah sebagai sosok aktivis, ideolog partai, dan kerap berjuang untuk kepentingan rakyat. Karena itu, partai hendaknya dapat menghindari praktik-praktik aklamasi dan beralih kepada model meritokrasi kepemimpinan. (*)

Tidak ada komentar: