Kamis, 17 September 2015

Pundi-pundi DPR

Pundi-pundi DPR S ensibilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menghadapi kondisi perekonomian Indonesia dan global yang kian memburuk, dan masyarakat kecil sangat merasakan dampaknya, patut dipertanyakan. Mereka justru meminta kenaikan berbagai tunjangan, dan itu sudah disetujui pemerintah. Nilai tunjangan yang jumlahnya bervariasi untuk ketua alat kelengkapan dewan, wakil, dan anggota bakal diterimakan mulai September ini. Persetujuan kenaikan tunjangan anggota DPR itu tercantum dalam Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015 dengan hal Persetujuan prinsip tentang kenaikan indeks tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, serta bantuan langganan listrik dan telepon bagi anggota DPR RI (total 10 item), meskipun angkanya dibawah usulan DPR. Ini untuk kesekian kalinya, DPR mengusulkan penambahan pundi-pundi mereka. Dalihnya, karena inflasi yang terjadi setiap tahun, tapi tunjangan anggota DPR tak pernah naik selama 10 tahun terakhir. Ironisnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah masih mengeluhkan jumlah kenaikan yang disetujui pemerintah masih sangat kurang. DPR menuntut tunjangan-tunjangan untuk mereka dinaikkan hingga rata-rata Rp 4,5 juta per item tunjangan. Anehnya, politisi PKS itu masih memprotes besaran tunjangannya yang ditentukan oleh pemerintah sebagai eksekutif, bukan oleh DPR sendiri. DPR, kata Fahri, dipilih langsung oleh rakyat, harusnya diberikan kebebasan sektor, kebebasan finansial dalam rangka mengawasi pemerintah supaya lebih efektif. Kita sepakat, fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah harus ditingkatkan. Tapi kita tak habis pikir dengan para anggota DPR yang meminta kenaikan tunjangan di tengah kondisi ekonomi yang kian memburuk. Aneh rasanya di tengah kondisi bangsa sedang lesu dan susah mereka enak saja meminta-minta tambahan tunjangan. Setuju dengan Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio seperti dilansir harian Terbit, Rabu (16/9), seharusnya DPR berkaca diri serta berpikir bagaimana caranya menghemat anggaran negara bukan sebaliknya. Kenaikan tunjangan itu sesungguhnya sudah melukai hati rakyat banyak. Sebagai wakil rakyat harusnya mereka malu, sudah dapat banyak fasilitas yang ada justru meminta-minta tambahan tunjangan. Memang tidak semua anggota DPR setuju dengan kenaikan tunjangan itu. Antara lain politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menyesalkan langkah pemerintah menyetujui kenaikan tunjangan wakil rakyat. Menurutnya, daripada menaikkan tunjangan untuk anggota DPR, lebih baik dana di APBN 2016 dialihkan kepada hal-hal lain yang lebih penting. Masih banyak masyarakat di tempat lain yang membutuhkan dana itu. Otokritik juga disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa. Dia malah menyarankan publik mengkritik Dewan kalau menilai tidak layak mendapat kenaikan tunjangan. "Kalau menurut masyarakat tidak (pantas), kritik saja. Supaya jangan akal-akalan," ujar politisi Partai Gerindra itu. Sebelumnya, kita ingat, DPR berkeras menuntut dana yang mereka sebut sebagai dana aspirasi Rp 20 miliar/anggota DPR/tahun. DPR juga berkeras menuntut anggaran Rp 2,3 triliun untuk proyek pembangunan kompleks gedung baru DPR, menuntut dana Rp 12 miliar untuk pembelian kasur baru para anggota DPR. Dan semua itu, minimal, tanpa didasari uraian yang terbuka, mantik, dan mudah dicerna rakyat dari berbagai lapisan. Dan hebatnya, untuk setiap langkah yang diambilnya untuk menambah pundi-pundi, DPR selalu saja mengatasnamakan rakyat. Langkah mereka itu selalu disebut dari dan untuk rakyat. Padahal, yang utama bukanlah melangkah atas nama rakyat, melainkan memungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan segenap rakyat dari hari ke hari. Untuk inilah UUD 1945 menggariskan tiga fungsi DPR, yakni fungsi legislasi, fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan. Dari berbagai alasan saat mengajukan anggaran untuk mereka (DPR), bisa dipersingkat, dalihnya untuk meningkatkan kinerja. Inilah dalih yang ditiupkan tiap kali DPR mendesakkan tuntutannya yang selalu pula digembar-gemporkan atau diberitahukan identik dengan kepentingan rakyat. Padahal, dari periode ke periode kinerja DPR jauh dari sewajibnya. Tanpa kecuali DPR 2014-2019. (*) tajuk edisi 18 september 2015