Minggu, 31 Januari 2010

Enaknya Jadi Pejabat

BILA mencermati masa seratus (100) hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- Wapres Boediono, layak menyebutnya dengan tahun kisruh. Negeri ini silih berganti dilanda kekrisuhan, mulai dari kisruh kisak cicak-buaya (KPK-Polisi), korupsi Bank Century yang membuat suhu politik memanas sampai berujung pada wacana impeachment (pemakzulan), pembobolan ATM bank, kasus Antasari Azhar, aksi makelar kasus (markus), pembagian toyota mewah Crown royal saloon untuk para menteri dan pejabat tinggi negara, sampai demo besar- besaran menyambut 100 hari pemerintahan SBY-Boediono.

Begitu masifnya perhatian media massa dan publik serta elit-elit politik dan pengamat, sampai- sampai Presiden SBY mengekspresikan kegusarannya dengan menyebut, "Betapa gaduhnya negeri ini". Presiden sah-sahnya berkata seperti itu, karena kondisinya memang demikian. Tetapi, satu hal yang perlu dicermati, para elite sepertinya tidak menyadari bahwa perilaku mereka telah membuat masyarakat biasa seperti para pegawai kecil, petani, buruh, pedagang kecil, ibu-ibu rumah tangga, buruh migran menjadi bingung.

Kebingungan dan pada tingkat tertentu sampai menimbulkan frustasi di kalangan masyarakat dipicu oleh kegagalan elite dalam menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan publik yang lebih luas. Dalam sebuah sistem yang sudah berubah menjadi demokratis, para elite ternyata masih bersifat konservatif. Mereka mengakomodasi dan menyepakati sesuatu berdasarkan kepentingan yang eksklusif.

Ini bisa dicermati dari keluarnya keputusan-keputusan pemerintah yang tidak populer di mata masyarakat. Mulai dari menambah pundi-pundi kekayaan para menteri dan pejabat tinggi negara dengan memberikan mereka fasilitas mobil dinas mewah merek Toyota Crown Royal Saloon seharga Rp 1,3 miliar per unit, merenovasi tempat tinggal para wakil rakyat, pembelian pesawat kepresidenan seharga Rp 4,4 triliun yang sudah disetujui oleh DPR dan akan direalisir tahun 2011.

Kabar teranyar adalah pemerintah menaikkan gaji para pejabat negara, mulai dari presiden, pejabat tinggi negeri, para menteri, anggota DPR, gubernur, bupati-walikota antara 10 sampai 20 persen. Sementara untuk para PNS biasa, dan pensiunan kenaikkannya hanya 5 persen dari gaji pokok.
Dengan kenaikan gaji 20 persen, setiap bulan Presiden SBY akan menerima tambahan Rp 12,548 juta menjadi Rp 75 juta lebih, gaji wapres naik menjadi Rp 50 juta, menteri naik menjadi Rp 23 juta dari gaji sebelumnya. Demikian juga dengan anggota DPR yang selama ini sudah menerima gaji (take home pay) Rp 50 juta juga akan naik.

Rencana kenaikan gaji pejabat negara ini tak pelak lagi mengundang keprihatinan dan protes. Sebagian besar mengatakan, timingnya tidak tepat. Apalagi selama ini, para pejabat dan anggota DPR sudah mendapatkan berbagai macam tunjangan, mulai dari tunjangan rumah, mobil mewah, tunjangan komunikasi, dan lainnya. Para pejabat itu juga baru beberapa bulan menduduki jabatannya dan belum menunjukkan hasil kerjanya.

Partai politik juga cenderung mengabaikan ideologi dan program untuk konstituennya ketika sudah masuk arena parlemen dan pemerintahan. Mereka hanya mengartikulasikan aspirasi masyarakat dan ideologi saat pemilu. Mereka ngotot dan galak ketika mengartikulasikan kepentingannya yang terkait dengan kekuasaan dan kepentingan ekslusif mereka, tetapi ketika menyangkut kehidupan hajat hidup masyarakat banyak diam. Sense of crisis terhadap persoalan sosial ekonomi masyarakat biasa sangat kecil. Masyarakat hanya bisa mencibir, "betapa enaknya jadi pejabat."

Perasaan dikhianati, ditipu dan lain sebagainya pada akhirnya melahirkan krisis kepemimpinan dan krisis kepercayaan pada generasi muda dan masyarakat pada umumnya. Tak heran bila demo memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono 28 Januari kemarin diwarnai hujatan kepada pemerintah sampai pada tuntutan rezim yang berkuasa untuk 'lempar handuk putih'. (ahmad suroso)

Tajuk Tribun Batam, 1 Februari 2010

Jumat, 01 Januari 2010

FID-DUNYA HASANAH WAFIL-AKHIRATI HASANAH

FID-DUNYA HASANAH WAFIL-AKHIRATI HASANAH
16 Nopember 2009 10:17:04 | Share

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kepentingan pembangunan–seperti juga pada jaman revolusi, yaitu kepentingan revolusi–ternyata tidak hanya memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli. Apalagi jika masyarakat menjadi subyek–atau obyek–pembangunan justru “kaum beragama”.

Apabila pembangunan itu menitikberatkan pada pembangunan material (kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual (kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang pentingnya materi. Minimal pentingnya menjaga “keseimbangan” antara keduanya (material bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan akhirat).

Maka, dalil-dalil tentang mencari–atau setidak-tidaknya tentang peringatan untuk tidak melupakan–kesejahteraan dunia, pun perlu “digali” untuk digalakkan sosialisasinya.

Tak jarang semangat ingin berpartisipasi dalam pembangunan material-- yang menjadi titik berat pembangunan– ini mendorong para dai dan kyai justru melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagiaan akhirat. Atau, setidaknya, kurang proporsional dalam melihat kedua kepentingan itu.

Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir doa sapu jagat saja: Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Biasanya, mereka juga tak lupa membawakan Hadist popular ini: I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Kadang-kadang, dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam Surat al-Qashash (28), ayat 77:“Wabtaghi fiimaa aataakallahu 'd-daaral aakhirata walaa tansanashiebaka min ad-dunya....” yang menurut terjemahan Depag diartikan,“Dan carikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi…”.



Umumnya orang–sebagaimana para dainya–segera memahami dalil-dalil tersebut sebagai anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di akhirat.

Kita yang umumnya–tak usah dianjurkan pun–sudah senang “beramal” untuk kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan duniawi kita.

Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangat–bahkan mati-matian–kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini.

Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya, “Innamal a'maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa.” Tapi, kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya.

Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn Abbas,“Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia”).

Juga dalil I'mal lidunyaaka… --seandainya pun benar merupakan Hadist shahih–mengapa tidak dipahami, misalnya,“Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena.

Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,“Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu?

Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang).

Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.

Salam taklim untuk Gus Mus, mohon ijin panjenengan untuk mempublis tulisan ini demi kemaslahatan umat (rostribun)