Sabtu, 31 Juli 2010

Mbolosisasi DPR

PRILAKU anggota DPR yang rajin membolos kembali menjadi sorotan. Kali ini sifatnya otokritik datang dari pimpinan DPR yang jengah atas sikap anggota suka mangkir dari tanggung jawabnya menghadiri sidang-sidang yang menjadi tugas utama mereka di Senayan itu. Prilaku sebagian besar anggota dewan yang memakan gaji buta di atas 40 juta, dan menikmati bermacam fasilitas mewah itu membuat pimpinan mereka gerah.
Seperti dikeluhkan oleh Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso kepada pers di Gedung DPR, dan dikutip koran ini Sabtu (24/7). "Terus terang, kami pimpinan dewan sudah jengah dan getir dengan prilaku membolos teman-teman. Kami sudah susah payah membangun citra dewan. Namun, tetap saja banyak rapat yang tidak kuorum. Akibat prilaku mbolosisasi ini, hancur semua!"
Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDIP, Pramono Anung juga mengakui tingkat kehadiran anggota DPR sekarang sangat memprihatinkan. Bila dulu biasanya anggota DPR mulai malas di kala kampanye pemilu dimulai, kini baru tujuh bulan mereka dilantik sudah menunjukkan sikap malas. "Dulu sepinya kalau sudah enam bulan sebelum pemilu, sekarang baru sisa empat tahun sudah sepi," keluh Pramono.
Kita pun ikut prihatin dan sangat menyesalkan atas seringnya anggota dewan membolos. Sebab ini merupakan cermin buruknya mentalitas terhadap pelaksanaan kinerja dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Mereka cenderung hanya rajin datang kalau ada maunya saja yaitu saat terima uang dan tunjangan.
Ketika ada rapat-rapat penting, seperti rapat komisi dan paripurna yang menyangkut tugas-tugas legislasi mereka mangkir, tak sedikit anggota DPR yang hanya titip absen kepada sesama anggota DPR. Sehingga tak jarang meskipun dari daftar absensi, sidang sudah bisa dimulai karena sudah memenuhi kuorum, tetapi secara fisik sebenarnya tidak kuorum.
Karena itu demi tegaknya keadilan dan demi nama baik anggota DPR yang nota bene menjadi wakil dari rakyat, bila mangkir dalam acara sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan wajib diberikan skorsing. Hal ini merupakan wujud kedisiplinan. Bukankah perjuangan mereka selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat dan dibayar oleh uang rakyat.
Disadari atau tidak, sikap dan perilaku anggota Dewan yang terhormat ini sebagai cermin bagi generasi penerus dan calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Jangan didik generasi muda hanya untuk mencari yang enak-enak saja tanpa kerja keras dan rasa tanggung jawab pada diri, negara, Tuhan dan masa depan generasinya.
Entah apa yang terlintas di benak anggota DPR yang suka bolos itu ketika melihat sindiran pada karikatur di Kompas kemarin (25/7), malu lalu mau introspeksi, atau menganggapnya hiburan semata. "Ayo sekolah, Terong jangan mangkir lagi", "Baru jadi Anak TK kok suka mangkir", cetus bapaknya. "Maju jadi apa kamu nanti, sayang," sela ibunya. Dengan entengnya sambil cengengesan Terong bilang, "Jadi Anggota DPR Dong!!!!"
Karena ini menunjukkan kredibilitas parlemen, maka pimpinan dewan harus berani memberikan sanksi terhadap anggota dewan yang indisipliner dan jarang masuk, apapun alasannya. Karena hal ini termasuk bagian dari pelanggaran etika. Partai dan juga fraksi harus berani memberikan peringatan keras. Bila perlu menarik atau mencopot kadernya yang duduk sebagai anggota dewan yang tingkat kehadirannya rendah.
Gagasan menggunakan mesin sidik jari (finger print) agar tidak ada lagi anggota yang hanya menitip absen juga harus diwujudkan, termasuk wacana pemotongan renumerasi anggota dewan yang tidak hadir dalam setiap agenda rapat DPR.
Di sisi lain, publik agar jeli melihat dan mencatat sikap wakilnya di DPR yang hobi pembolos, maupun yang kinerjanya buruk. Pastikan, jangan memilih anggota dewan yang suka makan gaji buta pada pemilu berikutnya. (*)
corner tribun, 26 Juli 2010

Ledakan Gas Tanggung Jawab Pemerintah

WAJAH Ridho, bocah yang masih berusia 4 tahun itu rusak setelah terkena ledakan tabung gas ukuran 3 Kg. Tabung itu meledak saat Susi Hariani, ibunya, sedang memasak untuk menyiapkan sarapan untuknya, 24 Maret 2010. Akibat ledakan tabung gas tersebut, bukan hanya sakit fisik saja ya ia alami, namun Ridho diyakini juga mengalami tekanan psikologis.
Ridho dan Susi masih bernasib baik. Berkat keberaniannya datang langsung ke Istana Negara untuk meminta bantuan presiden demi kesembuhan anaknya, Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih yang diutus SBY menjenguk Ridho akhirnya menjamin semua biaya operasi akan ditanggung oleh Kemenkes dan Pertamina.
Sebelumnya ada begitu banyak korban, termasuk anak-anak yang tidak dapat diselamatkan akibat ledakan tabung gas yang tentu amat mengerikan itu. Sudah begitu, para korban tabung gas meleduk itu harus menanggung sendiri biaya pengobatan dan kerugian yang dialaminya.
Dari hari ke hari, pemberitaan ledakan gas dan air mata sepertinya tak pernah putus menghiasi media kita dalam kurun waktu empat bulan terakhir ini. Media melaporkan cerita pilu korban ledakan tabung gas dari berbagai daerah yang putus asa memikirkan nasibnya, bingung memikirkan biaya, siapa yang harus menanggung akibatnya.
Tabung gas mirip buah melon yang pada masa-masa awal diberlakukannya konversi minyak tanah menjadi gas begitu dibanggakan -- selain karena praktis dan lebih menghemat biaya dan bisa menekan subsidi pemerintah -- itu kini justru menghantui puluhan jutaan masyarakat. Catatan Pertamina, setidaknya 50 juta masyarakat Indonesia sudah menggunakan tabung gas ukuran 3 Kg.
Ironisnya, meski hampir setiap hari terjadi kasus tabung gas yang bocor meledak, antarinstansi pemerintah sejauh ini -- kecuali untuk kasus Ridho-- hanya bisa saling menyalahkan, atau hanya mengaku prihatin atas maraknya insiden tabung gas meledak yang menimpa rakyatnya. Tetapi soal bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen tabung gas, semuanya cenderung mengelak.
Untuk menjawab persoalan itu, didalam ilmu hukum ada teori yang disebut teori risiko. Teori itu lahir mungkin bisa untuk menjawab persoalan yang selama ini tidak dapat dijawab oleh teori kesalahan ketika ada orang yang sungguh dirugikan oleh orang lain yang bersifat onrechtmatige (melawan hukum), maka ia berhak atas ganti rugi.
Menurut teori risiko tersebut, kewajiban untuk menanggung risiko tidak didasarkan pada kesalahan. Teori risiko ini telah digunakan oleh hakim dalam memutus perkara ”de Lekkende Kruik” atau ‘JUMBO’ yang sangat terkenal (Arrest HR 2 Februari 1973). Dalam kasus tersebut pada intinya HR menyatakan bahwa perusahaan J yang memproduksi dan telah melempar ke pasaran produk berupa ranjang bayi dengan alat pemanas (bedkruik). Karena alat pemanas itu bocor sehingga mengakibatkan luka pada bayi Tuan U, berarti produsennya harus siap bertanggung jawab untuk memikul risiko atas segala kemungkinan timbulnya kerugian yang disebabkan oleh produk tersebut (Disertasi Sari Murti, 2007: 175-177).
Kalaupun ada berbagai spekulasi yang berkembang selama ini, seperti adanya kejahatan pemalsuan tabung yang tidak memenuhi standar, kejahatan berupa pemindahan isi gas dari tabung gas 3 kg yang bersubsidi ke dalam tabung gas 12 kg yang tidak bersubsidi sehingga mengakibatkan kerusakan yang membuat tabung tetap ‘ngesos’ walau regulator telah terpasang atau berbagai spekulasi lainnya, maka hendaknya hal itu tidak menjadi excuse untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab.
Memang, selain faktor alat (kompor, tabung dan regulator) masih ada faktor manusia yang turut andil dalam persoalan ini. Bisa jadi masyarakat belum cukup teredukasi dalam penggunaan kompor dan tabung gas. Namun bagaimana pun pemerintah yang telah membuat kebijakan konversi minyak tanah ke gas harus bertanggung jawab atas musibah yang menimpa rakyatnya. (*)

corner tribun, 24 Juli 2010

Korupsi Sistemik di Lahan Basah

MARAKNYA korupsi dan ulah culas yang dilakukan oknum pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, misalnya Gayus HP Tambunan, Bahasyim Assyifie, penanganan kasus pajak Paulus Tumewu, pemalsuan data- data pajak, juga kasus penyimpangan yang terjadi di Ditjen Bea Cukai membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kecewa dan geram.
Kekesalannya itu dicurahkan dalam pengarahannya kepada jajaran Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai di Istana Negara, Jakarta, Rabu (21/7). Presiden menilai, masih adanya petugas pajak yang melakukan kejahatan luar biasa sehingga merugikan negara itu sebagai perbuatan kreatif tetapi keliru.
Oleh sebab itu, SBY memberikan tiga instruksi kepada kedua Ditjen tersebut. "Ini adalah kontrak dan pakta integritas antara saudara dan saya. Tidak perlu menunggu sampai reformasi selesai, sekarang juga," perintah SBY di depan para petinggi Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Tiga instruksi itu; pertama, segera menghentikan segala bentuk kejahatan dan penyimpangan perpajakan, kepabeanan dan cukai. Kedua, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai harus meneruskan reformasi birokrasi demi meningkatkan kinerja mereka. Hal yang perlu dibenahi terutama pelayanan publik yang cepat dan murah.
Ketiga, SBY meminta Menteri Keuangan Agus Martomardoyo mendukung pembenahan kinerja dan menjalankan reformasi birokrasi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Untuk mengawasi pelaksanaan ketiga instruksi tersebut, Presiden akan memantau dari dekat dengan bantuan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Kegusaran Presiden SBY bisa dimaklumi mengingat di dua instansi 'basah' tersebut belakangan ini memang sedang menjadi sorotan publik, khususnya penyimpangan di Ditjen Pajak. Terutama sejak terungkapnya kasus maker pajak Gayus yang bukan hanya dilakoni seorang diri, tetapi masalahnya ditengarai sudah menggurita. Peran Gayus membuktikan ada masalah sistemik di Ditjen Pajak.
Perintah Presiden SBY itu merupakan warning keras bagi aparat petugas di dua direktorat jenderal yang berada di lingkungan Kemenkeu tersebut untuk tidak mencoba-coba melakukan kejahatan dan penyimpangan yang berpotensi merugikan negara. Sebab bila ini diabaikan maka siap-siap untuk bernasib sama seperti Gayus dan aparat pajak lainnya yang harus merasakan dinginnya tembok rumah tahanan.
Seperti ramai diberitakan di media massa, pasca tertangkapnya Gayus Tambunan, beberapa aparat Ditjen Pajak di berbagai daerah menyusul ditangkap polisi maupun KPK, antara lain Bahasyim Assyifie di Jakarta, dan beberapa aparat pajak di Surabaya dengan nilai kerugian negara mencapai ratusan miliar, pegawai pajak di Bekasi dan lainnya.
Bahkan KPK seperti disampaikan Juru Bicara KPK, Johan Budi, di Kantornya, Kamis (22/7), kembali menjebloskan empat tersangka kasus suap pajak ke tahanan. Mereka adalah tiga tersangka pemeriksa pajak Kantor Pajak Bandung I, Jawa Barat dan mantan Direktur Kepatuhan Bank Jabar Herry Achmad Buchori terkait kasus dugaan suap Bank Jabar ke pemeriksa pajak Kantor Pemeriksa Pajak Bandung I, pada 2001-2002.
Tiga orang pemeriksa pajak itu, yakni Roy Yuliandri, Muhammad Yazid, dan Dien Rajana Mulya. Dalam kasus ini, Buchori bersama mantan Dirut Bank Jabar, Umar Syarifuddin, diduga memberikan uang suap Rp 2,5 miliar kepada mantan Kepala Pemeriksa Pajak Bandung I, Edi Setiadji, pada 2004 sebagai imbalan atas pengurangan jumlah nilai pajak Bank Jabar pada 2001 dan 2002. Sedangkan, Yazied, Dien, dan Buchori diduga bersama-sama dengan atasannya Edi Setiadji ikut menikmati pemberian, masing-masing Rp550 juta. Sebelumnya, KPK juga telah menahan mantan Supervisor Pemeriksa Pajak Dedy Suwardi dan Edi Setiadi. Artinya, KPK telah menahan seluruh tersangka yang terkait kasus ini.
Sebuah peringatan yang patut menjadi bahan perenungan bagi seluruh aparat birokrasi, bukan hanya yang berada di lingkungan kedua institusi tersebut, tetapi juga instansi pemerintah lainnya. (*)

corner tribun, 23 Juli 2010

Mengadili Korupsi Pajak di Daerah

PASCA mencuatnya kasus makelar pajak Gayus Halomoan Tambunan yang merugikan negara ratusan miliar, Pemerintah kian serius mengatasi permasalahan pajak. Pemerintah pun beserta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sepakat melaksanakan reformasi pengadilan pajak.
Salah satunya Pemerintah berencana membentuk pengadilan pajak di daerah-daerah.
Melalui pembentukan Pengadilan Pajak di daerah, maka jika ada wajib pajak berperkara, tidak perlu harus ke Jakarta untuk menyelesaikan perkara. Penanganan korupsi pajak di daerah bisa ditangani di daerah. Rencana tersebut tertuang dalam naskah saling kesepahaman (MoU) antara Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial yang diteken di Kemenkeu, Jumat (16/7) lalu.
Rencana pemerintah tersebut sekaligus untuk merevisi UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Menurut Menteri Keuangan Agus Martowardojo disela-sela penandatanganan, rencana itu dilandasi keadaan bahwa selama ini banyak masyarakat yang tidak mengetahui dimana letak pengadilan pajak. Karena selama ini Pengadilan Pajak ada di Kementerian Keuangan.
Kedepannya, kata Agus, pengadilan pajak tidak lagi akan bertempat di Kementerian Keuangan, tetapi juga ada di daerah. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan Pengadilan Pajak yang bebas, mandiri, tidak memihak, dan terpercaya dalam menegakan hukum dan keadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta rasa keadilan masyarakat yang berwibawa dan diakui dunia.
Seperti diketahui, selama ini Pengadilan Pajak yang berada dibawah pengawasan Kementerian Keuangan menjadi sorotan publik. Terutama sejak terbongkarnya kasus makelar Pajak Gayus Tambunan, terungkap kelemahan dari Pengadilan Pajak ini, yakni negara banyak dirugikan karena perkara yang ditangani Pengadilan Pajak lebih banyak dimenangkan para wajib pajak bermasalah yang berkongkalikong dengan makelar pajak seperti Gayus.
Melalui MOU itulah akan diatur pembinaan dan pengawasan Hakim Pengadilan Pajak serta pertukaran informasi di antara para pihak terkait dalam rangka pelaksanaan MOU. MOU melibatkan tiga institusi berbeda dengan fungsinya masing-masing. Sehingga kedepannya diharapkan akan menjadi lembaga peradilan yang transparan
Peran masing-masing institusi tersebut saling mengisi. MA merupakan lembaga pengawas tertinggi terhadap badan peradilan, melakukan pengawasan pelaksanaan tugas yudisial Hakim Pengadilan Pajak. Sedangkan Komisi Yudisial melakukan pengawasan atas perilaku Hakim Pengadilan Pajak, dan Menkeu merupakan pembina dalam bidang organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak.
Kita menyambut baik rencana pembentukan Pengadilan Pajak di daerah. Ketiga instansi ini harus bisa menjawab tuntutan masyarakat agar pengadilan pajak lebih kredibel dan transparan. Dengan terwujud sistem pengadilan yang transparan, sehingga tidak hanya wajib pajak mendapatkan keadilan tapi aparat pajaknya juga, serta negara juga tidak dirugikan karena kehilangan potensi pajak yang seharusnya diterima.
Apalagi, langkah ini diikuti dengan rencana pemerintah segera merevisi uu No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dimana nantinya, melalui revisi undang-undang ini, pengadilan pajak akan ditegaskan di bawah Mahkamah Agung (MA). Karena MA sebagai pengawas internal menjadi pengawas tertinggi pada semua badan peradilan dibawahnya, termasuk peradilan pajak.
Terkait dengan transparansi perkara di pengadilan pajak ini, maka nantinya pemerintah akan membuat situs resmi untuk mempublikasikan putusan-putusan perkara pajak, sehingga masyarakat maupun yang bersengketa dapat mengakses putusan-putusan pengadilan pajak. Semoga. (*)

corner tribun, 22 Juli 2010

Pajak Daerah tak Jadi Naik

SETELAH mendapatkan penolakan keras dari kalangan pengusaha di Batam yang tergabung dalam 16 asosiasi usaha, Pemerintah Kota Batam akhirnya usulan kenaikan pajak dan retribusi daerah yang sedang dibahas panitia khusus (pansus) DPRD, Selasa (20/7). Pembatalan usulan kenaikan itu diumumkan langsung oleh Wali Kota Batam Ahmad Dahlan di kantornya di depan perwakilan 16 asosiasi pengusaha di Batam.
Pengumuman pembatalan rancangan peraturan daerah (ranperda) kenaikan pajak daerah tersebut disambut gembira para pengusaha. "Kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada Walikota Batam, bahwa pada akhirnya Pak Wali mengakomodir keluhan masyarakat tentang masalah kenaikan pajak ini. Kami menyambut baik Walikota mau membatalkan rencana kenaikan pajaknya," cetus Ir Cahya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri.
Ahmad Dahlan pada kesempatan itu mengungkapkan, keputusan untuk tidak menaikkan pajak, setidaknya dalam dua tahun mendatang itu diambil Pemko Batam berdasarkan rekomendasi tim. Tim merekomendasikan win-win solution yaitu dengan tetap memberlakukan Perda No 6 Tahun 2007 untuk tarif-tarif pajak. Dan Pemko akan mengajukan Perda baru khusus untuk membahas tentang PBB dan BPHTB, karena merupakan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah.
Seperti diketahui, usulan kenaikan pajak daerah tersebut benar-benar dipandang serius oleh para pengusaha di Batam. Sebanyak 16 asosiasi pengusaha di Batam telah melayangkan surat resmi ke Wali Kota sejak Senin (5/7) lalu. Selain karena tiadanya lampiran kajian ilmiah terhadap nilai yang diusulkan, usulan kenaikan 19 item pajak daerah sebagaimana tercantum dalam ranperda tersebut dikhawatirkan akan menjadi bom waktu bagi masyarakat.
Sebab, kenaikan pajak ini tidak hanya akan dirasakan pengusaha, namun komponen seluruh masyarakat, seperti kenaikan pajak PPJU (pajak penerangan jalan umum) 150 persen dari pungutan lama, pasti akan dirasakan setiap orang.
Pengusaha merasa terpukul dengan usulan kenaikan pajak pada kisaran maksimal yang diperbolehkan, yakni rata-rata 35 persen bahkan hingga 75 persen. Mereka pun mengancam bila Ranperda ini disahkan maka mereka sepakat akan tutup usaha. Dampaknya sudah bisa kita bayangkan, akan terjadi PHK massal.
Apalagi, kini pengusaha masih dipusingkan oleh kenaikan tarif air ATB mulai Juni 2010 dan kenaikan tarif listrik. Di sisi lain masyarakat kini juga sedang dipusingkan oleh kenaikan harga beberapa bahan kebutuhan pokok menjelang masuk bulan Ramadan dan lebaran mendatang. Kenaikan harga kebutuhan pokok itu sudah pasti juga dirasakan oleh kalangan pengusaha, khususnya pengusaha makanan, restoran dan perhotelan.
Karena itu kebijakan Wali Kota Batam untuk moratorium atau menghentikan pembahasan rencana kenaikan pajak daerah sampai minimal dua tahun mendatang patut berikan apresiasi.
Kita menghargai sikap responsif Wali Kota Batam tersebut. Karena telah mendahulukan yang mementingkan asas manfaat yang luas secara sosial, ketenangan iklim berusaha di Batam, tidak sekadar mengejar pundi-pundi pungutan baru yang akan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah.
Apalah artinya, PAD tinggi, tetapi ternyata keberadaan Perda justru merusak iklim investasi, pengusaha kabur dan bubar karena tak kuat dengan tingginya pajak daerah. Ke depan, sebaiknya Pemko Batam di dalam membuat Ranperda pajak daerah dan restribusi melibatkan pihak perguruan tinggi yang paham dalam menentukan perhitungan pajak daerah dan retribusi, atau lembaga konsultan yang kompeten, sehingga bisa dihitung secara serius biaya dan manfaat yang luas secara sosial, ekonomi, lingkungan. Semoga (*)


corner tribun,Rabu, 21 Juli 2010

Mewujudkan Batam Hijau

MASYARAKAT Kota Batam selama sepekan, mulai 15 Juli lalu hingga 22 Juli mendatang mendapatkan suguhan pemandangan yang menyejukkan mata, melalui gelaran acara Pekan Flori dan Flora Nasional (PF2N) 2010 di Engku Putri, Batam Centre, Sabtu (17/6). Ratusan jenis tanaman hias dan rangkaian bunga alami dari berbagai daerah di tanah air dan negeri jiran dipamerkan untuk memanjakan pandangan masyarakat pulau berbentuk kalajengking ini.
Berbagai kegiatan digelar dalam pekan flori itu, mulai dari bursa tanaman hias, lomba merangkai bunga, tanaman anggrek, tanaman hias, lomba mengupas dan makan buah, seminar, demo dan kursus merangkai bunga, anggrek, menata taman, pawai kendaraan hias yang diikuti oleh 9 kendaraan yang berasal dari Bandung, Batam, Bangka Belitung, Lingga, Tanjungbalai Karimun, dan Provinsi Kepri yang dimeriahkan atraksi kebudayaan daerah, dan lainnya.
Pameran tanaman hias tingkat nasional ini menambah semarak Tahun Kunjungan Batam (Visit Batam Year 2010). Sebagai daerah kunjungan wisata menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Kota Batam merupakan daerah kunjungan wisata ketiga di negeri ini dengan kunjungan turis sebanyak 1.100.000 orang pertahun. Dengan dukungan berbagai fasilitas memadai yang telah dimiliki Batam, wisatawan nusantara dan mancanegara dari negeri jiran, Singapura, Malaysia, Thailand, Korea, China dan sekitarnya diharapkan datang ke Batam.
Event PF2N yang terselenggara di kota industri ini bisa menjadi entry point untuk mewujudkan misi bersama pemerintah pusat dan daerah, yaitu berjalannya industri hortikultura secara berkesinambungan. Penyelenggaraan Pekan Flora dan Flori juga diharapkan bisa menginspirasi pemerindah daerah dengan dukungan swasta, pengusaha dan masyarakat luas untuk secara sungguh-sungguh mewujudkan cita-cita Batam menjadi kota yang bersih dan hijau Apalagi berbagai upaya dan kerja keras untuk mewujudkan kota Batam Hijau yang selama ini terus digaungkan Pemko Batam terus dilakukan.
Seperti diketahui, julukan sebagai kota terkotor pada 2005 sempat disematkan di kota industri ini, lalu pada 2006 dapat keluar dari julukan tersebut. Dan pada 2007 Kota Batam mampu meraih Adipura pertamanya yang dilanjutkan tahun 2008. Sebuah usaha yang berkesinambungan rupanya membuahkan hasil.
Tahun ini kota akan terus membenahi diri dengan konsep- konsep yang lebih baik lagi. Misalnya menerapan konsep pengelolaan sampah yang dikejarsamakan dengan pihak swasta selama 25 tahun yang akan dikembalikan dalam bentuk energi. Dinas Kebersihan dan Pertamanan juga terus berupaya menambah fasilitas bagi taman-taman publiknya.
Masyarakat dan pengusaha yang ambil bagian dalam kegiatan penghijauan di lingkungannya masing-masing juga turut memiliki peran penting dalam menghijaukan Batam. Misalnya, seperti dilakukan pemilik salah satu pom bensin di kawasan Tiban yang telah memanfaatkan lahannya yang cukup luas hampir penuh dengan tanaman hias patut dihargai dan ditiru.
Penanaman tanaman dalam jumlah banyak mampu menciptakan suasana yang sejuk dan nyaman karena oksigen yang mampu dihasilkan dari tanaman-tanaman tersebut. Batam yang terkenal sebagai daerah yang beriklim panas, seperti tidak berlaku di sini. Kesejukan dan kenyamanan bukan hanya dapat dirasakan. Keasrian pemandangan menjadi nilai lebih bagi kawasan ini. Kesan yang didapat pun menjadi lebih hijau, rimbun dan teduh.
Karena itu, jangan sia-siapan event akbar Pekan Fora-Flora Nasional Batam 2010 di dataran Engku Putri dan sekitarnya yang masih akan berlangsung sampai Kamis, 22 Juli mendatang. Selain untuk menyejukkan mata dengan keindahan aneka tanaman hias, kita bisa belajar banyak tentang budidaya aneka tanaman hias, tanaman buah dan sayur, menata taman langsung dari ahlinya, atau menambah koleksi tanaman hias di rumah kita. (*)

corner tribun, 19 Juli 2010

Pemekaran Gagal

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono meminta dilakukan moratorium pemekaran (pemisahan) daerah. Usulan pembentukan daerah otonom baru untuk sementara harus dihentikan sambil menunggu evaluasi lebih lanjut. Permintaan itu disampaikan Presiden SBY dalam jumpa pers bersama Ketua DPR Marzuki Alie seusai rapat konsultasi di Istana Negara Rabu (14/7) lalu. Alasan Presiden, 80 persen daerah pemekaran gagal menjalankan tugasnya. Masih banyak masalah yang timbul akibat pemisahan wilayah yang tak selalu sesuai dengan sasaran.
Untuk diketahui, sejak otonomi daerah dijalankan pada 1999, penambahan daerah otonom di Indonesia mencapai 205. Terdiri atas 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan penambahan itu jumlah, jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 524, terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.
Permintaan moratorium sebenarnya sudah berkali-kali disampaikan oleh Presiden SBY. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan, pembentukan daerah baru, dan gerilya politik untuk melahirkan daerah baru terus berlangsung di banyak daerah, di DPR dan di Kementerian Dalam Negeri. Ada ratusan daerah baru yang sudah berancang-ancang untuk memisahkan diri dari induknya.
Contoh terdekat, Pemerintah Provinsi Kepri akhir Mei 2010 lalu sudah mengajukan draft usulan pemekaran kabupaten dan kota di Kepri ke Mendagri bersama-sama dengan 32 provinsi lain. Menurut Plt Sekda Kepri, Arifin kepada koran ini, ada lima daerah yang akan diusulkan untuk dimekarkan.
Untuk Kabupaten Karimun, daerah yang akan dimekarkan adalah Kundur yang rencananya akan menjadi Kabupaten Kundur. Barelang yang masuk dalam wilayah Kota Batam juga akan dimekarkan menjadi Kabupaten Barelang. Bintan Utara yang terletak diujung luar Kabupaten Bintan akan dimekarkan menjadi Kabupaten Bintan Utara. Serasan yang saat ini masuk wilayah administratif Kabupaten Natuna akan dimekarkan menjadi Kabupaten Serasan. Terakhir adalah Singkep diusulkan menjadi kabupaten tersendiri terpisah dari Kabupaten Lingga.
Sebenarnya, pemekaran wilayah tidak menjadi masalah sepanjang syarat untuk pembentukannya sebagaimana diatur dalam PP 129/2000 yang kemudian diganti dengan PP 78/2007 dipenuhi. Syarat pembentukan daerah baru adalah administratif, teknis, dan kewilayahan. Syarat administratif adalah Keputusan DPRD, Keputusan Kepala Daerah serta Rekomendasi Mendagri.
Syarat teknis terdiri atas faktor-faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, sosial budaya, kependudukan, luas daerah, kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali pemerintahan. Sedangkan syarat kewilayahan meliputi adanya cakupan wilayah, calon ibukota, dan prasarana pemerintahan. Semua persyaratan itu harus dituangkan ke dalam atau menjadi lampiran dari dokumen yang disebut Kajian Daerah.
Persoalannya, banyak dokumen kajian daerah yang dikerjakan asal-asalan. Data tidak akurat, analisis dan argumen sangat lemah. Anehnya, usulan pemekaran daerah dengan dokumen pendukung yang sangat lemah dan amburadul pun ternyata tetap lolos ke Jakarta dan akhirnya masuk dan dibahas di DPR.
Untuk menghentikan laju gerilya politik bagi lahirnya daerah baru maka pemerintah pusat harus menemukan akar permasalahan paling mendasar dari problemtika pemekaran. Mengutip Dr Bambang Purwoko, dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, setidaknya ada empat hal yang harus dicermati.
Pertama, pemerintah perlu segera menyiapkan UU tentang grand design penataan daerah di Indonesia. Kedua, harus ada regulasi yang tegas yang mengatur dan membatasi para pejabat dan politisi khususnya di Kemendagri dan DPR RI sehingga mereka tidak terlalu lunak menerima dan meloloskan usulan pemekaran.
Ketiga, pemerintah harus mampu menjamin bahwa setiap warga masyarakat termasuk di daerah yang secara geografis sulit dijangkau tetap bisa mendapatkan pelayanan publik yang sangat mereka butuhkan. Terakhir, pemerintah juga harus bisa menjamin bahwa alokasi dana pembangunan melalui APBN maupun APBD bisa ditransfer secara transparan dan akuntabel sampai ke tingkat yang paling rendah secara adil dan proporsional. (*)

corner tribun, 17 Juli 2010

Ledakan Penduduk Mengkhawatirkan

LAJU pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Hasil penghitungan Sensus Penduduk 2010 yang hampir seluruh datanya sudah masuk menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237 juta- 239 juta jiwa, hampir mendekati ambang batas jumlah penduduk 240 juta jiwa. Padahal, perkiraan sebelumnya menyebutkan jumlah penduduk Indonesia 2010 sekitar 234 juta orang. Itu berarti terjadi kelebihan penduduk dari perkiraan hingga 4 juta orang.
Keprihatinan tingginya laju pertumbuhan penduduk di Tanah Air itu diungkapkan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Sugiri Syarief menjawab pertanyaan wartawan usai membuka Workshop Auditor BKKBN provinsi se Indonesia di Batam, Rabu (14/7) malam.
Sugiri menuturkan, angka pertumbuhan penduduk secara nasional masih 1,3 persen per tahun. Artinya, jika penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 240 juta maka hanya dalam waktu 3 tahun lagi akan mendekati angka 250 juta jiwa.
Dengan demikian, dalam kurun sepuluh tahun terakhir jumlah anak bangsa bertambah sekitar 35 juta orang. Jika pertumbuhan penduduk itu gagal dikendalikan, pada 2100 bukan tidak mungkin jumlah orang yang mendiami negeri kita tercinta ini mencapai 1 miliar. Yang lebih mengerikan lagi, 60% penduduk kita berada di Pulau Jawa yang luasnya hanya 10% dari total luas Indonesia.
Yang juga mengerikan, tingginya angka pertumbuhan penduduk tersebut tidak diimbangi dengan fasilitas sosial, ekonomi, kesehatan, lahan, dan lain-lain sehingga dapat menjadi bencana. Sebab, mereka butuh makan, lapangan kerja, tempat tinggal, dan butuh hidup layak. Sementara apa-apa yg dibutuhkan tadi sangat terbatas.
Masalah di atas merupakan ancaman yang kian nyata, tapi sepertinya diabaikan begitu saja. Ironisnya, BKKBN seakan tak berdaya. Padahal, pada era Orde Baru, BKKBN merupakan institusi yang secara langsung sukses mengendalikan pertumbuhan penduduk. Namun di era otonomi daerah sekarang, sudah kementeriannya dihapus, di daerah pun BKKBN tidak punya kaki.
Soal kependudukan belum menjadi isu utama kampanye kepala daerah, calon kepala daerah, calon legislatif, bahkan calon presiden, dan presiden sekarang. Semuanya belum meletakkan kependudukan sebagai ancaman nyata. Ia masih dilihat semacam ilusi yang dilebih-lebihkan. Padahal, problem turunan dari ledakan penduduk ini tak kalah seriusnya.
Untuk mengantisipasi ledakan penduduk memang sudah terbit UU No 52 tahun 2009, namun hingga kini juklak maupun petunjuk teknis berupa PP belum ada. Kesadaran pemerintah daerah untuk mengangkat petugas lapangan KB (PLKB) juga masih rendah sehingga ujung tombak pengemban sosialisasi program KB sangat minim.
Ambil contoh di Kepri baru ada 2 kabupaten yang sudah konsen membentuk BKKBD dan baru memiliki 20 PLKB. Padahal jumlah penduduk Kepri saat ini sekitar 1,7 juta jiwa -- 1,06 juta di antaranya di Batam-- dengan angka pertumbuhan 9,5 persen pertahun yang dipengaruhi oleh faktor utama yaitu migrasi atau penduduk pendatang.
Padahal, dalam UU No 52 tahun 2009 disebutkan, pemerintah daerah kabupaten atau kota harus membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) sebagaimana SKPD yang mengurusi masalah kependudukan dan KB. Sayangnya, dalam UU tersebut tidak ada sanksi bagi kepala daerah yang tidak melaksanakan atau tidak membentuk BKKBD.
Karena itu dibutuhkan komitmen bersama seluruh komponen bangsa untuk dapat melakukan langkah-langkah bersama menekan laju pertumbuhan penduduk, khususnya kepala daerah, legislatif, dan pemerintah pusat, termasuk para calon kepala daerah. (*)
corner tribun, 16 Juli 2010

Tinjau Ulang Infotainment

SUDAH bukan rahasia lagi tayangan program infotainment yang marak di hampir semua stasiun televisi Indonesia lebih banyak menjadi ajang gosip, ghibah atau mengguncingkan persoalan pribadi atau keluarga selebritis dan belakangan juga para tokoh, sehingga dituding merusak kehidupan orang, baik artis maupun tokoh masyarakat, dan masyarakat pada umumnya.
Namun dengan dalih untuk menaikkan rating, dan celakanya program yang memperguncingkan urusam rumah tangga yang sarat perselingkuhan, perceraian, dan perselisihan orangtua serta anak ini justru mendapatkan rating tertinggi,.pengelola televisi, kecuali televisi plat merah TVRI terus bersaing menayangkan bermacam program infotainment yang isinya lebih banyak menggosip.
Maraknya program tayangan infotainment yang juga dituding sejumlah sejumlah kalangan tidak memerhatikan kaidah-kaidah jurnalistik itu menarik minat Mulharnetti Syas, mengangkatnya menjadi bahan untuk penulisan disertasi yang dipertahankan dalam ujian promosi untuk meraih gelar doktor program studi ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia dengan yudisium sangat memuaskan, Selasa (13/7).
Dalam disertasinya bertajuk Relasi Kekerasan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia: Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment itu (Kompas, 14/7) Syas berpendapat, tayangan infotainment dianggap terlalu berlebihan. Proses produksi infotainment lebih sering melanggar etika dan prinsip-prinsip atau kaidah jurnalistik, sehinggas tidak dapat disebut sebagai karya jurnalistik.
Prinsip kebenaran, klarifikasi, independen, dan proporsional dalam pemberitaan yang merupakan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovack, misalnya kerap dilanggar. Infotainment lebih banyak berdasarkan gosip. Tayangan infotainment lebih kerap dimotori keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya, melalui pencapaian rating yang tinggi.
Sebab produksi dan distribusi program infotainment tentang budaya industri dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan menurut Syas dipengaruhi etika kapitalis. terjadi pergeseran nilai jurnalistik yang semula mengedepankan fakta tetapi belakangan mengedepankan fungsi bisnis (keuntungan). Karena itu Syas berpandangan, diperlukan peninjauan ulang terhadap infotainment. Sebab siaran televisi tidak sekadar menghibur, tetapi juga harus mendidik.
Kita sependapat dengan pandangan Mulharnetti Syas tersebut, karena kenyataannya isi tayangan program infotainment selama ini lebih banyak berisi gosip, mengguncing. Mengutip pendapat pakar komunikasi dari UI, Effendi Ghozali, karakter infotainment di Indonesia cenderung over simplified, dan over claim.
Hal ini ditunjukkan dengan cara kerja para jurnalis infotainment yang terlalu mudah menyederhanakan dan menyimpulkan sebuah persoalan. Misalnya, ketika seorang artis ditemui sedang berjalan dengan orang lain, langsung saja disimpulkan selingkuh atau sedang ada affair. Intinya mengada-ada.
Sedangkan over claim, ditunjukkan media infotainment selalu mengklaim demi kepentingan publik. Seolah-olah publik harus mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada artis. Perceraian seorang artis dengan pasangannya diklaim bahwa hal itu sangat dibutuhkan masyarakat. Bahkan dikhawatirkan tidak akan lama lagi akan berkembang pada kehidupan tokoh lain, misalnya tokoh politik.
Komisi Penyiaran Indonesia sendiri belum ini sampai sudah menyepakati bahwa tayangan infotainment bukan produk jurnalistik. Infotainment gosip dinilai merupakan pembunuhan karakter orang yang diberitakan, dan sama sekali tidak menjadi bagian dari kebebasan dan demokrasi.
Karena ini koran ini sependapat bahwa konten tayangan program infotainment harus ditata ulang. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) harus mengambil inisiatif untuk menertibkan tayangan infotainment. (*)
corner tribun, 15 Juli 2010

Tangkap Pelaku Teror dan Otaknya

PENGANIAYAAN yang dilakukan empat orang lelaki tak dikenal terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun terus menjadi perhatian publik dan media massa sepekan terakhir ini. Simpati juga mengalir termasuk dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat tinggi negara yang meluangkan waktu menjenguk Tama di RS Asri Jakarta Selatan. Semuanya mengutuk sembari meminta kepolisian segera dapat menangkap pelakunya dan menuntaskan aksi teror itu .
Tama sendiri kondisi kesehatan sudah dinyatakan membaik, sehingga Selasa (13/7 sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Begitu keluar dari rumah sakit, pegiat antikorupsi yang getol membongkar dan melaporkan skandal rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi (Pati) Polri bernilai ratusan miliar ke KPK itu langsung meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Mengapa, kasus Tama menjadi terkesan sangat luar biasa. Padahal, dilihat dari kejadiannya, tak jauh berbeda dengan peristiwa kriminal lainnya yang hampir setiap hari terjadi di Tanah Air. Jawabnya, tak lain karena terkait dengan figur dan konteks. Bukan pada figur orangnya (Tama), melainkan pada institusinya, yakni Indonesia Corruption Watch (ICW), yang selama ini dikenal sangat kritis terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Kasus tersebut dikaitkan dengan konteks pengungkapan skandal rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi (Pati) Polri. Kasus itu juga dihubungkan dengan kejadian sebelumnya, yakni pelemparan bom molotov di kantor Tempo Jakarta, pasca laporan Tempo soal rekening gemuk Pati Polri. Sementara ICW secara aktif terus melaporkan dugaan rekening mencurigakan Pati Polri ke KPK dan mendesak lembaga tersebut segera menindaklanjuti.
Dukungan Presiden SBY dan sejumlah pejabat tinggi negara itu patut diapresiasi. Sebab kunjungan mereka merupakan pesan yang jelas bagi Polri untuk secara serius mengusut tuntas kasus ini, termasuk menyeret aktor dibalik teror terhadap aktor dibalik pemukulan itu.
Tidak menutup kemungkinan dalam dua kasus teror ini ada oknum yang mengail di air keruh untuk membenturkan institusi Polri, ICW dan pers. Tetapi, kedua insiden yang saling berdekatan waktunya itu sulit jika tak dikaitkan dengan pemberitaan rekening gendut milik beberapa Pati Polri. Karena Tama-lah yang melaporkan rekening gendut milik jenderal polisi ke KPK.
Bukan tidak mungkin ada oknum polisi yang merasa terusik dengan pemberitaan rekening gemuk serta langkah ICW yang getol mendesak KPK menangani kasus rekening tak wajar sejumlah jenderal, lalu bertindak anarkis. Namun Kemungkinan itu sudah dibantah tegas Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri.
Justru disinilah tantangan yang harus dijawab oleh polisi, Polri harus secepatnya dapat mengusut tuntas aksi teror tersebut untuk membuktikan bahwa teror tak terkait dengan institusi Polri ataupun pemberitaan rekening gendut Pati Polri.
Adalah sangat anomali, bila Presiden membesuk korban penganiayaan aktifis ICW tanpa kemampuan Polri untuk membongkar para peneror. Lebih dari itu, baik Presiden maupun kepolisian tidak dapat memastikan asal usul rekening gendut perwira polri. Kunjungan SBY tanpa mampu mengungkap kedua hal tersebut adalah tak lebih dari upaya pencitraan politik.
Agar tidak terkesan hanya untuk pencitraan politik, maka Presiden harus mendeadline Kapolri untuk secepatnya menangkap penganiaya Tama. Bila selama ini Polisi bisa dengan cepat menangkap dan mengungkap jaringan teroris yang tertata rapi, tentu bukanlah hal sulit untuk menangkap pelaku kekerasan terhadap Tama dan otaknya. (*)

corner tribun, 14 Juli 2010

Mungkinkah Belajar dari Piala Dunia

PERHELATAN olahraga terakbar di planet bumi ini, pesta sepak bola Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan berakhir sudah Senin dinihari kemarin. Kita berikan mengapresiasi atas kesuksesan tuan rumah Afrika Selatan menggelar laga empat tahunan yang mementaskan 64 pertandingan dari 32 tim sepak bola terbaik dunia di 10 stadion sepanjang 11 Juni-12 Juli 2010.
Puncak dari putaran final World Cup 2010 ini ditandai dengan goresan tinta emas kesebelasan Spanyol. Setelah menunggu selama 80 tahun lamanya, sejak Piala Dunia pertama pada 1930, untuk pertama kalinya Spanyol meraih gelar juara dunia setelah menekuk Belanda dengan skore 1- 0. Event akbar ini telah mencapai derajat ‘terhormat’ dan digilai hampir semua lapisan masyarakat dunia.
Bagi banyak negara, sepak bola tidak lagi olahraga semata, apalagi permainan pengisi waktu senggang. Tetapi sudah menjadi harkat dan martabat negara dan bangsa. Sepak bola di zaman ini sudah pula berarti bisnis; gengsi; entertainment; dan lainnya yang menyedot perhatian miliaran masyarakat dunia.
Menjadi martabat karena tuntutan-tuntutan fundamental dalam sepak bola seperti kerjasama dan kecerdasan, kekuatan, kecepatan, sportivitas telah menyatu dengan tuntutan fundamental bangsa itu. Seperti ditunjukkan dari laga final negeri meneer dengan matador kemarin. Dalam irama permainan menyerang yang diwarnai takling-takling keras, sehingga memicu 'hujan' kartu kuning, para pemain kedua kesebelasan tetap sportif.
Usai final, suporter kedua kesebelasan tetap tertib dan akur. Bedanya, suporter Spanyol larut dalam eforia kemenangan, suporter Belanda tertunduk lesu setelah timnya. Sepak bola dunia terbukti telah menghadirkan keadaban yang semakin enak ditonton. Keadaban yang timbul karena mereka sadar publik adalah roh dari seluruh pertandingan dan permainan.
Pendek kata, sepak bola sudah menjadi semacam virus yang membuat demam dunia. Event Piala Dunia, seperti halnya pertandingan sepak bola manca negara, khususnya dari dua benua yang menjadi kutub kekuatan sepak bola dunia: Eropa dan Amerika latin, merupakan ‘acara wajib’ yang ikut mengatur irama dan gaya hidup kita.
Karena itu, berakhirnya Piala Dunia 2010 bisa dikatakan merupakan kehilangan terbesar hiburan memikat melalui layar televisi selama sebulan penuh. Kita seharusnya bisa belajar dari keadaban yang telah ditunjukkan oleh 32 tim yang berlaga di Piala Dunia, yakni tuntutan sportifitas, kekuatan, kecepatan, kerjasama tim dan kecerdasan.
Namun di negeri ini, Piala Dunia tampaknya hanya menjadi sekadar hiburan empat tahunan semata tanpa makna. Kita harus kembali menghadapi kenyataan pesepakbolaan nasional yang
lesu dan belum memiliki adab sebagai pertandingan, karena minimnya ketaatan terhadap aturan permainan.
Sepakbola di tanah air baru sebatas menjadi ajang eksploitasi pengurusnya. Sementara suporter sepakbola lebih mudah tersulut emosi, sehingga memicu kericuhan, tawuran antarsuporter pendukung tim. Setidaknya ini tercermin dari kejadian memalukan Senin pagi kemarin, ketika antarpendukung Spanyol dan Belanda terlibat tawuran di Ambon Maluku, dan di Papua. Tawuran yang dipicu saling ejek itu mengakibatkan beberapa rumah mengalami kerusakan.
Harus diakui, kita memang baru sebatas negara dan bangsa yang puas menonton piala dunia.
Karena itu keinginan sementara pihak agar tim sepak bola Indonesia bisa berlaga di Piala Dunia bisa diibaratkan mimpi di siang bolong. Tak usahlah bermimpi muluk- muluk, lebih baik membenahi manajemen persepakbolaan Indonesia agar setidaknya bisa berprestasi di tingkat Asia Tenggara. Sebab di tingkat ASEAN saja, tim sepakbola Indonesia masih terseok-seok. (*)

corner tribun, 13 juli 2010

Penghargaan bagi Tribun Batam

SYUKUR alhamdulillah hasil kreatif dan inovatif kru Tribun Batam membawa hasil. Dewan juri Pressmart Indonesia Print Media Award (PIPMA) 2010 memilih Tribun Batam sebagai penerima tropi Silver Winner The Best Sumatera Newspaper Front Page Design (Tata Wajah atau Disain Halaman Depan Terbaik di Sumatera), di Jakarta Jumat (9/7) malam lalu.
Tujuh juri tunjukan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) dan Pressmart menilai harian Tribun Batam merupakan satu dari tiga surat kabar di wilayah Sumatera –bersama Radar Lampung dan Singgalang-- yang mempunyai perwajahan halaman satu terbaik.
Karya yang dinilai ada 354 yang terbagi dalam 16 kategori. Dari 16 kategori, terpilih 39 pemenang, empat di antaranya diraih tiga koran grup Tribun, yakni Tribun Batam, Tribun Kaltim (menang 2 kategori), dan Banjarmasin Post.
Disain halaman satu Tribun Batam yang mendapat penghargaan yaitu edisi 3 Oktober 2009, yang memajang foto penyelamatan korban gempa di Padang, Sumatera Barat, dengan judul headline Tolong, Saya Masih Hidup.
Bagi Tribun Batam, penghargaan tersebut bukan sebuah kebetulan semata, tetapi efek dari kreatifitas dan kerja keras dalam memberikan penampilan tata wajah terbaik kepada para pembaca.
Sejak pertama kali terbit, 15 September 2004, setiap hari Tribun Batam selalu menampilkan tata wajah (disain) yang atraktif, tidak monoton, dan nyaman dilihat. Bukan hanya di halaman satu dan halaman etalase saja, tetapi juga halaman-halaman lain.
Dengan demikian pembaca mendapatkan sajian tata wajah terbaik di setiap halaman, setiap hari. Bagi Tribun Batam, lembar demi lembar surat kabar tidak sekadar susunan foto, grafis, dan naskah berita.
Tapi lebih dari itu, merupakan perpaduan antara karya intelektual dan seni sehingga selain mampu memberikan sajian informasi bermakna tetapi juga enak dilihat.
Selain enak dilihat, perwajahan Tribun Batam didisain sedemikian rupa sehingga memudahkan pembaca memahami isi berita dan lebih cepat menemukan letak informasi yang dibutuhkan.
Sajian grafis di berbagai halaman, terutama di halaman satu, membantu para pembaca memahami informasi tanpa harus membuang waktu dengan membaca sampai selesai isi berita.
Begitu pula dengan pemberian indeks di halaman satu di berita-berita menarik, memudahkan pembaca mencari berita lain yang terkait dengan berita bersangkutan. Dengan demikian perwajahan Tribun Batam diharapkan mampu memberikan manfaat praktis kepada pembaca.
Tata wajah media massa cetak bisa dianalogikan dengan layout sebuah pasar swalayan modern. Berbeda dengan pasar dan toko tradisional, konsep swalayan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pembeli untuk memilih sendiri barang yang diperlukan tanpa harus dibantu oleh para pekerja.
Dengan demikian ketersediaan berbagai jenis barang di pasar swalayan tidak akan berarti apa-apa manakala penataan ruangan tidak membuat para pembeli dapat dengan mudah menemukannya.
Tak heran penataan barang di pasar swalayan modern juga didukung berbagai petunjuk arah dan panduan, sehingga barang sekecil apapun dapat diketahui tempatnya. Seperti itu juga lah fungsi indeks yang sering pembaca lihat di Tribun Batam sehari-hari.
Terkait dengan pemberian penghargaan di ajang Pressmart Indonesia Print Media Award 2010, kami menyampaikan terima kasih kepada para pembaca, pelanggan, pemasang iklan, dan mitra Tribun Batam yang tak jemu-jemunya memberikan masukan. Itulah obat sekaligus cambuk bagi kami untuk terus berkreasi dan berinovasi agar dapat terus memberi sajian terbaik.
Komitmen kami, penghargaan yang telah kami terima tidak akan membuat kami lantas berpuas diri dan berhenti mengembangkan diri. Ibarat sebuah amanah, pemberian penghargaan itu patut dijadikan sebuah momentum untuk menjadi lebih baik lagi, sekaligus mensyukurinya. (*)
corner tribun, 12 Juli 1010

Mudarat Sipil Bersenjata Api

PUBLIK di tanah air kini heboh oleh rencana pemerintah membekali Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan senjata api (senpi). Meski heboh pembekalan Satpol PP dengan senjata mematikan itu terbilang telat, sebab Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 yang membolehkan hal itu sudah dilansir pada Januari lalu, namun tetap relevan untuk dikritisi.
PP yang menjadi dasar kebijakan tersebut dijabarkan oleh Mendagri dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2010 pada Maret lalu. Dalam beleid yang diteken Mendagri Gamawan Fauzi disebutkan konsideran pembekalan Satpol PP dengan senjata api. Dalam menegakkan Perda, keselamatan jiwa anggota satpol PP bisa terancam. "Sehingga perlu dilengkapi dengan senjata api," begitu bunyi konsideran pertama.
Kontroversi pemberian hak menggunakan senjata api bagi anggota Satpol PP kini terus menuai kecaman. Banyak pihak yang mempertanyakan, mengapa aturan itu bisa muncul. Sebab, permendagri tersebut dinilai bila diterapkan akan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat. Bukan saja mengkhawatirkan, tetapi juga berpotensi benturan kewenangan penggunaan dengan polisi.
Kekhawatiran antara lain datang dari kepolisian. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Ito Sumardi mengkhawatirkan kesulitan mempertanggungjawabkan penggunaan senjata api tersebut. Ito juga mengingatkan orang yang bisa memiliki dan menggunakan senjata api harus memenuhi persyaratan ketat. Kalau anggota Satpol PP mau dipersenjatai, mereka harus lolos tes psikologi dan tes kesehatan.
Kekhawatiran muncul. Makin banyak orang megang senjata makin sulit dipertanggungjawabkan karena setiap orang tergantung the man behid the gun. Calon pemilik dan pengguna juga harus memiliki kemampuan memegang, menggunakan, menyimpan, dan merawat senjata api. "Karena itu menyangkut psikologi dan kita kan ada aturannya," ujar Ito, Rabu (07/7).
Sejumlah kalangan juga tegas menolak, seperti DPR dan Komnas HAM, Lembaga Bantuan Hukum, Menkopolhukkam Djoko Suyanto. Anggota Komnas HAM Yosep Adi menegaskan, penggunaan senpi hanya bisa oleh aparat penegak hukum dan militer. Sesuai latar belakang pembentukannya, Satpol PP hanya bertugas membantu kepala daerah dalam rangka menegakkan peraturan daerah, serta menjaga ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Sayang dalam praktiknya banyak catatan kelabu yang menodai aksi mereka. Apalagi bila diberi pistol, seperti diungkapkan aktivis dari Urban Poor Concorcium (UPC) Edi Saidi, psikologis Satpol PP akan menjadi merasa benar, sah dan legal untuk menggunakan kekerasan. Ini justru akan memperbesar potensi konflik antara Satpol PP dengan masyarakat. Dan yang paling mengkhawatirkan, Satpol PP dapat terjerumus pada bisnis keamanan yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
Apalagi selama ini, mereka cenderung memahami penertiban selalu dengan kekerasan, tak ada perspektif HAM, prosedur hukum, solutif, dan sebagainya sehingga dikhawatirkan, kekerasan justru akan meningkat secara kuantitas maupun kualitas. Karena itu LBH Jakarta Minta Permendagri dicabut, bukan dibekukan. Sebab kalau hanya dibekukan, suatu hari bisa dibuka kembali.
Karena itu kita menyambut baik pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi kepada wartawan di Istana Wapres, Rabu (7/7), bahwa Satpol PP belum perlu dipersenjatai. Menurutnya, Permendagri tersebut baru tepat diterapkan sepuluh tahun lagi. Namun koran ini sependapat dengan LBH bahwa lebih baik permendagri tersebut dicabut. Sebab, sejauh ini Satpol PP yang hanya bermodal pentungan saja sudah berani berlaku arogan dan brutal, bagaimana bila dipersenjatai pistol. Makin tinggi tingkat kekerasannya. (*)
corner tribun, 9 juli 2010

Perang Dua Pendekar Hukum

BANGSA Indonesia, terutama para pemimpinnya kini seperti tidak punya pegangan di dalam perpolitikan Indonesia. Politiknya sudah demikian mengkristal, artinya yang buruk dan yang baik sudah jelas di depan mata. Negeri ini terkesan sudah kacau, ketika melihat situasi saat ini seperti polisi menangkap polisi, jaksa menuntut jaksa, hakim mengadili hakim.
Mengutip pendapat Rocky Gerung,, Ketua Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) seperti dilansir laman www.perspektifbaru.com (27/6/2010) situasi yang lebih formil yaitu masyarakat di daerah juga sudah semakin tribal seperti perang antarsuku, perang antarkeluarga. Di tingkat yang lebih formil lagi, DPR semakin finansial. Mereka tidak bisa berpikir kalau tidak ada uang. Yang paling parah, presiden makin feodal. Lengkaplah kondisi kengerian politik kita.
Dan yang paling gres munculnya perseteruan antara Jaksa Agung Hendarman Supanji dengan mantan Menteri Hukum dan HAM sekaligus mantan Mensesneg Yusril Izha Mahendra. Kedua pendekar hukum Indonesia itu hari-hari ini saling gertak dan mengancam untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka ke lembaga peradilan.
Perseteruan dua ahli hukum itu bermula dari penetapan Kejaksaaan Agung kepada mantan Menhuk dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum) yang merugikan keuangan negara Rp 420 miliar, pekan lalu. Bersama Yusril, ditetapkan juga sebagai tersangka dalam kasus ini Hartono Tanoesudibjo yang kini kabur ke luar negeri.
Yusril yang ditetapkan sebagai tersangka menolak diperiksa diperisa jaksa, karena menganggap jabatan Jaksa Agung yang disandang Hendarman Supanji ilegal. Yusril juga menuding Jaksa Agung Hendarman Supandji menerima suap sebesar 3 juta dollar AS dan Mensesneg Sudi Silalahi menerima 10 juta dolar AS dari Hartono Tanoesudibjo.
Dia berargumen, jabatan Jaksa Agung Hendarman sudah selesai bersamaan berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I pada 20 Oktober 2009. Karena saat pelantikan KIB II Hendarman tidak ikut dilantik sebagaimana anggota kabinet lainnya. Karena tak sah, Yusril menilai, penetapan dia sebagai tersangka dalam kasus Sisminbakum juga tidak sah.
Gerah jabatannya dituding ilegal, Jaksa Agung Hendarman akhirnya menantang Yusril menggugat secara hukum ke lembaga peradilan. Hendarman berargumen jaksa agung yang disandangkannya berpedoman pada UU Kementerian Tahun 2008, bukan UU Kejaksaan. Dalam UU Kementerian disebutkan lembaga Jaksa Agung adalah lembaga nonkementrian. Jadi tidak masuk di dalam ranahnya kabinet. Bukan menteri, tapi sederajat dengan menteri. Hendarman keukeuh mengatakan jabatannya sampai detik ini legal karena keppres pengangkatannya oleh Presiden tidak pernah dicabut.
Sementara menurut Yusril, saat membentuk pemerintahan dengan nama Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden SBY seharusnya mengangkat kembali Hendarman jaksa agung. Faktanya sampai sekarang Hendarman tak pernah diangkat lagi, maka kedudukannya menurut Yusril ilegal. Karena itu Yusril meladeni tantangan Hendarman dengan menggugat jabatan jaksa agung yang disandang Hendarman dengan mengajukan permohonan uji materiil Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (6/7).
Ketimbang masuk ke ranah politik yang sumir dan berdebat di luar jalur resmi, sebaiknya Jaksa yang menangani kasus ini tetap berpegang pada aspek materiil kasusnya saja. Kejaksaan tidak usah gentar dengan gebrakan Yusril yang kini sudah berstatus tersangka. Biarlah nanti Pengadilan yang akan membuktikan apakah mantan Menhuk dan HAM itu terlibat atau tidak dalam dugaan korupssi Sisminbakum yang merugikan negara Rp 420 miliar. Bagaimanapun supremasi hukum harus ditegakkan di bumi pertiwi ini. Para ahli hukum harus memberi contoh dalam mematuhi hukum. (*)

corner tribun, 8 Juli 2010

Teror terhadap Pers

PENGEKANGAN terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi serta perlakuan intimidasi dan teror terhadap pers kembali terjadi. Selasa (6/7) dinihari kantor Majalah Tempo di Jalan Proklamasi 72, Menteng, Jakarta Pusat dilempar bom molotov oleh dua pengendara motor tak
dikenal. Tiga bom molotov meledak tepat di depan kantor Tempo tersebut berjarak sekitar dua meter dari pintu masuk.
Adanya pelemparan bom molotov di kantor Tempo menyusul pemberitaan Majalah Tempo dalam edisi 28 Juni - 4 Juli 2010 yang menurunkan laporan utama "Rekening Gendut Perwira Polri" disertai dan sempat menjadi polemik antara pihak Polri dengan Redaksi Majalah Tempo itu pun mengundang kecaman sekaligus menyisakan pertanyaan bagi masyarakat, apakah ada orang-orang terterntu yang mencoba memanfaatkan situasi tersebut, kesengajaan untuk mengadu domba antara institusi Polri dengan Tempo.
Sebab sebelumnya ada ketersinggungan pihak Polri atas cover karikatur seorang perwira Polri menarik celengan babi Majalah Tempo dan Laporan Utama Majalah Tempo yang berujung pada ancaman Kapolri ingin memperkarakan Majalah Tempo baik secara perdata maupun pidana ke pengadilan. Namun kemudian Polri Senin (5/7) mengurungkan niatnya memidanakan Tempo, dan memilih menempuh jalur di luar pengadilan.
Sinyalemen adanya adu domba itu diungkapkan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jendral Edward Aritonang. Menurut Edward peristiwa itu sangat merugikan kepolisian karena pihaknya juga sedang ada permasalahan dengan Majalah Tempo. Pelaku pelemparan bom molotov juga memanfaatkan momen syukuran Hari Bhayangkara yang juga digelar pada hari Selasa kemarin.
Apapun motifnya dan siapapun pelakunya, tindakan pelaku pelemparan bom molotov ke kantor redaksi Majalah Tempo itu merupakan tindakan biadab yang mengancam kebebasan pers. Ini merupakan tindakan teror yang bukan sekadar menjadi persoalan Tempo, tetapi menjadi ancaman serius terhadap media, pers pada umumnya.
Karena itu kita menuntut kepada pihak Kepolisian untuk segera mengusut tuntas peristiwa pelemparan bom Molotov terhadap kantor Majalah Tempo dan mengusut pelaku. serta membongkar motif penyerangan. Sebab tindakan intimidasi untuk membungkam kebebasan pers di Indonesia tersebut bila dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi pers sebagai pilar keempat demokrasi..
Apalagi bila mengingat pengekangan terhadap kebebasan pers serta kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun organisasi masyarakat seperti dilansir LBH Pers dalam siaran persnya kemarin mencatat, dalam kurun waktu Februari 2010-Juni 2010, menunjukkan kenaikkan yang cukup mengkhawatirkan bagi kebebasan pers di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa belum ada kesadaran semua pihak untuk menghormati pers dalam
melaksanakan peran dan fungsi dalam melakukan pengawasan, kritik dan koreksi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Meski demikian, diharapkan pers tetap menjalankan tugas jurnalistik yang kritis dan korektif dalam rangka melayani kebutuhan publik terhadap informasi. Kebebasan pers dan keterbukaan informasi harus selalu dijaga. Tak boleh takut dengan tindakan teror dan intimidasi. Kebebasan pers tidak bisa ditekan dengan kekuatan apa pun baik oleh para penguasa ataupun polisi.
Koran ini untuk kesekian kalinya menyerukan kepada pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan
pemberitaan supaya menempuh prosedur sesuai dengan UU Pers yaitu melalui hak jawab atau mediasi Dewan Pers. Segala bentuk teror, intimidasi dan kekerasan bukan lagi cara yang patut ditempuh di alam demokrasi ini. (*)

corner tribun, 7 Juli 2010

Momok Tabung Elpiji 3 Kg

LEDAKAN tabung gas elpiji kembali terjadi di Bekasi,. Jabar, Minggu (4/7). Ledakan yang dipicu kebocoran tabung elpiji itu selain merusakkan sedikitnya tiga rumah warga juga mengakibatkan tiga orang luka bakar (Kompas, 5/7). Musibah ini menambah panjang daftar ledakan tabung gas elpiji terutama ukuran 3 kg yang membuat masyarakat semakin resah.
Bagaimana tidak, sejak program konversi minyak tanah ke gas digulirkan pemerintah pada 2007, lebih dari seratus ledakan tabung elpiji terjadi di tengah masyarakat. Tahun 2007 ada lima kasus dengan empat korban luka, meningkat menjadi 27 kasus dengan dua korban meninggal dunia dan 35 korban luka pada 2008. Kasus ledakan bertambah menjadi 30 kasus dengan 12 korban meninggal dunia dan 48 korban luka pada 2009.
Sementara pada 2010, sampai Juni tercatat ada 33 kasus ledakan dengan delapan korban meninggal dunia dan 44 korban luka. Angka yang terdata itu sudah membuat kita miris. Padahal dipastikan banyak yang belum terdeteksi. Berbagai gangguan dan kekhawatiran yang membuat masyarakat merasa dirugikan itu harusnya menggugah pemerintah dan Pertamina.
Memang, kebijakan konversi minyak tanah ke gas merupakan kebijakan tepat. Selain gas lebih ramah lingkungan, lebih praktis dan ketersediaannya semestinya lebih terjamin mengingat jumlah cadangan gas di perut bumi Nusantara jauh lebih besar daripada minyak. Mengutip pengamat energi Kurtubi, sekitar 50 juta rumah tangga sudah dikonversi ke gas, subsidi minyak tanah bisa dihemat sekitar Rp 25 triliun setiap tahun.
Namun, kian maraknya ledakan tabung elpiji belakangan ini jelas mengindikasikan adanya sesuatu yang salah dalam implementasi program ini. Ledakan baru bisa terjadi jika ada tabung yang bocor dan tersambar api. Gas bisa keluar dari badan atau kepala botol, bisa lewat selang, regulator, atau pentil karet. Api yang menyambar gas bocor bisa datang dari pemakai yang bermaksud menyalakan kompor, benda panas, lampu listrik yang ada di ruangan, dan sebagainya.
Jadi masalahnya bersumber pada kualitas tabung gas elpiji ukuran 3 Kg beserta komponennya yang rendah. Karena, hampir tak pernah terdengar kasus ledakan tabung gas ukuran 12 kg. Tak heran bila tabung elpiji 3 kg kini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat kelas bawah.
Persoalan bertambah rumit lagi, karena meskipun Pertamina telah menyalurkan sekitar 45 juta tabung gas 3 kg, pekan lalu satuan tugas yang beranggotakan berbagai kementerian menemukan ada sekitar 16 juta tabung gas elpiji 3 kg ilegal alias tidak ber SNI sudah beredar di masyarakat.
Masyarakat berhak menuntut pemerintah dan Pertamina untuk memberi garansi karena merupakan program nasional. Karena itu kita mendesak pemerintah segera menarik seluruh tabung LPG 3 kilogram yang beredar di masyarakat, dan mengganti dengan tabung yang baru yang sudah aman.
Pemerintah tidak perlu malu-malu mengakui kesalahannya dengan menarik LPG 3 kilo karena sudah banyak korban di masyarakat. PT Pertamina sendiri seperti disampaikan juru bicara Pertamina, Wianda Purponegoro Jumat (2/7) lalu sudah siap menarik tabung gas 3 kg beserta komponennya (selang dan regulator) yang beredar di masyarakat.
Namun harus juga disadari selain persoalan ketidaklayakan tabung gas dan komponennya, minimnya pemahaman masyarakat juga menjadi penyebab maraknya ledakan tabung gas. Untuk itu, Pertamina harus meningkatkan sosialisasi pemakaian tabung gas dengan memanfaatkan semua media massa yang bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Antara lain, sosialisasi agar tabung gas elpiji seharusnya diletakkan di dapur yang memiliki ventilasi udara sehingga bila terjadi kebocoran gas elpiji tidak terkonsentrasi di dapur tetapi dapat mengalir keluar. Bila perlu, pemerintah menyediakan cakram padat atau compact disc (CD) berisi materi sosialisasi yang dibagikan ke setiap RT agar dapat diteruskan ke setiap keluarga. (*)


corner tribun, 6 Juli 2010

Momok Tabung Elpiji 3 Kg

LEDAKAN tabung gas elpiji kembali terjadi di Bekasi,. Jabar, Minggu (4/7). Ledakan yang dipicu kebocoran tabung elpiji itu selain merusakkan sedikitnya tiga rumah warga juga mengakibatkan tiga orang luka bakar (Kompas, 5/7). Musibah ini menambah panjang daftar ledakan tabung gas elpiji terutama ukuran 3 kg yang membuat masyarakat semakin resah.
Bagaimana tidak, sejak program konversi minyak tanah ke gas digulirkan pemerintah pada 2007, lebih dari seratus ledakan tabung elpiji terjadi di tengah masyarakat. Tahun 2007 ada lima kasus dengan empat korban luka, meningkat menjadi 27 kasus dengan dua korban meninggal dunia dan 35 korban luka pada 2008. Kasus ledakan bertambah menjadi 30 kasus dengan 12 korban meninggal dunia dan 48 korban luka pada 2009.
Sementara pada 2010, sampai Juni tercatat ada 33 kasus ledakan dengan delapan korban meninggal dunia dan 44 korban luka. Angka yang terdata itu sudah membuat kita miris. Padahal dipastikan banyak yang belum terdeteksi. Berbagai gangguan dan kekhawatiran yang membuat masyarakat merasa dirugikan itu harusnya menggugah pemerintah dan Pertamina.
Memang, kebijakan konversi minyak tanah ke gas merupakan kebijakan tepat. Selain gas lebih ramah lingkungan, lebih praktis dan ketersediaannya semestinya lebih terjamin mengingat jumlah cadangan gas di perut bumi Nusantara jauh lebih besar daripada minyak. Mengutip pengamat energi Kurtubi, sekitar 50 juta rumah tangga sudah dikonversi ke gas, subsidi minyak tanah bisa dihemat sekitar Rp 25 triliun setiap tahun.
Namun, kian maraknya ledakan tabung elpiji belakangan ini jelas mengindikasikan adanya sesuatu yang salah dalam implementasi program ini. Ledakan baru bisa terjadi jika ada tabung yang bocor dan tersambar api. Gas bisa keluar dari badan atau kepala botol, bisa lewat selang, regulator, atau pentil karet. Api yang menyambar gas bocor bisa datang dari pemakai yang bermaksud menyalakan kompor, benda panas, lampu listrik yang ada di ruangan, dan sebagainya.
Jadi masalahnya bersumber pada kualitas tabung gas elpiji ukuran 3 Kg beserta komponennya yang rendah. Karena, hampir tak pernah terdengar kasus ledakan tabung gas ukuran 12 kg. Tak heran bila tabung elpiji 3 kg kini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat kelas bawah.
Persoalan bertambah rumit lagi, karena meskipun Pertamina telah menyalurkan sekitar 45 juta tabung gas 3 kg, pekan lalu satuan tugas yang beranggotakan berbagai kementerian menemukan ada sekitar 16 juta tabung gas elpiji 3 kg ilegal alias tidak ber SNI sudah beredar di masyarakat.
Masyarakat berhak menuntut pemerintah dan Pertamina untuk memberi garansi karena merupakan program nasional. Karena itu kita mendesak pemerintah segera menarik seluruh tabung LPG 3 kilogram yang beredar di masyarakat, dan mengganti dengan tabung yang baru yang sudah aman.
Pemerintah tidak perlu malu-malu mengakui kesalahannya dengan menarik LPG 3 kilo karena sudah banyak korban di masyarakat. PT Pertamina sendiri seperti disampaikan juru bicara Pertamina, Wianda Purponegoro Jumat (2/7) lalu sudah siap menarik tabung gas 3 kg beserta komponennya (selang dan regulator) yang beredar di masyarakat.
Namun harus juga disadari selain persoalan ketidaklayakan tabung gas dan komponennya, minimnya pemahaman masyarakat juga menjadi penyebab maraknya ledakan tabung gas. Untuk itu, Pertamina harus meningkatkan sosialisasi pemakaian tabung gas dengan memanfaatkan semua media massa yang bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Antara lain, sosialisasi agar tabung gas elpiji seharusnya diletakkan di dapur yang memiliki ventilasi udara sehingga bila terjadi kebocoran gas elpiji tidak terkonsentrasi di dapur tetapi dapat mengalir keluar. Bila perlu, pemerintah menyediakan cakram padat atau compact disc (CD) berisi materi sosialisasi yang dibagikan ke setiap RT agar dapat diteruskan ke setiap keluarga. (*)


corner tribun, 6 Juli 2010

Komisi Yudisial Terancam Vakum

MASA depan Komisi Yudisial (KY), badan yang eksistensinya diperintahkan konstitusi terancam mengalami kevakuman. Pasalnya, meskipun usia komisioner KY jilid I (2005-2010) hanya tersisa 28 hari lagi, tetapi proses seleksi komisioner baru kenyataannya masih pada tahap pendaftaran bakal calon.
Padahal jika mengacu kepada UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial, idealnya proses seleksi memakan waktu hingga 6 bulan. Dengan tahapan seleksi saat ini, bisa dipastikan lembaga ini akan mengalami kekosongan komisioner yang akan demisioner pada 2 Agustus 2010 mendatang. Kekhawatiran itu antara lain dikemukakan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) saat menggelar konferensi pers di Jakarta, beberapa hari lalu.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), LSM yang tergabung dalam koalisi ini, berbeda halnya dengan nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berada di ujung tanduk karena ulah perlawanan koruptor, nasib KY justru terancam karena ketidakseriusan pemerintah. Dalam hal ini Presiden dinilai telah melalaikan kewajiban konstitusionalnya.
Koalisi mencatat, terdapat tiga fakta yang menunjukkan kelalaian Presiden dalam seleksi Komisioner KY. Pertama, pembentukan pansel yang terlambat dari jadwal yang semestinya. Pansel yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 seharusnya terbentuk pada Februari 2010, tetapi kenyataannya baru terbentuk pada 23 April 2010. Parahnya lagi, Presiden baru sadar akan tugas dan tanggungjawabnya, setelah Koalisi Pemantau Peradilan mendesak Presiden untuk segera membentuk pansel komisioner KY.
Kelalaian lainnya terjadi ketika anggaran pansel sejumlah Rp 6 miliar yang tak kunjung diturunkan. Pemerintah juga dinilai tidak adil memberi bobot perhatian terhadap komisi ini. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi, panitia seleksi diketuai menteri. Sebaliknya untuk Komisi Yudisial secara eksplisit diperintahkan konstitusi ketua panselnya hanya pejabat setingkat dirjen.
Tak kunjung diturunkannya anggaran untuk pansel, pemerintah berdalih bahwa tidak ada biaya yang tersedia sesuai dengan jadwal. Hal itu mengesankan pemerintah tidak mendukung proses pembersihan lingkungan peradilan dari praktik mafia hukum. Anehnya, di tengah biaya yang tidak kunjung turun untuk rekrutmen anggota Komisi Yudisial, pemerintah boros membentuk badan-badan ad hoc yang tidak ada dalam konstitusi dan undang-undang.
Padahal, jika terjadi kekosongan komisioner, maka akan berdampak pada proses pengawasan dan pemeriksaan para hakim. Pengaruhnya akan sangat signifikan dalam kehidupan bernegara kita. Kerja-kerja KY sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi bisa tersendat.
Tugas KY tersebut seperti tercantum dalam Pasal 24 (b) UUD 1945 disebutkan, 'Komisi Yudisial bersifat mandiri, yang berwenang mengusulkan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim'.
Karena itulah, kita mengamini desakan sejumlah LSM yang tergabung dalam KPP -- Indonesia Legal Roundtable (ILR), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)--, yang mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempercepat proses seleksi calon pimpinan KY yang tinggal 4 minggu lagi.
Mereka memberi tenggat waktu hingga 1 Agustus 2010 agar komisioner KY sudah terpilih untuk mengisi kekosongan jabatan tujuh anggota KY pada tanggal itu. Tanpa mengurangi kualitas seleksi, pansel harus lebih aktif dan lebih berinisiatif menyiasati proses seleksi yang tinggal 28 hari lagi.
Apalagi bila mengingat sepinya peminat yang mendaftar sebagai calon anggota KY, sampai masa pendaftaran diperpanjang dua kali. Pada bulan pertama perpanjangan hingga 18 Juni 2010, jumlah pendaftar jsmus mencapai 100-an orang. Sehingga pendaftaran calon anggota komisi itu harus diperpanjang satu bulan lagi hingga 18 Juli 2010. (*)


corner, tribun, 5 Juli 2010