Sabtu, 31 Juli 2010

Mudarat Sipil Bersenjata Api

PUBLIK di tanah air kini heboh oleh rencana pemerintah membekali Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan senjata api (senpi). Meski heboh pembekalan Satpol PP dengan senjata mematikan itu terbilang telat, sebab Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 yang membolehkan hal itu sudah dilansir pada Januari lalu, namun tetap relevan untuk dikritisi.
PP yang menjadi dasar kebijakan tersebut dijabarkan oleh Mendagri dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2010 pada Maret lalu. Dalam beleid yang diteken Mendagri Gamawan Fauzi disebutkan konsideran pembekalan Satpol PP dengan senjata api. Dalam menegakkan Perda, keselamatan jiwa anggota satpol PP bisa terancam. "Sehingga perlu dilengkapi dengan senjata api," begitu bunyi konsideran pertama.
Kontroversi pemberian hak menggunakan senjata api bagi anggota Satpol PP kini terus menuai kecaman. Banyak pihak yang mempertanyakan, mengapa aturan itu bisa muncul. Sebab, permendagri tersebut dinilai bila diterapkan akan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat. Bukan saja mengkhawatirkan, tetapi juga berpotensi benturan kewenangan penggunaan dengan polisi.
Kekhawatiran antara lain datang dari kepolisian. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Ito Sumardi mengkhawatirkan kesulitan mempertanggungjawabkan penggunaan senjata api tersebut. Ito juga mengingatkan orang yang bisa memiliki dan menggunakan senjata api harus memenuhi persyaratan ketat. Kalau anggota Satpol PP mau dipersenjatai, mereka harus lolos tes psikologi dan tes kesehatan.
Kekhawatiran muncul. Makin banyak orang megang senjata makin sulit dipertanggungjawabkan karena setiap orang tergantung the man behid the gun. Calon pemilik dan pengguna juga harus memiliki kemampuan memegang, menggunakan, menyimpan, dan merawat senjata api. "Karena itu menyangkut psikologi dan kita kan ada aturannya," ujar Ito, Rabu (07/7).
Sejumlah kalangan juga tegas menolak, seperti DPR dan Komnas HAM, Lembaga Bantuan Hukum, Menkopolhukkam Djoko Suyanto. Anggota Komnas HAM Yosep Adi menegaskan, penggunaan senpi hanya bisa oleh aparat penegak hukum dan militer. Sesuai latar belakang pembentukannya, Satpol PP hanya bertugas membantu kepala daerah dalam rangka menegakkan peraturan daerah, serta menjaga ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Sayang dalam praktiknya banyak catatan kelabu yang menodai aksi mereka. Apalagi bila diberi pistol, seperti diungkapkan aktivis dari Urban Poor Concorcium (UPC) Edi Saidi, psikologis Satpol PP akan menjadi merasa benar, sah dan legal untuk menggunakan kekerasan. Ini justru akan memperbesar potensi konflik antara Satpol PP dengan masyarakat. Dan yang paling mengkhawatirkan, Satpol PP dapat terjerumus pada bisnis keamanan yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
Apalagi selama ini, mereka cenderung memahami penertiban selalu dengan kekerasan, tak ada perspektif HAM, prosedur hukum, solutif, dan sebagainya sehingga dikhawatirkan, kekerasan justru akan meningkat secara kuantitas maupun kualitas. Karena itu LBH Jakarta Minta Permendagri dicabut, bukan dibekukan. Sebab kalau hanya dibekukan, suatu hari bisa dibuka kembali.
Karena itu kita menyambut baik pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi kepada wartawan di Istana Wapres, Rabu (7/7), bahwa Satpol PP belum perlu dipersenjatai. Menurutnya, Permendagri tersebut baru tepat diterapkan sepuluh tahun lagi. Namun koran ini sependapat dengan LBH bahwa lebih baik permendagri tersebut dicabut. Sebab, sejauh ini Satpol PP yang hanya bermodal pentungan saja sudah berani berlaku arogan dan brutal, bagaimana bila dipersenjatai pistol. Makin tinggi tingkat kekerasannya. (*)
corner tribun, 9 juli 2010

Tidak ada komentar: