Sabtu, 31 Juli 2010

Mungkinkah Belajar dari Piala Dunia

PERHELATAN olahraga terakbar di planet bumi ini, pesta sepak bola Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan berakhir sudah Senin dinihari kemarin. Kita berikan mengapresiasi atas kesuksesan tuan rumah Afrika Selatan menggelar laga empat tahunan yang mementaskan 64 pertandingan dari 32 tim sepak bola terbaik dunia di 10 stadion sepanjang 11 Juni-12 Juli 2010.
Puncak dari putaran final World Cup 2010 ini ditandai dengan goresan tinta emas kesebelasan Spanyol. Setelah menunggu selama 80 tahun lamanya, sejak Piala Dunia pertama pada 1930, untuk pertama kalinya Spanyol meraih gelar juara dunia setelah menekuk Belanda dengan skore 1- 0. Event akbar ini telah mencapai derajat ‘terhormat’ dan digilai hampir semua lapisan masyarakat dunia.
Bagi banyak negara, sepak bola tidak lagi olahraga semata, apalagi permainan pengisi waktu senggang. Tetapi sudah menjadi harkat dan martabat negara dan bangsa. Sepak bola di zaman ini sudah pula berarti bisnis; gengsi; entertainment; dan lainnya yang menyedot perhatian miliaran masyarakat dunia.
Menjadi martabat karena tuntutan-tuntutan fundamental dalam sepak bola seperti kerjasama dan kecerdasan, kekuatan, kecepatan, sportivitas telah menyatu dengan tuntutan fundamental bangsa itu. Seperti ditunjukkan dari laga final negeri meneer dengan matador kemarin. Dalam irama permainan menyerang yang diwarnai takling-takling keras, sehingga memicu 'hujan' kartu kuning, para pemain kedua kesebelasan tetap sportif.
Usai final, suporter kedua kesebelasan tetap tertib dan akur. Bedanya, suporter Spanyol larut dalam eforia kemenangan, suporter Belanda tertunduk lesu setelah timnya. Sepak bola dunia terbukti telah menghadirkan keadaban yang semakin enak ditonton. Keadaban yang timbul karena mereka sadar publik adalah roh dari seluruh pertandingan dan permainan.
Pendek kata, sepak bola sudah menjadi semacam virus yang membuat demam dunia. Event Piala Dunia, seperti halnya pertandingan sepak bola manca negara, khususnya dari dua benua yang menjadi kutub kekuatan sepak bola dunia: Eropa dan Amerika latin, merupakan ‘acara wajib’ yang ikut mengatur irama dan gaya hidup kita.
Karena itu, berakhirnya Piala Dunia 2010 bisa dikatakan merupakan kehilangan terbesar hiburan memikat melalui layar televisi selama sebulan penuh. Kita seharusnya bisa belajar dari keadaban yang telah ditunjukkan oleh 32 tim yang berlaga di Piala Dunia, yakni tuntutan sportifitas, kekuatan, kecepatan, kerjasama tim dan kecerdasan.
Namun di negeri ini, Piala Dunia tampaknya hanya menjadi sekadar hiburan empat tahunan semata tanpa makna. Kita harus kembali menghadapi kenyataan pesepakbolaan nasional yang
lesu dan belum memiliki adab sebagai pertandingan, karena minimnya ketaatan terhadap aturan permainan.
Sepakbola di tanah air baru sebatas menjadi ajang eksploitasi pengurusnya. Sementara suporter sepakbola lebih mudah tersulut emosi, sehingga memicu kericuhan, tawuran antarsuporter pendukung tim. Setidaknya ini tercermin dari kejadian memalukan Senin pagi kemarin, ketika antarpendukung Spanyol dan Belanda terlibat tawuran di Ambon Maluku, dan di Papua. Tawuran yang dipicu saling ejek itu mengakibatkan beberapa rumah mengalami kerusakan.
Harus diakui, kita memang baru sebatas negara dan bangsa yang puas menonton piala dunia.
Karena itu keinginan sementara pihak agar tim sepak bola Indonesia bisa berlaga di Piala Dunia bisa diibaratkan mimpi di siang bolong. Tak usahlah bermimpi muluk- muluk, lebih baik membenahi manajemen persepakbolaan Indonesia agar setidaknya bisa berprestasi di tingkat Asia Tenggara. Sebab di tingkat ASEAN saja, tim sepakbola Indonesia masih terseok-seok. (*)

corner tribun, 13 juli 2010

Tidak ada komentar: