Sabtu, 31 Juli 2010

Tinjau Ulang Infotainment

SUDAH bukan rahasia lagi tayangan program infotainment yang marak di hampir semua stasiun televisi Indonesia lebih banyak menjadi ajang gosip, ghibah atau mengguncingkan persoalan pribadi atau keluarga selebritis dan belakangan juga para tokoh, sehingga dituding merusak kehidupan orang, baik artis maupun tokoh masyarakat, dan masyarakat pada umumnya.
Namun dengan dalih untuk menaikkan rating, dan celakanya program yang memperguncingkan urusam rumah tangga yang sarat perselingkuhan, perceraian, dan perselisihan orangtua serta anak ini justru mendapatkan rating tertinggi,.pengelola televisi, kecuali televisi plat merah TVRI terus bersaing menayangkan bermacam program infotainment yang isinya lebih banyak menggosip.
Maraknya program tayangan infotainment yang juga dituding sejumlah sejumlah kalangan tidak memerhatikan kaidah-kaidah jurnalistik itu menarik minat Mulharnetti Syas, mengangkatnya menjadi bahan untuk penulisan disertasi yang dipertahankan dalam ujian promosi untuk meraih gelar doktor program studi ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia dengan yudisium sangat memuaskan, Selasa (13/7).
Dalam disertasinya bertajuk Relasi Kekerasan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia: Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment itu (Kompas, 14/7) Syas berpendapat, tayangan infotainment dianggap terlalu berlebihan. Proses produksi infotainment lebih sering melanggar etika dan prinsip-prinsip atau kaidah jurnalistik, sehinggas tidak dapat disebut sebagai karya jurnalistik.
Prinsip kebenaran, klarifikasi, independen, dan proporsional dalam pemberitaan yang merupakan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovack, misalnya kerap dilanggar. Infotainment lebih banyak berdasarkan gosip. Tayangan infotainment lebih kerap dimotori keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya, melalui pencapaian rating yang tinggi.
Sebab produksi dan distribusi program infotainment tentang budaya industri dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan menurut Syas dipengaruhi etika kapitalis. terjadi pergeseran nilai jurnalistik yang semula mengedepankan fakta tetapi belakangan mengedepankan fungsi bisnis (keuntungan). Karena itu Syas berpandangan, diperlukan peninjauan ulang terhadap infotainment. Sebab siaran televisi tidak sekadar menghibur, tetapi juga harus mendidik.
Kita sependapat dengan pandangan Mulharnetti Syas tersebut, karena kenyataannya isi tayangan program infotainment selama ini lebih banyak berisi gosip, mengguncing. Mengutip pendapat pakar komunikasi dari UI, Effendi Ghozali, karakter infotainment di Indonesia cenderung over simplified, dan over claim.
Hal ini ditunjukkan dengan cara kerja para jurnalis infotainment yang terlalu mudah menyederhanakan dan menyimpulkan sebuah persoalan. Misalnya, ketika seorang artis ditemui sedang berjalan dengan orang lain, langsung saja disimpulkan selingkuh atau sedang ada affair. Intinya mengada-ada.
Sedangkan over claim, ditunjukkan media infotainment selalu mengklaim demi kepentingan publik. Seolah-olah publik harus mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada artis. Perceraian seorang artis dengan pasangannya diklaim bahwa hal itu sangat dibutuhkan masyarakat. Bahkan dikhawatirkan tidak akan lama lagi akan berkembang pada kehidupan tokoh lain, misalnya tokoh politik.
Komisi Penyiaran Indonesia sendiri belum ini sampai sudah menyepakati bahwa tayangan infotainment bukan produk jurnalistik. Infotainment gosip dinilai merupakan pembunuhan karakter orang yang diberitakan, dan sama sekali tidak menjadi bagian dari kebebasan dan demokrasi.
Karena ini koran ini sependapat bahwa konten tayangan program infotainment harus ditata ulang. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) harus mengambil inisiatif untuk menertibkan tayangan infotainment. (*)
corner tribun, 15 Juli 2010

Tidak ada komentar: