Kamis, 03 Januari 2013

Evaluasi Banggar DPR

Editorial tribun Pontianak, 4 Januari 2013 Dewan Perwakilan Rakyat ternyata tetap menjadi sarang korupsi. Indikasi itu setidaknya terungkap dari laporan hasil analisis Pusat Pelaporan Transaksi dan Analisis Keuangan (PPATK). Dalam riset dengan fokus utama terkait korupsi dan pencucian uang oleh anggota legislatif, didapati hasil sebanyak 69,7 persen anggota legislatif terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Lebih dari 10 persen di antaranya adalah ketua komisi. Kepala PPATK Muhammad Yusuf dan Wakil Kepala PPTAK Agus Santoso dalam keterangan pers tentang pencapaian kerja lembaganya di gedung PPATK Jakarta Rabu (2/1/2013), lebih lanjut mengatakan, hingga akhir 2013 telah melaporkan 20 anggota Badan Anggaran DPR yang terindikasi korupsi dan pencucian uang kepada Komisi PemberantasanKorupsi (KPK). Dari jumlah tersebut baru beberapa orang yang diproses hukum. Berdasarkan analisis PPATK, para anggota Banggar DPR itu diketahui melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan profilnya sebagai anggota DPR. "Ada 20 nama kita kirim ke KPK. Yang sudah diproses antara lain Muhammad Nazarudin, Angelina Sondakh dan Wa Ode Nurhayati. Yang lain masih menunggu," ujar Ketua PPATK Muhammad Yusuf. Beberapa temuan yang dihasilkan dari hasil riset tipologi para anggota legislatif yang terindikasi korupsi dan melakukan pencucian uang pada semester II 2012, antara lain yang paling banyak korupsi adalah anggota legislatif periode 2009-2014. Terdapat 42,71 persen anggota legislatif masa itu melakukan transaksi mencurigakan dengan indikasi tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Adapun yang paling sedikit adalah anggota legislatif periode 2004-2009. Temuan lainnya, instrumen yang digunakan Badan Anggaran sebagai lembaga yang berwenang dalam membuat anggaran negara, umumnya menggunakan rekening rupiah, transaksi tunai, dan polis asuransi. Dari 35 modus yang digunakan, modus paling dominan adalah transaksi tunai. Yang terdiri atas penarikan tunai sebanyak 15,59 persen dan setoran tunai sebanyak 12,66 persen. Celah korupsi muncul ketika pengusaha berkolusi dengan politisi di Badan Anggaran DPR. Sedangkan modus korupsi di Banggar DPR beragam. Mulai dari penyuapan atau menerima uang suap untuk meloloskan rencana anggaran, penggelembungan anggaran proyek lewat kongkalikong dengan pemilik/pelaksana proyek, menjadi makelar untuk persetujuan anggaran proyek dengan imbalan tertentu, dan terakhir pemerasan, yaitu meminta fasilitas atau uang untuk memuluskan anggaran proyek. Temuan hasil analisis PPATK tersebut layak kita soroti. Apalagi sebelumnya, September 2012 silam PPATK juga sudah melaporkan telah menerima 2.000 laporan transaksi mencurigakan yang dilakukan sejumlah pemimpin dan anggota Banggar DPR, di mana 1.000 laporan telah diminta oleh KPK. Dari temuan PPATK tersebut, ada dua hal mendesak yang perlu segera dilakukan. Pertama kita mendesak KPK segera melakukan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap 20 anggota Banggar yang terindikasi korupsi dan melakukan pencucian uang seperti dilaporkan PPATK dengan tenggat waktu yang pasti. Selain itu juga menelaah 1000 laporan indikasi korupsi yang telah diminta dari PPATK. Kedua, eksistensi Banggar DPR selayaknya segera dievaluasi. Fungsi koordinasi dan sinkronisasi dapat diserahkan kepada panitia anggaran yang dibentuk secara ad hoc, supaya tidak terbentuk rezim yang kewenangannya rawan disalahgunakan. Karena faktanya, Banggar yang selama ini kerap menyalahi aturan main. Dalam perkara Wisma Atlet yang menyeret M Nazaruddin, mantan anggota Banggar dan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat secara aktif bergerak menawari sejumlah perusahaan menggarap proyek dengan iming- iming fee yang nilainya fantastis. Tak berlebihan kiranya bila majalah Tempo dalam cover edisi 9 September 2012 memplesetkan singkatan Banggar menjadi Bandar Anggaran. (*) Ahmad suroso

Tidak ada komentar: