Kamis, 03 Januari 2013

Konflik Horisontal

Tidak terasa Januari 2013 tinggal sehari lagi. Padahal sejujurnya kenangan getir tahun 2012 belum benar-benar sirna dari ingatan kita. Apalagi kenangan getir itu terus berlanjut hingga di penghujung tahun ini. Mulai dari konflik kekerasan sosial atau horisontal yang melibatkan pelajar, mahasiswa, antarkampung, bencana alam, mafia kasus, sampai perilaku tak etis dan korup para elit politik dan pemerintahan negeri ini, dan kekonyolan lainnya yang tak kunjung henti. Sepanjang 2012, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 32 konflik horizontal terjadi, di luar peristiwa-peristiwa persekusi (serangan dari suatu kelompok mayoritas-identitas) terhadap kelompok (identitas) minoritas dan tawuran antar-pelajar atau mahasiswa. Dalam siaran pers, Senin (26/11/2012), disebutkan, konflik horizontal sepanjang 2012 telah menyebabkan 28 korban jiwa dan 200 korban luka serius. Jumlah tersebut, belum mencakup kerugian material lainnya, seperti kerusakan harta benda atau kerugian non-material seperti kondisi psikis mereka yang menjadi korban. Kita prihatin, di penghujung akhir tahun 2012 kembali pecah konflik horisontal antarwarga di Desa Hualoy, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) Maluku. Bentrokan tersebut diawali saat penduduk Desa Sepa akan menghadiri upacara pelantikan Raja Kamariang, Jumat (28/12). Saat tiba di Desa Hualoy satu kendaraan dalam rombongan Desa Sepa menyenggol seorang warga sehingga terjadi keributan kecil. Keesokan harinya, sekitar 14.30 WIT rombongan warga Sepa kembali melintasi Desa Hualoy di situ terjadi bentrok yang menurut pernyataan resmi polisi mengakibatkan lima orang tewas dan delapan luka-luka. Namun menurut Violen Helen Pirsouw, SH, Advokat Law Office Suhandi Cahaya and Partners yang saat ini berada di Seram Barat (kamarian) kepada Tribunnews Minggu, konflik yang dipicu masalah sepele itu meluas menjadi perang antarwarga dua desa, dengan korban 8 orang nyawa sudah melayang, bahkan aparat polisi ada yang menjadi korban. Situasinya sampai kemarin masih mencekam, bahkan sebagian warga sudah lari masuk ke hutan untuk selamatkan diri. Bila dicermati, dari konflik sosial dengan nuansa ketegangan komunal sepanjang 2012, pihak yang terlibat umumnya teridentifikasi sebagai anggota suatu komunitas berbasis teritorial seperti kampung, dusun, atau kelurahan meski juga sebagian masalahnya juga tumpang tindih dengan identitas sosial, budaya (etnis maupun sub-etnis), dan sedikit kepentingan politik seputar proses pilkada. Pemicu-pemicu lain yang muncul adalah kegagalan komunikasi akibat dari sengketa wilayah (adat) dan lahan, ketiadaan dan ketidak puasan dalam penegakan hukum oleh negara terhadap peristiwa-peristiwa kriminal (mabuk, kebut-kebutan), beredarnya pesan-pesan provokatif, dan dendam-dendam konflik lama. Sayangnya, sejauh ini antisipasi dan penanganan pasca-konflik oleh negara tidak begitu memadai; seperti jarangnya terjadi pendekatan langsung para pejabat negara ke komunitas akar rumput; absennya penegakan hukum sehingga tidak ada penegakan hukum alias efek jera bagi para pelaku maupun pihak lain.Standar penyelesaian umumnya lebih bersifat simbolik dan tidak diikuti oleh upaya memelihara rekonsiliasi dan perdamaian yang lebih ajeg, namun memakan waktu. Lebih celaka lagi, seperti disebutkan KontraS, berbagai kebijakan justru tumpang tindih dan tidak akur. Pertama, interpretasi negara melalui UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS) lebih banyak menitikberatkan pada aktivitas penghentian konflik, dengan memobilisasi kekuatan sektor keamanan secara masif, khusus bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI (Pasal 12 huruf d). Sehingga aparat keamanan yang menjadi representasi negara hanya terkesan berperan sebagai 'pemadam kebakaran'. Memasuki tahun 2013, kita meminta, negara di segala tingkatannya, dapat mewujudkan kewajiban untuk melindungi setiap warganya dari ancaman perampasan hak oleh pihak lain, termasuk warga atau anggota kelompok sosial lain di masyarakat. Untuk memenuhi kewajiban ini negara harus mengambil langkah preventif dengan menggunakan segala aparatur dan instansinya untuk meredam ketegangan komunal, baik dengan melakukan pemetaan potensi konflik atau pendekatan rekonsiliasi di akar rumput. Serta memastikan adanya penegakan hukum bagi pelaku yang bertanggung jawab maupun program pemulihan bagi korban. (*) Ahmad Suroso Editorial Tribun Pontianak, 31 Desember 2012

Tidak ada komentar: