Kamis, 03 Januari 2013

Editorial Tribun Pontianak 28 Desember 2012 Inspirasi Habibie S ejak dirilis mulai 20 Desember silam, film yang mengangkat kisah nyata perjalanan romansa kehidupan rumah tangga mantan Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie, Habibie & Ainun sukses menyedot perhatian warga Pontianak dan Kalimantan Barat yang tiap hari selalu memenuhi Bioskop Studio 21 di mal Ayani Pontianak sejak pemutaran hari pertama. Sebuah film yang mengundang haru, mengurai air mata, kebahagiaan dan tawa sekaligus inspiratif. Namun bagi kami, adegan paling mengharukan di film justru saat Habibie mengajak Ainun ke hanggar pesawat Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) Bandung yang dirintisnya terbengkalai. Saat itu dengan bergetar dan kemudian tak sanggup menahan tangis, Habibie mengatakan, sudah mengorbankan waktu untuk istri dan anak-anaknya demi membangun pesawat itu. Namun kemudian, pesawatnya dibiarkan tak diurus hingga berdebu. Ironis, ikrar Habibie muda untuk membuat pesawat sebagai bhaktinya kepada ibu pertiwi ketika sedang mengidap TBC tulang di sebuah rumah sakit di Jerman, yang berhasil diwujudkannya dengan mendirikan IPTN, dan peluncuran perdana pesawat CN-235 dilakukan tahun 1995, akhirnya kandas dan terbengkalai setelah pemerintah Indonesia dipaksa menutup industri pesawat terbang IPTN tersebut tiga tahun kemudian. Itu semua gara-gara intervensi lembaga donor internasional IMF(International Monetary Fund) tahun 1997 hadir dengan sejumlah pinjaman AS$ 5 miliar yang diikuti berbagai agenda yang harus dilakukan oleh Indonesia. Satunya di antaranya adalah menghentikan produksi pesawat oleh IPTN. Salah satu klausul letter of intent berbunyi pemerintah tidak boleh lagi memberikan subsidi pada IPTN. Presiden Soeharto menyerah pada IMF. Genderang kematian IPTN bermula dari situ. Padahal, saat itu IPTN telah memiliki order lebih dari 120 unit CN 235 dari negara lain setelah mengikuti Paris Air Show 1993 di Paris, Prancis. CN 235 yang paling canggih di kelasnya ketika itu adalah saingan terberat dari ATR 72 milik Prancis. Direktur IMF yang meminta penghentian produksi pesawat IPTN ketika itu adalah Michael Camdessus, seorang veteran yang berasal dari negara yang sama dimana ATR 72 diproduksi, Prancis. Padahal, selepas sukses menerbangkan N-250, lompatan Habibie berikutnya adalah membuat pesawat komuter berpenumpang 100 orang. Hanya berselang setahun setelah peluncuran Gatotkaca N-250, IPTN mengumumkan proyek pesawat jet N-2130. Proyek itu butuh sekitar AS$ 2 miliar. Diakui atau tidak Habibie dan IPTN telah mengubah citra Indonesia dalam hal teknologi dirgantara. Berkat Habibie, Indonesia telah menjadi satu dari tujuh negara pembuat pesawat terbang di dunia. Namun Habibie yang berhasil menaklukkan penyakit TBC tulang yang nyaris merenggut nyawanya, akhirnya harus takluk tak kuasa menghadapi intervensi IMF. Mimpi Indonesia untuk menjadi negara yang menguasai teknologi tinggi ketika IPTN didirikan dan mulai memproduksi pesawat itupun akhirnya kandas. Andai saja, IPTN tak dikebiri dulu oleh IMF, kita optimis Air Asia, Lion Air, atau Citylink dan maskapai nasional lainnya mungkin akan membeli N-2130 buatan IPTN dan bukan pesawat keluaran Boeing atau Air Bus yang sekarang merajai dirgantara Indonesia. Padahal ketika Indonesia dikenal sebagai negara produsen pesawat maka apapun yang diproduksi Indonesia akan dibeli oleh negara lain. Anak-anak kita yang bekerja di luar negeri akan dihargai tinggi karena mereka berasal dari sebuah negara yang memiliki kompetensi dalam teknologi, seperti halnya Korea Selatan yang menjelma dari salah satu negara termiskin di dunia tahun 1960-an, kini menjadi negara industri utama dan menjadi salah satu negara termaju. Habibie seperti dilansir Tempo edisi 3 Juni 2012 yang menulis perjalanan hidupnya di rubrik Memoar mengungkapkan keyakinannya bahwa pesawat N-250 dan N-2130 akan sukses bila programnya tak dihentikan. Optimisme Habibie itu ada benarnya. Bila melihat industri maskapai penerbangan yang tumbuh pesat sejak akhir 2000-an dengan adanya penerbangan murah, Indonesia sepatutnya tidak sekadar jadi konsumen pembeli tiket pesawat. Melainkan juga mampu memanfaatkannya sebagai penghasil pesawat-pesawat komuter tersebut, sebagaimana mimpi Habibie yang terlukis dalam film kisah nyata Habibie & Ainun, bisa menghubungkan gugusan pulau di Indonesia dengan penerbangan murah hasil produksi anak negeri sendiri. Semoga. (*) penulis: ahmad suroso

Tidak ada komentar: