Senin, 26 Januari 2015

Tajuk 17 Jan 2015 Harga BBM Turun Ekonomi Membaik P emerintah kembali mengumumkan harga bahan bakar minyak (BBM) premium dan solar turun. Kali ini harga harga BBM premium turun menjadi Rp 6.600 per liter dan solar Rp 6.400 per liter. Penurunan ini merupakan kali kedua selama Januari 2015. Sebelumnya, mulai 1 Januari 2015 harga BBM Premium turun dari Rp 8.500/liter menjadi Rp 7.600/liter. Sementara Solar turun dari Rp 7.500/liter menjadi Rp 7.250/liter. Kendati diumumkan Presiden Jokowi Jumat (16/1), harga tersebut baru mulai berlaku pukul 00.00, Senin (19/1/2015). Jeda waktu waktu dua hari diberikan agar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) bisa menghabiskan stok BBM bersubsidi yang sekarang ada. Dengan begitu, maka Pertamina akan terhindar dari kerugian dari penurunan harga BBM bersubsidi ini. Harga Premium dan Solar kini memang naik-turun setelah pemerintah merombak kebijakan subsidi BBM. Premium sudah tidak lagi disubsidi sehingga harganya mengikuti mekanisme pasar. Sedangkan Solar masih diberi subsidi tetap Rp 1.000/liter. Penurunan harga ini dilakukan berdasarkan review yang dilakukan pemerintah terhadap perkembangan harga minyak dunia. Harga minyak dunia memang terus mengalami penurunan hingga menyentuh US$ 45 per barel. Padahal, dalam asumsi yang diajukan dalam RAPBN-P 2015, harga minyak diasumsikan US$ 70 per barel. Karena itulah pemerintah kembali menurunkan harga BBM. Sebab harga minyak dunia menjadi salah satu indikator perhitungan harga jual BBM, selain rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Banyak yang bertanya, kenapa harga BBM naik turun dengan cepat? Mengapa pemerintah terburu-buru menaikkan harga BBM premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter pada 18 November 2014? Bukankah kenaikan harga tersebut telanjur menyebabkan "kerusakan" ekonomi berupa harga-harga sembako dan angkutan naik, inflasi 2014 mencapai 8,36 persen? Inflasi tahun 2013 sebesar 8,38 persen ketika pemerintah juga menaikkan harga BBM. Setidaknya ada dua alasan, pemerintahan Jokowi mengambil kebijakan tersebut. Pertama seperti disampaikan Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, "Sesudah Harga BBM Diturunkan" (Kompas, 5/1), pemerintah harus menghentikan "kegilaan" subsidi BBM pada 2014 yang jika dibiarkan, angkanya sudah tidak masuk akal: sekitar Rp 250 triliun. Angka ini sulit ditoleransi sehingga menimbulkan persepsi negatif oleh pasar, yang terekspresikan melalui pelemahan rupiah. Jika pemerintah membiarkan kondisi ini berlarut-larut, kepercayaan pasar terhadap kondisi fiskal dan kredibilitas pemerintah bakal runyam. Dampaknya bisa berupa pelarian modal, terutama ke Amerika Serikat yang perekonomiannya sedang bagus. Kedua, meski harga minyak dunia sudah meluncur jatuh dari 105 dollar AS per barrel (Juni 2014) ke 80 dollar AS per barrel (Oktober 2014), sulit membayangkan penurunan harga masih terus berlanjut. Bahkan, sekarang pada level yang tak terbayangkan, 45 dollar AS per barrel. Saat pemerintah menaikkan harga BBM pada 18 November 2014, masih ada keyakinan kuat harga minyak dunia bakal kembali ke level "normal", yakni 80 dollar AS per barrel. Penyebab harga minyak dunia terus anjlok, karena dunia kelebihan pasokan minyak 2 juta barrel per hari. Apalagi, ditemukan cadangan minyak nonkonvensional di AS berupa shale oil, yakni minyak yang diperoleh dari memanaskan bebatuan di tiga negara bagian AS, Colorado-Utah-Wyoming, sebanyak 1 triliun barrel, atau empat kali lipat cadangan minyak Arab Saudi. Datangnya revolusi energi tersebut diyakini akan memberikan angin segar terhadap perekonomian Indonesia, yang pada masa sebelumnya amat terbebani oleh tingginya harga minyak dunia. Satu masalah besar ini ternyata justru dapat diatasi secara tidak terduga. Dengan harga minyak bakal rendah, perekonomian dunia akan tumbuh, dan akhirnya kesejahteraan umat manusia akan meningkat. Selagi mendapat momentum harga minyak dunia rendah, serta prospek ke depan juga tampaknya bakal rendah, pemerintah memang sebaiknya melepas subsidi BBM. (*)

Tidak ada komentar: