Senin, 26 Januari 2015

Tajuk 19 Jan 2015 Genderang Perang terhadap Narkoba S ikap tegas pemerintahan Jokowi-JK mengeksekusi mati enam terpidana gembong narkoba Minggu dinihari kemarin mendapat apresiasi banyak kalangan. Penolakan pemberian grasi yang diikuti eksekusi mati menunjukkan kuatnya komitmen pemerintah dalam mengatasi peredaran narkoba yang telah meresahkan dan sangat membahayakan masyarakat. Melalui eksekusi mati 5 WNA dan 1 WNI terpidana narkotika itu, pertama ingin memberikan sinyal kepada semua pihak bahwa pemerintah Indonesia tidak main-main dengan para pengedar dan produsen narkotika. Kedua, memberikan pesan kepada masyarakat betapa bahaya yang ditimbulkan dari peredaran narkotika. Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat menilai hukuman mati ini manusiawi. Ia membandingkan dengan berapa banyak korban yang akan jatuh bila gembong narkoba dibiarkan bebas. Narkoba yang mereka sebarkan itu menyebabkan kematian. Mengutip laporan yang diterima Presiden Joko Widodo, sedikitnya 4,5 juta masyarakat Indonesia telah menjadi pemakai narkoba. Jumlah tersebut sama dengan jumlah total penduduk Singapura. Dari jumlah itu, 1,2 juta sudah tidak bisa direhabilitasi karena sudah sangat parah dan antara 30 sampai 40 orang setiap harinya meninggal dunia karena narkoba. Apresiasi juga disampaikan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Jakarta Raya (Papdi Jaya) dr Ari Fahrial Syam di Jakarta, seperti dikutip Antara. Sebagai seorang praktisi kesehatan, Ari setiap waktu melihat ada saja korban yang datang ke rumah sakit akibat narkoba. Diharapkan, eksekusi mati ini dapat membuat jera para bandar bahwa saat ini Indonesia bukan lagi surga buat penyebaran narkoba. Meskipun eksekusi mati tersebut mendapat sorotan internasional, khususnya dari Belanda dan Brasil yang langsung menarik Duta Besarnya setelah pemerintah Indonesia mengabaikan permohonan kedua negara tersebut untuk mengampuni warganya yang dieksekusi di Nusakambangan, Pemerintah Indonesia tidak boleh kendur. Indonesia bisa memahami sikap dua negara yang tidak suka dengan pelaksanaan hukman mati. Tapi, mengutip Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, mereka harus juga paham bahwa ini masalah kedaulatan, penegakan hukum dan kejahatan narkoba yang Indonesia harus derita. Kalaupun ada dampak terhadap hubungan bilateral, menurutnya, hanya sesaat. Dukungan juga disampaikan DPR. Menurut Anggota DPR RI dari fraksi Golkar, Firman Subagyo, baik Brasil dan Belanda harus menjunjung tinggi proses hukum yang ada di negara masing-masing. Karena narkoba adalah musuh bersama dan akan merusak generasi bangsa. Apakah Brasil dan Belanda akan rela kalau bangsanya dihancurkan karena narkoba? Karena itulah, kita mendukung penuh kebijakan 'Gedung Bundar' sebutan kantor pusat Kejaksaan Agung yang kian kencang menabuh genderang perang terhadap narkotika. Dari markas Jaksa Agung itu, Jaksa Agung Prasetyo kemarin menyatakan segera menyiapkan gelombang berikutnya untuk mengeksekusi mati para gembong narkoba. "Semua akan kita laksanakan setelah masalah hukumnya tuntas. Pasti dieksekusi terpidana mati juga yang belum?" cetus Prasetyo di kantornya, Minggu (18/1). Sejauh ini, Presiden Jokowi sudah menolak permohonan grasi 64 terpidana mati kasus narkoba. Sebagai "racun" yang bersifat adiksi (ketagihan) sehingga merusak bangsa ini, komitmen pemerintah memang harus tinggi terhadap pemberantasan narkoba. Hal itu mesti dilakukan, tidak saja dengan menolak grasi bagi terpidana mati, tetapi secara terus-menerus melakukan razia untuk mencegah beredarnya narkoba. Badan Narkotika Nasional juga harus lebih aktif memberantas penyebaran narkoba di masyarakat. Misalnya, seperti diusulkan rohaniawan Romo Benny Susetyo, BNN bekerja sama dengan para pembuat film membuat karya film yang memperlihatkan kengerian penggunaan narkoba. Sebab publik akan cepat ingat dengan adanya media film. Hal itu bisa menjadi salah satu kampanye masif untuk mengatasi masalah narkotika. (*)

Tidak ada komentar: