Sabtu, 22 Mei 2010

Sri Mulyani Korban Sistem Politik

TABIR misteri yang menyelimuti pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati dari jabatan Menteri Keuangan mulai terkuak. Untuk pertama kalinya di depan umum, Menkeu terbaik se-Asia versi majalah Euromoney (2006) itu mengatakan yang membuatnya hengkang ke Bank Dunia adalah tekanan politik.
"Apa pun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam suatu sistem politik," cetus Sri Mulyani dalam kuliah umum bertajuk Kebijakan Publik dan Etika Publik sekaligus perpisahan sebelum berangkat ke Washington DC untuk menjalani tugas baru di Bank Dunia, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (18/5).
Tanpa tedeng aling-aling, ia menegaskan perkawinan kepentingan di Indonesia sangat dominan. Bahkan banyak yang mengatakan itu adalah kartel. Tapi Sri Mulyani lebih suka menggunakan kata kawin walaupun jenis kelaminnya sama. Ia mengungkapkan buruknya kompromi kepentingan yang terjadi di Indonesia. Contohnya, masih ada pengusaha yang mengaku telah meninggalkan dunia usahanya ketika menjadi pejabat publik. Namun ternyata, saudara-saudara mereka masih melakukan praktik usaha, mirip gaya Orde Baru.
Ongkos untuk membuat seseorang dipilih untuk menjadi pemimpin di Indonesia sangat besar. Di tingkat daerah saja tidak mungkin dipenuhi dengan gajinya. Apalagi untuk menjadi presiden. Salah satu solusi untuk menutupi biaya tersebut, adalah dengan menjualbelikan kebijakan, lanjut Sri Mulyani yang mengaku, selama lima tahun menjadi menkeu, dia miskin apresiasi dan merasa semua orang memusuhinya.
Meski demikian, Sri menegaskan bahwa kepergiannya menjadi managing director di World Bank adalah suatu kemenangan. Pertama, kemenangan ketika dirinya tidak mengkhianati kebenaran. Kedua, dirinya tidak mengingkari hati nurani. Ketiga, dirinya bisa menjaga martabat dan harga diri. "Saya tidak bisa didikte siapa pun, termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini," ujarnya yang langsung disambut standing applause hadirin.
Apa yang disampaikan Sri Mulyani itu patut digarisbawahi. Dengan lugas ia menunjukkan betapa konsep etika dan pandangan tentang perlunya mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publik di Indonesia menjadi barang sangat langka. Orang yang menegakkan etika malah dianggap orang aneh. Dan mungkin diantara orang yang dianggap aneh itu adalah Sri Mulyani yang tak suka bicara berputar- putar, bahasanya terang dan langsung, tegas, kritis, berani dan percaya diri.
Ia bukan hanya piawai mengelola fiskal, tapi juga sukses mereformasi birokrasi Departemen Keuangan, mengubah departemen yang dulu dikenal sebagai salah satu sarang korupsi itu. Dia memiliki kredibilitas tinggi di percaturan internasional, antara lain menjadi Direktur eksekutif IMF dan konsultan USAID (lembaga donor Amerika).
Selama berkiprah di pemerintahan, tak ada masalah yang heboh menderanya kecuali skandal Bank Century yang kental kepentingan politik. Padahal tindakannya menyelamatkan negeri dari ancaman krisis dengan antara lain mengucurkan Rp 6,7 triliun ke Bank Century malah terbukti membuat kondisi perbankan menjadi relatif stabil, dan terbukti bisa menumbuhkan ekonomi Indonesia justru ketika ekonomi negara lain minus.
Namun karena ia getol menyeru anak buahnya mengejar para pengemplang pajak tanpa kecuali, dan keberaniannya menghadapi tekanan politik elit partai, ia menjadi korban kartel politik, tersingkir dari kabinet. Persetujuan Presiden SBY atas mundurnya Menkeu Sri Mulyani yang diminta Presiden Bank Dunia untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia dinilai menyelamatkan sekaligus 'menyingkirkan' Sri Mulyani.
Tak berlebihan kiranya bila kita berharap, menkeu baru yang akan diumumkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu dua hari ini merupakan sosok yang mempunyai kemampuan dan kapabilitas serta keberanian mirip Sri Mulyani, agar Indonesia tidak kembali terjebak kedalam praktik kartel politik mirip Orba. Semoga. (*)

Tribun Corner, 20 Mei 2010

Tidak ada komentar: