NUNUN Nurbaeti tidak kunjung dihadirkan ke persidangan Pengadilan Tipikor dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI tahun 2004. Padahal empat mantan politisi Senayan yang menerima dana terkait pemilihan mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom sudah divonis hukuman penjara.
Kritik pedas dialamatkan ke KPK. Lembaga antikorupsi ini dinilai tidak berani mengusut istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun itu yang disebut-sebut sebagai pemberi uang dalam bentuk cek perjalanan. Ia juga diyakini menjadi kunci untuk membuka perkara penyuapan puluhan anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004. Karena itu beberapa lembaga pegiat anti korupsi Selasa kemarin mengusulkan Nunun untuk disidangkan secara in absentia, dengan cara menaikkan status hukumnya.
Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi SP, Senin (17/5) setidaknya ada empat hambatan yang muncul mulai dari alat bukti hingga prosedur penjemputan paksa dari Singapura. Hambatan utama, Nunun beralasan mempunyai surat keterangan mengidap penyakit lupa berat alias vertigo migraine, sehingga menolak dihadirkan di pengadilan. Sementara KPK masih belum bisa memberikan pendapat lain atau second opinion tentang penyakit tersebut.
Jurus lupa 'ingatan' inilah yang diusung Nunun menghindar dari jeratan hukum dan menjebloskan korban lain. Penggunaan jurus 'sakit dan lupa' Nunun ini mengingatkan kita pada jurus jitu yang dipakai mantan Presiden Soeharto saat menjalani pengadilan perkara korupsi dengan `kendaraan' sejumlah yayasan yang dipimpinnya.
Korupsi berkedok yayasan Supersemar, Dharmais, Dakab, Damandiri, Trikora, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila dan Yayasan Gotong Royong Kemanusiaan, pada sekitar 1979-1998 itu menimbulkan kerugian negara Rp1,4 triliun dan AS$419,6 juta.
Keampuhan Soeharto teruji. Setelah penegak hukum memeriksa sekitar 101 saksi pada tahap penyidikan, ketika perkara ini berjalan di pengadilan, lembaga ini seketika tak berdaya untuk menggelar perkara tersebut. Soeharto menurut tim dokter mengalami gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak berkomunikasi. Soeharto menderita brain damage alias kerusakan fungsi otak.
Hasil tes tersebut yang membuat pengacara Soeharto menolak menghadirkan Soeharto di pengadilan. Oleh sebab itu, majelis hakim pada 28 September 2000 menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tidak dapat diterima. Sidang pun dihentikan karena tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan dengan alasan kesehatan.
Dalam kasus Nunun, KPK harusnya tak boleh menyerah. Sebab berbeda dengan kasus mantan Presiden Soeharto, kerusakan otak yang diderita Nunun masih perlu dipertanyakan. Kalau Soeharto brain damage-nya menetap dan ada second opinion, sakit Nunun sifatnya tidak menetap dan ada belum second opinion.
Karena itu KPK seharusnya melakukan investigasi untuk membuktikan apakah Nunun memang benar sakit lupa berat, dan harus dirawat di rumah sakit Elisabeth Singapura seperti dinyatakan oleh pengacaranya. Uniknya, hasil penelusuran KPK dan juga wartawan koran ini ke Rumah Sakit Elisabeth Singapura belum lama ini, nama Nunun Nurbaeti tak ada dalam daftar pasien. Atau terdaftar sebagai pasien rawat jalan para dokter rumah sakit tersebut.
Pertanyaannya, apakah hanya karena alasan sakit serupa yang diderita Nunun, dia tak bisa dihadirkan di pengadilan sebagai saksi maupun `tersangka'? Betapa digdayanya wanita sosialita ini.
Kita khawatir, kalau KPK diam saja, ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Sejumlah orang yang berperkara dengan KPK akan siap-siap berperilaku serupa. Mereka akan menjadikan alasan sakit, ingatan abu-abu alias lupa berat sebagai senjata ampuh untuk berkelit. (*)
Tribun Corner, 19 Mei 2010
Sabtu, 22 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar