AGIL tak pernah membayangkan, impian sepulangnya bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)di Malaysia akan menjadi orang sukses bisa mengumpulkan uang banyak untuk modal usaha di kampung halamannya di Banyumas, Jateng akan sirna. Alih-alih bisa mengumpulkan uang untuk modal usaha, ia malah dideportasi ke Batam dengan tangan kosong, hanya selembar baju yang melekat di badan.
Kini ia terlunta-lunta di Batam. Bahkan Agil yang hidup menumpang di rumah teman karena tak punya pekerjaan tetap itu berniat menjual ginjal miliknya hanya sekadar untuk dapat ongkos pulang ke kampung halamannya, sekaligus sedikit modal untuk usaha. Kisah pilu TKI deportasi itu disampaikan Agil ke Tribun beberapa hari lalu.
Pemuda tamatan program Diploma III itu mengisahkan, keberangkatannya ke Malaysia melalui jalur resmi Depnaker. Setelah menjalani pelatihan 4 bulan ia dikirim ke Serawak bekerja di perusahaan gas bagian pengecekan tabung gas ukuran 12 Kg. Bulan pertama ia dapat gaji Rp 15 juta perbulan, bulan-bulan hanya selanjutnya setengahnya saja, dengan dalih akan diberikan setelah selesai kontrak empat tahun.
Tiba-tiba kasus mirip kerusuhan di perusahaan galangan kapal Drydocks Batam terjadi di tempatnya bekerja, yakni perkelahian antara pekerja Indonesia dengan pekerja India. Buntutnya, 150 TKI yang bekerja di sana, termasuk Agil dideportasi.
Celakanya, ijazah dan paspor miliknya ditahan perusahaan pada saat mulai bekerja, dan tak bisa diambil ketika ia terusir dari negeri Jiran itu. Sedangkan fotocopi surat-surat penting tersebut disita oleh Polisi Diraja Malaysia saat ditahan sebelum dideportasi.
Kisah tragis Agil dan teman-temannya ini hanya segelintir kisah dari ribuan TKI yang mendapatkan perlakuan buruk di negeri Jiran. Hampir setiap bulan muncul kasusnya adanya puluhan TKI dideportasi dari Malaysia ke pulau-pulau terdekat di wilayah Provinsi Kepri, baik TKI ilegal maupun legal seperti Agil.
Di tengah-tengah masih banyaknya muncul kasus TKI di negeri jiran yang kurang mendapat perlindungan hukum, pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar dan pemerintah Malaysia yang diwakili Menteri Dalam Negeri Datok Sri Hishamuddin Tun Husein pada 18 Mei 2010 lalu menandatangani letter of intent baru yang lebih memberikan perlindungan kepada para TKI.
Letter of intent perlindungan TKI informal antara pemerintah Indonesia dan Malaysia itu diteken setelah sepuluh tahun dilakukan negosiasi. Perlindungan tersebut antara lain hak untuk libur sehari dalam satu minggu, gaji yang sesuai dengan standar kelayakan di pasar dan lain-lain. Secara formal, perlindungan TKI merupakan sesuatu yang urgen.
Perjanjian bilateral antarnegara pada hakekatnya merupakan pintu masuk bagi perlindungan TKI. Sehingga betapa penting perjanjian bilateral tersebut. Apalagi secara kuantitas, data Kementerin Tenaga Kerja, menunjukkan bahwa jumlah TKI dari tahun ke tahun meningkat secara signifikan.
Peningkatan kuantitas TKI tentu harus diimbangi dengan perlindungan yang optimal. Kita berharap, perlindungan TKI di luar negeri jangan hanya manis sebatas di atas kertas perjanjian.
Karena secara empiris sebagaimana data Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, pada tahun 2009 ini tercatat sebanyak 211 TKI yang gajinya tidak dibayarkan, 114 TKI yang mengalami penyiksaan, 53 TKI yang mengalami pelecehan seksual selama tahun 2009. Secara kuantitatif, angka-angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pada tahun 2008.
Kita berharap pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Tenaga Kerja serius melakukan upaya-upaya konkret untuk memberikan perlindungan kepada para TKI di negeri jiran, tidak sebatas di atas kertas, tapi mengimplementasikanya secara sungguh-sungguh. (*)
tribun corner, 24 Mei 2010
Selasa, 25 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar