Rabu, 05 Mei 2010

Evaluasi Pendidikan

ADA yang memprihatinkan berkenaan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2 Mei 2010 kemarin. Yakni adanya sekitar 154.079 siswa tidak lulus atau 10 persen dari seluruh peserta ujian, yaitu 1.522.162 siswa peserta Ujian Nasional (UN) 2010. Hasil kelulusan ini menurun dibanding tahun sebelumnya, yakni dari 93,74 persen menjadi 89,88 persen pada tahun ini.
Sebenarnya, intervensi kebijakan pemerintah di dunia pendidikan melalui penyelenggaraan UN tak habis-habisnya telah menuai pro kontra di masyarakat. Sistem UN ditengarai menimbulkan sikap ketidakjujuran di kalangan sebagian murid, guru dan pihak sekolah. Bagi sebagian siswa, UN menjadi momok menakutkan. Sudah banyak siswa yang frustasi dan bahkan mencoba bunuh diri. Ada pula yang meluapkan kekecewaannya karena tak lulus dengan memecah kaca jendela sekolahnya.
Inilah efek dari kebijakan pemerintah yang selama ini terlalu ambisius ingin menyamakan pendidikan di seluruh nusantara dengan sistem sentralisasi dan uniformitas. Sentralisasi dan uniformitas pendidikan kita hanya menghasilkan kemunduran dalam perjalanan sejarah bangsa bila dibandingkan dengan kemajuan bangsa-bangsa lain di sekitar kita, seperti Korea Selatan, Malaysia, Vietnam.
Hasil yang jelas kita peroleh adalah berkembangnya KKN, hedonisme, egoisme, kekerasan, dan disintegrasi bangsa. Pengakuan kita terhadap keanekaragaman bangsa tidak diimbangi dengan diversifikasi penyelenggaraan pendidikan, kurikulum, sistem manajemen penyelenggaraan pendidikan, dan pengukuran terhadap hasil pendidikan.
Untuk mengembalikan ruh pendidikan yang lebih bermartabat, maka penyelenggaraan UN harus dikaji lagi, dan perlu evaluasi ukuran keberhasilan pendidikan. Ukuran hasil belajar yang realistis adalah yang didasarkan kepada yang benar-benar dipelajari anak, melalui pemikiran, penginderaan, konseptualisasi, dan kesimpulan sendiri yang dapat disajikan dalam bentuk dokumen karya siswa dan dijadikan kumpulan hasil evaluasi kemajuan anak.
Mengutip pendapat mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof Dr Djohar MS, ukuran keberhasilan pendidikan seharusnya tidak hanya ditentukan oleh kualitas out put, tapi harus diukur dari kualitas out come yakni keberhasilan anak-anak kita dalam meraih kehidupan nyata berdasarkan tingkat pendidikan mereka.
Kondisi sekarang, out come hasil pendidikan kita hanya mampu menawarkan ijazah untuk meraih kehidupan, mereka tidak mampu mandiri dan bahkan tidak memiliki jati diri. Dengan ijazahnya itu mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa, karena memang selama dalam pendidikan mereka tidak mencari dan memperoleh kemampuan, namun mencari dan memperoleh ijazah dengan cara bagaimanapun.
Kita bisa belajar dari Finlandia yang pada tahun 2003 tercatat sebagai negara yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia. Mereka tidak mengenjot siswa dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Kuncinya terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula.
Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian.
Di Finlandia, dan beberapa negara maju lainnya, tidak ada rangking-rangkingan, dan yang juara adalah seorang anak yang nilainya secara total tertinggi. Di negara maju, setiap anak bisa juara satu. Ada juara matematika, ada juara menggambar, ada juara bahasa, ada juara membersihkan kelas/ruang, ada juara karena selalu membantu kesulitan teman. Toh, dalam hidup seseorang hanya harus menguasai satu pekerjaan saja.
Bandingkan dengan sistem UN, banyak siswa cerdas dan berprestasi tak lulus UN hanya gara-gara ada satu pelajaran yang nilainya dibawah standar minimal 5,5, padahal nilai pelajaran lainnya di atas 9. (ahmad suroso)

Tajuk/Tribun Corner, 3 Mei 2010

Tidak ada komentar: