DALAM rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (28/4), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto mengibaratkan koruptor dengan ikan yang "bertebaran" di Danau Semayang, Kalimantan Timur. Di danau itu, kata mantan Kepala Kepolisian Daerah Kaltim tersebut, sekali tangan dimasukkan maka banyak ikan akan didapatkan. Demikian pula dengan koruptor. Kalau tangan KPK masuk ke mana saja, pasti akan dapat koruptor. Karena koruptor ada di mana-mana
Apa yang disampaikan Bibit yang membawahi deputi penindakan KPK tersebut tidak berlebihan. Apalagi kalau kita melihat hampir setiap hari silih berganti terbongkar kasus-kasus korupsi yang terungkap di media massa. Baik korupsi yang terjadi di pemerintah pusat, pemerintah daerah, legislatif, kepolisian dan instansi lainnya.
Negeri ini terkesan bak sarang koruptor dan mafia hukum. Kita setiap hari seperti dibuat terkejut oleh terungkapnya kasus-kasus korupsi baru di berbagai instansi. Dan saat muncul isu kasus korupsi baru, kasus korupsi yang lama seperti tenggelam ditelan bumi. Muncul lagi untuk kemudian tenggelam lagi oleh terbongkarnya skandal-skandal korupsi yang tak besarnya.
Kasus korupsi di Indonesia dapat dikatakan sudah berurat dan berakar melingkupi hampir seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Diyakini kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK atau aparat penegak hukum lainnya, hanyalah riak kecil di antara gelombang kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum sendiri menyebut ada sembilan tipe mafia yang beroperasi di Indonesia. Satgas bertekad menyingkirkan semua bentuk mafia itu dari bumi Indonesia. Sembilan bentuk mafia itu adalah mafia peradilan, korupsi, pajak dan bea cukai, tambang dan energi, tanah, perbankan, hutan, pasar modal, serta mafia perikanan.
Pertanyaannya, mungkinkah tekad satgas tersebut diwujudkan, mengingat sejak dibentuk berdasarkan keputusan presiden akhir tahun lalu, satgas menanggung persoalan kewenangan. Lembaga ini hanya punya kewenangan koordinasi, evaluasi, dan rekomendasi. Tidak mempunyai kewenangan memberantas, meski menyandang kata pemberantasan.
Belum lagi kita bicara kasus aliran dana Rp 25 miliar di rekening makelar kasus pajak Gayus Tambunan yang diduga melibatkan mantan pejabat Ditjen Pajak dengan jumlah lebih besar, sehingga muncul desakan ke KPK agar kekayaan 4.500 orang aparat Ditjen Pajak diusut kewajarannya. Tentu butuh waktu yang sangat lama untuk mengusut, mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan di sidang Tipikor.
Di tengah maraknya skandal korupsi yang telah menggerogoti perekonomian negeri ini, muncul usulan beberapa kalangan untuk memberikan pengampunan massal kepada koruptor, dengan syarat mereka mau mengembalikan kekayaan negara yang dicuri. Salah satunya dari pemerhati masalah korupsi Alexander Mawarta (Kontan, 3/5). Ini pernah diterapkan oleh Pemerintah Bangladesh tahun 2008, dengan alasan maraknya korupsi di Bangladesh akan butuh waktu puluhan tahun untuk menyidangkan ratusan bahkan ribuan koruptor.
Indonesia sudah pernah merintis ide ini melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN menjanjikan mereka pembebasan dari segala tuntutan hukum atau dikenal dengan istilah Release and Discharge (R&D), asalkan utangnya dilunasi. Apa salahnya kalau cara tersebut dipakai untuk menarik sebagian harta koruptor.
Secara kelembagaan mungkin bisa dilakukan oleh KPK dengan membentuk semacam departemen, bagian atau sub-komisi yang menangani masalah pemutihan korupsi. Dengan cara ini diharapkan akan banyak koruptor yang selama ini ketakutan menyimpan uang 'haram'nya di rekening luar negeri atau brankas dibawah tanah akan lebih mudah diajak kerjasama.
Usulan ini layak dipertimbangkan, mengingat penerapan sanksi hukum berupa penjara dan denda terhadap para koruptor selama ini belum efektif untuk memberikan efek jera terhadap para koruptor, sehingga praktik korupsi masih saja merajalela. Di sisi lain, uang negara yang telah mereka 'jarah' hanya sedikit yang bisa kembali. (ahmad suroso)
Tajuk/Tribun Corner, 4 Mei 2010
Rabu, 05 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar