EMPAT pimpinan lembaga penegak hukum berkumpul di Istana Negara, Selasa (4/5) menghadiri Rapat Koordinasi dan Konsultasi Penegak Hukum Mahkumjakpol 2010 sekaligus menandatangani Piagam Hukum. Keempat petinggi lembaga hukum tersebut yakni Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Menteri Hukum & HAM Patrialis Akbar.
Ada yang menarik untuk digarisbawahi dari forum ini, yakni sambutan Menhukham Patrialis Akbar dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keduanya menyoroti tentang penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan, terutama yang berkaitan dengan rasa keadilan.
Patrialis Akbar mengambil contoh saat ia berkunjung ke Lapas Tanjung Kusta, Medan, menemukan pasangan suami istri yang buta sejak lahir dituding sebagai bandar ganja. Sebagai pemijat tradisional yang sehari-hari membuka praktek di kediamannya, tiap harui selalu ada tamu yang datang untuk dipijat.
Namun, Warsiam (50) dan suaminya Muhammad Nuh (45) tak pernah menyangka jika ada seorang tamu yang membawa ganja dalam kardus mie instan. Celakanya, pada hari itu ada operasi polisi dan menemukan kardus mie instan berisi ganja tersebut. Warsiam dan Nuh pun disidang, dituntut, dan dihukum sedemikian berat. Warsiam divonis 15 tahun penjara dan Nuh (45) dihukum 18 tahun.
Sedangkan Presiden SBY menceriterakan saat melakukan kunjungan ke Lapas Anak dan Lansia, SBY menemukan fakta, sebagian napi hukumannya terlalu berat. Lalu kasus-kasus lansia yang khilaf melanggar hukum karena tuntutan ekonomi, tapi mereka dihukum secara berlebihan.
Sebaliknya, pelaku kejahatan illegal logging yang merugikan negara miliaran sampai triliunan sering mendapat hukuman yang ringan, dendanya pun sedikit. Begitu banyaknya aduan ketidakadilan hukum di negeri ini juga bisa tercermin dari pengaduan yang diterima Presiden melalui sms yang jumlahnya sekitar 3.459.794 sms.
Kita pun ikut prihatin dengan begitu banyaknya praktik penegakan hukum di negeri ini yang tidak memperhatikan keadilan dan hati nurani. Padahal hukum tak boleh berjarak dengan keadilan, karena keadilan adalah tujuan dari adanya hukum itu sendiri.
Memang sulit untuk mengukur hingga sejauh mana tindakan aparat penegak hukum dapat memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Berbeda dengan kepastian hukum yang mudah dilihat karena ukurannya jelas, yaitu sejauh mana tingkat kepatuhan aparat penegak hukum terhadap produk hukum yang berlaku saat itu.
Akar persoalannya antara lain ternyata keadilan yang sering diserukan banyak orang belum dipahami benar bahkan oleh masyarakat hukum. Sejauh ini belum ada Fakultas Hukum di Indonesia yang memasukkan mata kuliah Teori Keadilan kedalam kurikulumnya, kalaupun ada hanya disinggung sedikit di mata kuliah Filsafat Hukum.
Padahal Teori Keadilan penting untuk dipahami oleh masyarakat hukum khususnya pada setiap pengambilan keputusan. Pemahaman tentang keadilan juga menumbuhkan hidup yang bermartabat, didasari oleh tindakan dan putusan yang adil. Dengan tak adanya mata kuliah Teori Keadilan, maka kata-kata ‘keadilan’ menjadi kalah dominan dibanding dengan ‘kepastian hukum’ di Fakultas Hukum.
Hal ini menyebabkan ketika seorang mahasiswa hukum menyelesaikan pendidikannya, dia tak bisa mencerna bahwa hukum itu bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan. Mereka tidak bisa menegakkan keadilan, tapi hanya bisa menegakkan hukum, tidak bisa mengkritisi hukum. Padahal hukum itu harus dikritisi.
Untuk itu, Teori Keadilan sudah selayaknya masuk kedalam mata kuliah tersendiri di Fakultas Hukum. Ketiadaan mata kuliah yang langsung berhubungan dengan rasa keadilan justru membuat mata kuliah fakultas hukum itu hanya berorientasi pada pasal-pasal. Teori-teori hukum yang baik di mulut, tapi tidak banyak gunanya ketika berbenturan dengan fakta di lapangan. (ahmad suroso*)
Tajuk/Tribun Corner, 5 Mei 2010
Rabu, 05 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar