Selasa, 25 Mei 2010

Runtuhnya Politik Pencitraan

KEMENANGAN Anas Urbaningrum, dalam drama pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat periode 2010-2015 pada Kongres II di Bandung, Jabar akhir pekan lalu menjadi saksi sejarah fenomena politik runtuhnya politik pencitraan. Dalam kompetisi meraih kursi utama Demokrat itu, kandidat Doktor Ilmu Politik dari UGM itu unggul secara meyakinkan setelah bersaing dengan Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng dalam dua putaran pemungutan suara.
Dalam pertarungan memperebutkan 531 suara DPD dan DPC Partai Demokrat, Andi yang mengusung simbol-simbol Cikeas, mengklaim didukung putra SBY, Edi Baskoro alias Ibas dan Ibu Ani Yudhoyono kalah telak. Pada putaran pertama pemungutan suara, Andi hanya meraup 82 suara, kalah jauh dari Anas yang mengantongi 236 suara, dan Marzuki Alie yang mendapat dukungan 209 suara.
Pada putaran kedua, Andi mengarahkan pendukungnya pada putaran pertama untuk memilih Marzuki. Namun, hal ini ternyata tidak efektif. Terbukti, suara pendukung Andi malah lebih banyak yang lari ke Anas yang akhirnya meraih kursi Demokrat-1 dengan dukungan 280 suara (53 persen mengungguli Marzuki yang hanya memperoleh 248 suara (47 persen).
Ini membuktikan, politik pencitraan yang membawa simbol-simbol Cikeas ternyata sudah tidak laku dijual kepada konstituen partai itu. Andi yang membombardir publik melalui iklan-iklan 'kampanye' di televisi nasional, memenuhi ruang-ruang publik dengan spanduk, poster, baliho, billboard di Kota Bandung dan Padalarang, serta arena kongres dengan harapan agar meraih dukungan signifikan, ternyata perolehan suaranya justru jeblok.
Hal ini kontradiktif dengan yang dilakukan tim sukses Anas Urbaningrum. Spanduk atau baliho Anas, hanya terpasang satu-dua. Itupun tak jauh dari poskonya, yang disewa dari sebuah ruko, agak jauh dari lokasi kongres. Namun di tenda itulah beberapa kali tim Anas menggelar diskusi dengan mengundang beberapa pengamat, sehingga memancing wartawan untuk meliput. Posko ini justru selalu penuh sesak.
Anas, yang kemana-mana selalu berjalan sendirian, tanpa pengawalan, ternyata menjadi pilihan kader Demokrat. Anas, yang mobilnya sederhana, paling mudah untuk disapa dan diajak berdiskusi. Terutama, saat di luar kongres. Hasilnya: dari posko ini dan spanduk yang cuma beberapa biji, serta kesederhaannya, Anas terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Namun kekalahan Andi tidak bisa diartikan sebagai memudarnya pengaruh SBY. Sebab, SBY masih tetap menjabat ketua dewan pembina dan memiliki otoritas untuk memengaruhi dan mengarahkan dewan pengurus partai itu. Di sisi lain, kemenangan Anas dalam level tertentu juga menguntungkan citra SBY sebagai pembina partai yang terbuka dan demokratis.
Politik pencitraan yang dilakukan Andi hanya menimbulkan perlawanan akar rumput. DPD dan DPC Partai Demokrat yang selama ini merasa kurang 'disapa' oleh Andi karena kesibukannya sebagai Jubir Presiden dan sekarang sebagai Menegpora justru diam-diam semangat untuk melawan Andi dari bawah.
Kemenangan Anas tanpa restu Cikeas menandai keinginan mayoritas peserta kongres untuk menjadikan Partai Demokrat sebagai partai modern, dalam arti lepas dari pengaruh SBY. Karena itu, mereka mendukung Anas yang menjanjikan Partai Demokrat sebagai partai melembaga, bukan milik individu. Partai Demokrat mampu mengakomodasi kepemimpinan kaum muda, menjadi partai yang reformis dan mampu menjadi partai yang demokratis. Partai Demokrat bisa menjadi teladan bagi regenerasi politik bagi partai politik lainnya.
Sebagai masyarakat, kita pantas ikut bersyukur, sebab di tengah makin menguatnya politik dinasti dan oligarki partai, muncul tokoh muda yang kokoh dan santun, seperti Anas yang perjalanan politiknya masih panjang. Sekali lagi, kemenangan Anas membuktikan, memilih, ternyata urusan hati. Bukan soal pencitraan. Sebuah pelajaran berharga untuk para calon pemimpin partai dan pemimpin daerah. (*)

tribun corner, 26 Mei 2010

Tidak ada komentar: