Senin, 21 Juni 2010

Legalisasi Kejahatan Dana Dapil

TERONG, bocah dalam tokoh Kartun Timun di harian Kompas, Minggu (6/6) merengek pada emaknya, "Sekolah baru, Terong perlu sepeda baru, sepatu baru! Perlu HP Baru!, perlu tas baru!, Perlu meja belajar baru, dan yang paling penting dan perlu, Terong perlu jatah uang jajan baru!!!
"Kamu memang berbakat jadi anggota DPR....," tukas emaknya.
Sebaliknya tokoh kartu Sukribo justru mencoba menenteramkan hati emaknya yang lagi uring- uringan sambil membanting koran. "Lho mak, korannya kok dihancurin...mak sabar". "Sebel sebeeel...bensin mau dinaikin lagi...trus kita ini mau makan apa...DPR juga pada ngapain, minta duit sampe milyaran...dasar".
Obrolan bernada kritik dan menggelitik dalam kartun Timun dan Sukribo yang hadir setiap Minggu di koran nasional itu pas untuk menggambarkan bagaimana perilaku sebagian politisi di DPR belakangan ini yang membuat publik dan pengamat geregetan dan bingung.
Belum lagi selesai satu wacana ingin menguras uang negara Rp 1,8 triliun lewat renovasi gedung miring, sekarang DPR meminta dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota DPR pada APBN 2011. Jika gagasan itu benar-benar dieksekusi, maka total anggaran Rp 8,4 triliun terpaksa mengalir demi memenuhi keinginan sebagian anggota DPR dengan dalih pemerataan di dapil masing-masing.
LSM dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Center (IBC), Then Inisiatif-Indonesia Parliement Center (IPC) dan Tranparency International Indonesia (TII) melihat gagasan ini sebagai upaya melegitimasi kejahatan perampokan keuangan negara.
Ini, kata peneliti ICW, Abdullah Dahlan di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (6/6) kamuflase DPR saja, bilang untuk dana aspirasi. Ini legalisasi perampokan. Kalau anggota DPR kemarin pada korupsi, sekarang pakai cara dana aspirasi. Siapa yang bisa mengontrol uang itu. LSM tersebut tak melihat alasan yuridis yang bisa membenarkan gagasan dana aspirasi Rp 15 miliar. Seperti sudah ditulis di Tribun Corner edisi Kamis (3/6) lalu, gagasan itu melanggar beberapa Undang- Undang sekaligus dan konstitusi.
LSM-LSM tersebut melihat gagasan yang digelontorkan Partai Golkar ini demi menjaga popularitas dan basis konstituen mereka di dapilnya masing-masing. Padahal, gaji besar anggota DPR yang periode ini naik hampir dua kali lipat, sejumlah tunjangan, dana aspirasi, dana kunjungan kerja, dana reses, dan dana bantuan parpol, sudah cukup menguras anggaran negara.
Anehnya, ketika ada koleganya di DPR mengingatkan, jangankan diimplementasikan (dana dapil Rp 15 miliar), dipikirkan saja sudah sebuah kejahatan karena akan banyak kerusakan yang ditimbulkan, dengan entengnya Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar seperti dikutip pers Minggu (6/6) bilang, "Kalau dikatakan kejahatan dan dosa, apakah membela kepentingan rakyat dosa? Saya rela berdosa asal rakyat lebih sejahtera".
Secara akal sehat kita sependapat, usulan anggota DPR ini memang layak ditolak. Sebab usuan yang terkesan mengada-ada itu dari segi konstitusi sudah menyalahi kodratnya. Dengan mengurusi dan melaksanakan anggaran berarti sudah mengambil pekerjaan eksekutif.
Idealnya, jika ingin menjaga basis konstituen seharusnya menggunakan anggaran sendiri, bukan minta ke APBN. Bila dipaksakan, dan pemerintah menuruti, ini dinilai merupakan perampokan uang negara dengan cara yang (seolah-olah) legal. Permintaan uang dari APBN yang dikumpulkan dari pajak rakyat ini hanya sebagai langkah agar mereka bisa terpilih kembali. Seolah-olah mereka Robin Hood.
Tak salah bila mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr A Syafi’i Ma’arif mengutip seorang jenderal temannya bahwa politisi sekarang itu bermental lele, makin keruh keadaan, makin banyak makannya. Inilah gejala dari kultur politik yang kumuh, di mana pragmatisme dan hedonisme yang merajai. Para politisi hanya memperjuangkan golongan dan kepentingan jangka pendek. Ia menyoroti praktik politik uang yang hampir merata dan vulgar. Wallahu a'am. (*)

Corner, 7 Juni

Tidak ada komentar: