Melita Indrayani SE, Sekretaris KPPI Batam
Sabtu, 23 Februari 2008
JAM menunjukkan pukul 09.00 WIB ketika aku menginjakkan kaki di Asrama Haji Batam Centre. Pagi itu aku diundang untuk memberikan materi di depan 80-an perempuan anggota Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kota Batam, sebuah komunitas gabungan aktifis perempuan dari berbagai Partai Politik di Wilayah Kota Batam yang mengikuti pelatihan bertajuk “Perempuan Menuju 2009”.
"Assalamu'alaikum," sapaku pada tiga orang ibu-ibu panitia pelatihan di meja pendaftaran pintu masuk ruang aula Asrama Haji, tempat diselenggarakannnya pelatihan yang berlangsung sejak 22 Februari 2008 itu.
"Walaikum salam, bapak dari mana?" tanya seorang ibu ramah.
"Saya dari Tribun Bu yang diundang panitia untuk memberi materi pagi ini," jawabku.
"Oya Pak, silakan tunggu dulu di dalam. Nanti sesi Bapak jam 09.30 sampai 10.30," ucap ibu lainnya.
"Saya kira mulai jam 9 Bu, karena didalam undangan tertulis jam 9 sampai 10," tukasku.
Pantesan, kataku dalam hati, kok pesertanya baru terlihat sekitar 5 orang. Untung setengah jam kemudian saat acara dimulai, peserta lainnya datang hingga mencapai sekitar 80 orang.
***
Di hadapan ibu-ibu yang usianya berkisar antara 30 sampai 50 tahun itu oleh panitia aku diminta membawakan topik "Kreasi Penyampaian Pesan Melalui Media". Namun dalam paparannya, saya awali dengan topik media sebagai penyalur aspirasi politik.
Setelah setengah jam saya sharing pengetahuan dan pengalaman, acara dilanjutkan dengan dialog.
Ibu-ibu ternyata antusias juga bertanya, mulai dari mengapa pers cenderung suka mengangkat kasus-kasus perselingkungan DPRD, korupsi pejabat, perlindungan wartawan, sampai pertanyaan apa benar tiap bulan wartawan dapat dana rutin dari departemen/instansi tertentu, sampai permintaan disediakan kolom khusus untuk perempuan di Tribun.
"Ibu-ibu, fungsi pers itu selain sebagai media informasi, hiburan, dan pendidikan, juga berfungsi sebagai sarana sosial kontrol. Begitu urgennya media, sehingga pers sering disebut sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan atau pilar keempat demokrasi," jawabku semangat.
"Jadi, kalau ada anggota legislatif atau pejabat yang selingkuh atau korupsi kemudian diberitakan di media massa itu memang sudah tugasnya pers menjalankan fungsi sosial kontrol. Kalau kasus- kasus yang menyangkut moralitas pejabat yang tidak bisa dijadikan contoh, bertindak korupsi terus pers diam saja...Apa kata dunia!," kilahku berseloroh mengutip ungkapan yang sering dilontarkan tokoh Naga Bonar dalam film Naga Bonar 2.
Terkait dengan peran pers sebagai media penyalur aspirasi politik, saya bilang tidak bisa dipungkiri media massa memiliki posisi penting sebagai wahana penyalur aspirasi atau propaganda politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media massa.
Makanya perempuan yang terlibat di parpol maupun sebagai calon yang akan maju dalam pemilu mendatang, ibu-ibu perlu mengetahui cara membangun citra diri/partai melalui media. Sebaiknya memiliki keterampilan menulis supaya dapat menghasilkan naskah-naskah yang diperlukan untuk kepentingan pencitraan positif dan popularitas sebagai politikus /parpol. Selain itu diperlukan sebuah hubungan yang baik dengan kalangan pers/media massa ess. Kenali karakteristik wartawan, format media, cara kerja wartawan/media, dan sebagainya.
Oke deh madam, selamat menjadi calon srikandi atau singa panggung pada pertarungan Pemilu 2009. Semoga target meraih kursi 30 persen untuk perempuan di kursi DPR/D tercapai. (Ahmad Suroso)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar