Kamis, 07 Februari 2008

MENGUMBAR NAFSU (1)




Pilih Jadi Semar atau Togog?

SYAHDAN, tersebutlah dahulu kala, dunia baru saja tercipta. Matahari, bulan dan bintang bertaburan di angkara. Samudra membentang luas. Alam sudah tercipta, tapi belum ada manusia. Tersebutlah di alam dewata, Sang Hyang Wenang, raja segala dewa memperanakkan seorang putra, Sang Hyang Tunggal namanya. Di kerajaan jin, Raja Begawan Rekatama mempunyai seorang putri cantik jelita, Dewa Rekatawi namanya.

Setelah dewasa, Sang Hyang Tunggal dan Dewa Rekatawi dinikahkan. Tak lama kemudian Dewa Rekatawi mengandung. Di luar harapan, ia tidak melahirkan bayi, tapi sebutir telur. Dan begitu keluar dari rahim, telur itu terbang, melesat ke angkasa, lalu jatuh di hadapan Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang yang sangat sakti, tahu, dari mana telur itu berasal, dan apa yang harus terjadi pada telur tersebut. Maka disabdanya telur itu, dan telur itu pun berubah menjadi mahluk.

Kulit telur menjadi bayi laki-laki, dinamai Sang Hyang Antaga. Putih telur juga menjadi seorang bayi lelaki, dinamai Sang Hyang Ismaya. Dan kuningnya menjadi bayi laki-laki pula, dikasih nama Sang Hyang Manikmaya.
Semula mereka rukun dan damai hidupnya. Namun saat menginjak dewasa, Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya bertengkar, memperebutkan tahta ayahnya, Sang Hyang Tunggal. Masing-masing mengklaim yang paling berhak menggantikan ayahnya, dan merasa paling sakti. Mereka bertengkar tiada habisnya.

Sang Hyang Manikmaya lalu mencoba menengahi pertikaian kedua saudaranya. Tanpa sepengetahuan ayahnya, ia mengusulkan kedua saudaranya berlomba untuk menunjukkan kesaktiannya, siapa yang dapat nguntal (menelan) Gunung Garbawasa, dialah yang akan berkuasa. Di dalam gunung itu terkandung apa saja yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia.

 Setelah keduanya setuju, maka pergilah mereka menghadap Gunung Garbawasa.Pertama-sama Sang Hyang Antaga yang memulai sayembara. Ia mencoba nguntal gunung itu, tapi tak berhasil, meskipun sudah berulang kali mencoba, sampai mulutnya sobek. Jadilah Sang Hyang Antaga, dewa yang semula tampan wajahnya berubah menjadi jelek. Mulutnya lebar, karena sobek.

Saat tiba giliran Sang Hyang Ismaya, ia mengheningkan cipta. Dipandangnya Gunung Garbawasa dalam-dalam. Ia membayangkan masuk kedalam rahim ibunya. Ia bertanya, bagaimana seorang mahluk sebesar dia pernah berada dalam rahim yang sekecil itu. Itulah misteri jagad raya. Begitu ia sampai pada kesadaran ini, di-untal-nya Gunung Garbawasa yang ada di hadapannya. Ia berhasil.

Namun celakanya, ia tak dapat mengeluarkan kembali gunung itu. Ia sadar seharusnya tak boleh kebesaran jagat raya ini ia taklukkan dengan nafsunya. Kini jagad raya inilah yang menghukumnya. Sejak saat itu Sang Hyang Ismaya menjadi buruk tampaknya. Perutnya besar dan bokongnya pun membesar pula ke belakang, tersodok puncak gunung yang ditelannya.

Marahlah Sang Hyang Tunggal mengetahui kelakuan mereka, "Kalian dewa, tapi kelakuan kalian seperti manusia juga". Saat itu manusia belum diciptakan. Ungkapan Sang Hyang Tunggal mengandung arti sesungguhnya telah direncana dalam rancangan jagad raya ini, bahwa manusia itu adalah mahluk yang pandai bertikai dan bertengkar di antara sesamanya.

Usai melampiaskan amarahnya, Sang Hyang Tunggal mengusir kedua anaknya ke dunia ini.Nama mereka pun berubah. Sang Hyang Ismaya menjadi SEMAR. Dan Sang Hyang Antaga menjadi TOGOG. Semar dititahkan untuk melindungi manusia yang baik yang dalam pewayangan diwakili kaum Pandawa. Sedangkan Togog diperintahkan menemani manusia jahat.

Sepeninggal Semar dan Togog, hanya Sang Hyang Manikmaya-lah yang kini tinggal di surga. Sepintas Sang Hyang Manikmaya tidak bersalah. Padahal sesungguhnya justru dialah yang mengompori kedua saudaranya untuk membuat perlombaan nguntal gunung itu. Ia tahu, kedua saudaranya pasti gagal. Bisa diduga maksud tersembunyi dalam hatinya: supaya dia lah yang mewarisi tahta ayahnya. Dan memang Manikmaya-lah akhirnya yang diangkat jadi penguasa dewa-dewa, dengan gelar baru :Batara Guru

Kelakuan Batara Guru tak bedanya dengan Semar dan Togog, suka akan pertikaian dan haus akan kekuasaan. Batara Guru yang berasal dari kuning telur itu, memang dewa yang gila akan kekuasaan. Sering dikisahkan Batara Guru berkelakuan tak ubahnya manusia, yang diselimuti iri, dengki, persaingan, pertikaian, dan pertentangan terhadap sesamanya.

Dari kisah yang dilukiskan dengan amat menyentuh oleh novelis klasik sekaligus jurnalis senior Romo Sindhu, sebutan akrab Dr Gabriel Possenti Sindhunata dalam bukunya berjudul "Putri Cina" terbitan Gramedia tahun 2007 yang sebagian kisahnya saya kutip di atas, saya baru 'ngeh' mengapa bentuk fisik Semar dan Togog, dua tokoh pewayangan yang sudah saya kenal sejak kecil menjadi seperti tersebut di atas.

Melalui penuturan Romo Sindhu yang saya kenal semasa sama-sama menjadi pengurus PWI Cabang Yogyakarta era tahun 1990-an, yang mengutip hikayat Sabdopalon-Nayagenggong, saya baru tahu bahwa pamomong orang Jawa seperti Semar yang dianggap suci seperti dewa itu juga mempunyai sifat berkelahi seperti anjing.

Semar dan Togog tak luput dari perkelahian dan pertikaian yang membuahkan kekerasan, demi ambisinya merebut tahta/kekuasaan. Jadi jika di tanah Jawa orang suka berkelahi dan bertikai tanpa pernah damai, maka Semar dan Togog lah pemulanya. Termasuk jika ada pemimpin besar bangsa ini yang memiliki ambisi kekuasaan tak terkendali, seakan merasa negeri ini kerajaan pribadi dan keluarganya sejatinya karena mewarisi perilaku Semar dan Togog.

Kisah Semar dan Togog sebagaimana dituturkan oleh Romo Sindhu tersebut bila kita cermati dan renungkan secara mendalam sebetulnya mengandung filsafat/hikmah tentang manusia. Semar dan Togog adalah bagian dari lambang-lambang, perumpamaan-perumpamaan dalam pewayangan yang mengandung pengajaran tentang diri manusia, dengan alam semesta, dan Sang Maha Pencipta. 
Bagaimana jadinya bila manusia sebagai hamba Tuhan ternyata dalam hidupnya hanya menuruti hawa nafsunya saja? Simak tulisan selanjutnya. (Ahmad Suroso)
 

Tidak ada komentar: