Kamis, 21 Februari 2008

Nostalgia...KABAR MAWA WISA


16 Februari 2008
Malam Minggu, 16 Februari lalu aku sarimbit (berdua) bersama istri melangkahkan kaki ke Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), menonton ketoprak wartawan dengan lakon ‘Kabar Mawa Wisa’ karya Susilo Nugroho alias Den Baguse Ngarso, penyelaras akhir pelawak Marwoto Kawer.
Selain menyaksikan ketoprak yang didukung empat pelawak Yogya; Gareng Rakasiwi, Jonet, Wisben, dan Yati Pesek, serta artis dan presenter Rieke Dyah "Oneng" Pitaloka, aku juga bernostalgia dengan beberapa wartawan Yogya, khususnya harian Bernas yang sudah aku tinggalkan sejak awal tahun 2003 lalu. Mereka antara lain Farid, Adi Prabowo, Himawan, Sulis, Clemon yang kini juga sudah angkat kaki dari Bernas.
Ketoprak yang mengangkat lakon "Kabar Mawa Wisa" (kabar mengandung bisa) ini benar-benar dapat menghibur para penonton termasuk Walikota Yogya Heery Zudianto. Penuh dialog satire yang dikemas secara kocak, menggelitik, dan adegan semi teatral, membuat penonton yang mbludag sering terpingkal-pingkal.
Pementasan dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional itu menyuguhkan renungan mendalam tentang idealisme wartawan dalam kemasan penuh banyolan, karena para wartawan berhadapan dengan pemain ketoprak yang juga kebanyakan pelawak. Salah satunya terlihat pada adegan akhir dialog keras antara Candramawa dengan Mas Rara Nastiti (dimainkan Reike Dyah Pitaloka). ”Nastiti, kowe kudu tunduk marang dhawuhe Kanjeng Adipati (Nastiti kamu kamu tunduk pada perintah Kanjeng Adipati),” gertak Candrawmawa.
Tidak. Saya tidak mau tunduk pada Kanjeng Adipati. Saya tetap wartawan. Saya akan ekspos kadipaten yang korup ini. Saya siap menulis dan mengkritisi !” tantang Nastiti dengan sengit pula kepada Candramawan.
Candramawa pun ketus bilang ”Eling lho Nastiti. Tulisanmu ki pancen cerdas, jujur lan kepenak diwaca. Ning tulisanmu ki mawa wisa. Durung karuwan ngrampungke perkara, ning mesti mawa korban. Isa korban aku, ning ya isa korban kowe dhewe !” kata Candramawa, penyidik yang tegas, tidak mau disuap) berapi-api.
"Assu," tukas Rieke Dyah Pitaloka yang kagok melafalkan dialog bahasa Jawa sambil ngeloyor meninggalkan panggung, menandai berakhirnya pentas ketoprak tersebut. Kata dimaksud adalah ungkapan misuh yang artinya anjing. Namun karena dilontarkan dalam kontek humor, sehingga direspon penonton dengan terkekeh-kekeh.
Tadi siang (22/2)aku dapat SMS dari Sulis yang dalam ketoprak itu berperan sebagai salah pemburu berita, bulan depan lakon ketoprak Kabar Mawa Wiso itu ditanggap oleh RCTI untuk main di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Oke, sukses untuk tempat-teman wartawan Yogya.

****
Usai menyaksikan ketoprak tersebut, aku jadi teringat pengalaman masa kecil yang tak mungkin terlupakan. Ceritanya, waktu masih SD (akhir tahun 1960-an sampai awal 1970-an) aku hobi nonton ketoprak dan wayang kulit. Tiap ada pentas ketoprak atau wayang di wilayah sekitar tempat tinggalku di Demangan, Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta aku selalu menonton.

Ceritanya saat aku masih usia 9 tahunan aku nonton wayang kulit di kampungku yang saat itu masih ndeso dan masih banyak tumbuh rumpun bambu, dan pohon-pohon besar. Dinihari sekitar pukul 02.00 aku ngantuk berat, lalu memutuskan pulang sendirian. Tapi sampai gang dekat rumah rasa takut menyergapku saat aku melihat seperti ada bayangan hitam berkelebat di pohon duku dekat pagar bambu.
Karena takut aku langsung lari terbirit kembali ke tempat pentas wayang kulit. Karena tak kuat lagi menahan kantuk, aku memutuskan tidur di emperan toko besi Sinar Logam Jl Solo (kini depan Mal Saphir Square Yogya) dekat penjual kacang goreng klitikan.
Rupanya karena sampai jam 4 subuh, aku belum juga pulang, orangtuaku menyusul mencari aku ke lokasi pentas wayang kulit sekitar 50 meter dari gang samping toko Sinar Logam. Setelah mencari kesana kemari tak ketemu, bapakku minta tolong penyenggara wayang mengumumkan siapa yang mengetahui keberadaan seorang bocah lelaki usia 9 tahunan untuk memberitahu ke orangtuanya yang menunggu di dekat panggung.
Setelah mencari kesana kemari, bapakku akhirnya menemukan aku yang masih tertidur di emperan toko dalam posisi badan meringkuk. "Oalah le, kowe iki gawe susah wong tua," cetus Bapakku setelah membangunkan aku dan menggendongnya pulang ke rumah.
Sampai di rumah - saat itu sudah subuh - keluargaku dan tetangga sudah berkumpul menunggu aku. Karena di rumah banyak orang, aku merasa malu bukan kepalang. Aku yang dasar masih lugu dan katrok, langsung sembunyi di kolong tempat tidur...hahaha. (ahmad suroso)

Tidak ada komentar: