Jumat, 21 Desember 2007

Idul Adha kok Berbeda-beda?



IDUL ADHA DI PARANGTRITIS -
Umat Islam melaksanakan salat Idul Adha 1428 H di pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, Kamis (20/12).

Sikapi Perbedaan dengan Hawa Nafsu, No Way


SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, hampir selalu ada perbedaan di dalam menetapkan jatuhnya waktu 10 Zulhijjah sebagai tanda waktunya salat Idul Adha, begitu juga dengan 1 Syawal saat waktunya melaksanakan salat Idul Fitri di tanah air Indonesia. Begitu juga dengan tahun ini. Hari ini (21/12/07) diberitakan, ribuan jemaah Islam Syatariah di sejumlah kabupaten/kota di Sumatera Barat, dan jemaah thoriqoh Naqshobandiyah Jombang, Jawa Timur baru melaksanakan Shalat Idul Adha 1428 Hijriah pada Jumat pagi (21/12).
Beberapa ormas Islam, antara lain Hizbut Thahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia melakukannya pada Rabu (19/12), mengikuti penetapan yang dilakukan pemerintah Arab Saudi. Sementara pemerintah Indonesia sendiri bersama dua ormas Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menetapkan salat Idul Adha 1428 H jatuh pada hari Kamis (20/12).
Munculnya perbedaan itu karena adanya perbedaan metode didalam cara menentukan, yang satu memakai metode hisab/perhitungan untuk menentukan/melihat posisi hilal/ bulan, satunya dengan metode rukyat/ melihat langsung dengan indera mata. Mungkin sebagian umat Islam menjadi bingung dengan adanya perbedaan tersebut. Bahkan tak sedikit yang kemudian mempertentangkannya, sehingga memicu perpecahan di kalangan umat Islam sendiri..
Bagaimana kita seharusnya menyikapi perbedaan ini?
Bagi umat Islam, tidak usah jauh-jauh, cukuplah kita mencontoh kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah. Di dalam urusan perbedaan, Nabi bersabda,"Perbedaan adalah rohmat". Artinya di Islam dihargai adanya perbedaan. Meski sebagian orang tidak meyakini akan hadits ini. Tetapi hal yang lumrah adanya perbedaan, baik perbedaan di dalam memahami ayat-ayat al Quran maupun hadits dan juga perbedaan di dalam mempraktekkan agama Islam.
Perbedaan tidak perlu dipahami sebagai sebuah pertentangan yang harus disatukan, apalagi dianggap sebagai sebuah perselisihan yang akan membawa kepada perpecahan. Sudah sejak masa Rosulullah saw pun, perbedaan itu ada dan ada.
Untuk mensikapi adanya perbedaan itu al Quran mengatakan "Lana a'maluna walakum a'malukum"."Apa yang aku kerjakan ya untuk aku, dan apa yang kamu kerjakan adalah untuk kamu". Inilah yang banyak diceritakan di hadits-hadits bahwa tanggung jawab di hadapan Allah tiap-tiap orang adalah tanggung jawab masing-masingnya.
Yang penting kita saling hormat menghormati pendapat yang berbeda dan perbedaan itu janganlah kemudian ditungganggi hawa nafsu merasa benar sendiri. Akar dari konflik adalah ketika perbedaan yang ada itu ditunggangi oleh hawa nafsu, maka pastilah timbul konflik yang bisa berakibat fatal. Tergantung kemampuan masing-masing di dalam pengendalian hawa nafsunya.
Rosulullah bersabda: "Khoiru nassi anfauhum linnas" "Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain". Tidak peduli siapa saja, lintas suku, lintas agama lintas bangsa, yang paling bermanfaat bagi manusia lain adalah sebaik2 manusia. Juga hadits Rosul yang menyampaikan bahwa "Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbuat baiklah pada tetanggamu" Tidak peduli tetangga kita itu beragama hindu, budha, kristen, apapun juga".
Alangkah indahnya seandainya perbedaan diantara sesama umat islam tidak ditunggangi oleh hawa nafsu yang mengakibatkan perpecahan, pertengkaran dan perselisihan. Yang ada adalah saling menghormati perbedaan pemahaman dan keyakinan masing-masing faham. Perbedaan pendapat dipahami sebagai sebuah kewajaran.
Alangkah indahnya bila kehidupan ini diatur dengan dasar pengertian, dengan dasar tolong menolong dalam kebaikan dengan cara berkomunikasi yang lebih dewasa secara sopan dan secara santun. Yang mengkritik memang berniat untuk memperbaiki tanpa memaksakan kehendaknya, yang dikritik menerima dengan lapang dada dan berintrospeksi. Tak ada lagi hinaan dan cacian, tak ada lagi celaan dan makian. Tak ada lagi jalan kekerasan yang ditempuh untuk menyelesaikan perbedaan, apalagi sampai mengedepankan hukum rimba dengan melakukan penyerbuan, pembakaran, pembunuhan. Islam sebagai rahmatan lil alamin harus benar-benar diwujudkan, jangan hanya menjadi jargon di lisan. Semoga. (Ahmad Suroso)

Tidak ada komentar: