Selasa, 25 Desember 2007

Haruskah Perbedaan Keyakinan Disatukan? (2)

Ahmadiyah korban Birokrasi Agama!?

AKSI anarkisme sekelompok massa yang terus menerus menebar teror, menghancurkan tempat ibadah dan harta benda milik anggota Ahmadiyah dan kelompok lain yang dituduh sesat di beberapa kota di Jabar belakangan ini menuai kecaman. Tak kurang dari Wapres Yusuf Kalla mengutuk aksi tersebut dan meminta aparat keamanan untuk menindak kelompok yang melakukan perusakan.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ormas Islam terbesar di Indonesia juga mengecam keras aksi main hakim sendiri itu. "Aksi perusakan atas milik orang lain apalagi masjid atas dalih apapun tidak dapat dibenarkan, pelakunya harus ditindak sesuai hukum yang berlaku," tegas Ketua PBNU Masdar Farid Masudi, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (26/12/2007).
Masdar mengatakan, kalau atas dasar tuduhan sesat yang digunakan untuk pembenaran tindakah tersebut, hal itu tidak berdasar. NU, juga pernah dituduh sesat. Bahkan, umat Islam di Indonesia yang pertama-tama dituduh sesat oleh sesama umat Islam adalah kaum nahdliyin, misalnya karena menjalani maulidan, tahlilan, slametan, ziyarah kubur, kunut, dan lain-lain.
"Bahwa masjid-masjid NU tidak mereka serang atau hancurkan, ya karena mereka takut saja sama warga NU yang banyak, terutama banser-nya. Coba kalau kita kecil seperti Ahmadiyah, masjid kita pun akan diserang," cetusnya geram.
Pertanyaannya, mengapa mereka seperti bernafsu sekali untuk melibas kelompok yang keyakinannya dalam memahami agama berbeda? Menjawab pertanyaan ini, menarik disimak jawaban kritis dan cerdas yang diungkapkan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute satu lembaga yang didirikan oleh KH. Abdurrahman Wahid mantan presiden kita, saat diwawancarai Perspektif Baru edisi 15 Desember 2007.
Alumnus IAIN (kini Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, berpendapat, munculnya aksi-aksi kekerasan pada masyarakat karena nampaknya sejak reformasi agama menjadi sentral isu dalam proses berperan masyarakat sekarang ini. Salah satu yang terpenting adalah proses birokratisasi agama dalam banyak bentuk. Birokrasi tidak hanya dalam pemerintah, tapi juga di partai politik, perundang-undangan, dan seterusnya. Itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya.
Kemudian juga persepsi para pejabat, seperti ditunjukkan Presiden SBY di depan pembukaan rapat kerja Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa tahun lalu menyatakan akan mengikuti semua fatwa MUI. Belakangan Fatwa MUI melahirkan antara lain 10 kriteria untuk menunjuk seseorang dianggap sesat.
Dalam konteks ini, para pejabat sudah kehilangan kepemimpinan di dalam negara RI. Itu memberi peluang hukum rimba, siapa yang kuat bisa membuat hukum, bisa dilaksanakan, dan pemerintah akan mengikutinya. MUI, misalnya yang merasa kuat, membuat hukum dengan 10 kriteria tersebut kemudian disebarkan ke masyarakat. Silakan masyarakat menindak sendiri kalau ada orang yang melanggar dari 10 kriteria tadi karena presiden sudah menyatakan akan mengikutinya. Kapolri juga menyatakan itu.
Jadi kalau menurut saya, mereka seperti memicu lahirnya kekerasan yang bisa timbul dengan sendirinya di masyarakat. Bagaimana seandainya saya mengikuti fatwa MUI mengenai 10 kriteria itu harus saya jalankan, lalu ada tetangga yang saya anggap sesat. Apa yang harus saya lakukan? Di situ tidak ada petunjuknya. Mungkin saya boleh menggebuknya atau lainnya. Jadi itu mengintroduksi semacam hukum rimba.
Anehnya, pejabat mengikuti alur ini. Akibatnya, muncullah kecenderungan masyarakat berkembang tanpa norma, mengedepankan kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan, dengan main serbu, main libas. Seakan ada pembenaran, kalau ada orang berbeda dengan saya, maka saya boleh menggebuknya. Polisi akan melindungi orang yang menggebuk atau akan mengevakuasi orang yang digebuk.
Dua modal sosial, saling percaya, dan norma sosial tidak terbentuk..Semestinya pemerintah membangun itu, mendorong masyarakat agar membangun norma. Tidak berlagak arogan dan mutlak-mutlakan.sampai tega mengorbankan anak bangsa. Itu jelas tanggung jawab pemerintah tapi pemerintah tidak melakukannya. Misalnya, ada orang yang mau melakukan kekerasan, maka yang harus dicegah adalah orang yang hendak melakukan kekerasan, bukan mengusir korban lalu membiarkan mereka para penyerang leluasa. Pemerintah dan aparat negara harus menunjukkan itikadnya untuk mengarahkan ini. Kalau tidak maka benar-benar akan menjadi hukum rimba.

Agar azab itu tidak menimpa kita, marilah kita lebih mengedepankah ukhuwah daripada mencari- cari kesalahan kelompok yang berbeda keyakinan dengan cara mungkar. Perbedaan akan menjadi rohmat, akan menjadi kekayaan intelektual dan mental yang luarbiasa jika Perbedaan itu tidak sampai ditanggapi / ditunggangi oleh HAWA NAFSU. Perbedaan itu akan menjadi Konflik jika kemudian ditanggapi/ditunggangi oleh HAWA NAFSU.
Akibatnya sungguh sangat fatal, perselisihan, pertentangan, perpecahan akan terjadi. Putusnya tali persaudaraan, putusnya tali kerukunan, putusnya tali kebersamaan akan terjadi. Bahkan kadang terjadi sampai luka melukai sesama manusia, hajar menghajar, pukul memukul dan sampai bunuh membunuhpun bisa terjadi hanya disebabkan karena PERBEDAAN sudah ditunggangi oleh HAWA NAFSU. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan tidak mengazab kita akibat sikap perilaku kita sendiri.
Bagaimana kita seharusnya mengembangkan ukhuwah? (Ahmad Suroso/bersambung)

Tidak ada komentar: