Kamis, 19 Maret 2009

Hikmah Kasus Syekh Puji


KONTROVERSI
pernikahan dini secara siri antara gadis cilik Lutviana Ulfa (12) dengan pengusaha kaya raya yang juga pemilik pondok.pesantren di Ambarawa, Jawa Tengah, Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji nampaknya akan semakin menyedot perhatian publik. Apalagi Senin (16/3) lalu Polwiltabes Semarang telah menetapkan Syeh Puji sebagai tersangka atas perbuatannya melakukan pernikahan dengan gadis dibawah umur. Perbuatan tersangka dianggap melanggar pasal 82 dan 88 UU No 23/2002 tentang perlindungan anak dan terbukti tidak mempunyai izin menikahi Ulfa.

Penetapan tersangka atas Syeh Puji dilakukan setelah pengusaha kerajinan kuningan tersebut menjalani pemeriksaan kedua dan menjawab 110 pertanyaan. Dalam pemeriksaan, Syeh Puji mengaku menikahi Ulfa atas saran kiai dan pemahaman dari buku. Namun dia tak bisa membuktikan kedua hal itu. Karena itu sesuai UU, jika menikahi anak di bawah usia 16 tahun, orang tersebut harus mempunyai izin dari orangtua sang anak. Dalam kasus ini, menurut penyidik Polwiltabes Semarang izin tersangka ditolak Pengadilan Agama.

Mertua Syeh Puji, Suroso (36) juga kena getahnya. Selasa malam kemarin giliran ia dijemput paksa di rumahnya, Desa Randugunting, Bergas, Kabupaten Semarang, karena dianggap terlibat dalam kasus pernikahan di bawah umur (dini). Ayah tiga anak itu langsung ditetapkan sebagai tersangka menyusul Syek Puji yang telah mempunyai dua istri.

Pangkal tolak kasus Syeh Puji sebenarnya karena adanya perkawinan dibawah umur yang dilarang Undang-undang Perlindungan Anak, dan pernikahan secara siri. Keduanya. merupakan bagian dari problem sosial yang selama ini sering mendapat sorotan masyarakat, selain kasus perkawinan paksa, poligami, dan talak sewenang-wenang. Kasus-kasus tersebut sebenarnya tidak akan terjadi bila kita mau memperhatikan ketentuan yang sudah diatur dalam Undang Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sejarah lahirnya UU tersebut merupakan perjuangan panjang untuk mengatasi munculnya problem sosial tersebut. Mengutip pendapat Prof Dr Khoiruddin Nasution, Guru Besar Fak Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dilansir di sebuah harian terkemuka di Yogyakarta beberapa hari lalu, tujuan tokok lahirnya UU Perkawinan tersebut adalah sebagai alat rekayasan sosial untuk menekankan tentang pentingnya pencatatan perkawinan. Yakni, di samping agar perkawinan mempunyai kekuatan hukum adalah sebagai media untuk meneliti apakah seluruh persyaratan yang berkaitan dengan perkawinan sudah terpenuhi atau belum.

Kaitannya dengan otoritas undang-undang sebagai salah satu produk pemikiran hukum Islam, semestinya para hakim dan corong masyarakat; ustaz, kiai, muballig, meletakkan undang-undang perkawinan sebagai hukum (fikih) Islam Indonesia. Sehingga undang-undang inilah sebagai fikih Islam yang diberlakukan di Indonesia, sama status dan otoritasnya dengan hukum (fikih) Islam konvensional yang dikonsepkan para imam mazhab di zamannya. Sehingga tidak ada lagi istilah sah menurut agama (siri) tetapi belum menurut negara. Dengan ungkapan lain, undang-undang itulah hukum Islam (agama) sekaligus hukum negara.

Pengusutan perkara Syeh Puji sampai ke ke meja pengadilan adalah di antara usaha untuk menempatkan UU Perkawinan sebagai hukum Islam sekaligus hukum agama. Usaha semacam ini harus terus ditingkatkan agar pada waktunya memberikan efek jera kepada para pelaku dan calon pelaku. Dengan semakin banyaknya perkara perlakuan semena-mena dibawa ke meja hijau, diharapkan akan semakin mempercepat proses perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan lebih bermartabat.

Jadi hikmah yang nantinya bisa diambil dari perkara Syeh Puji manakala para hakim memberikan putusan yang tegas mematuhi undang-undang adalah efek jera kepada para pelaku dan calon pelaku. Dengan begitu diharapkan orang tidak sewenang-wenang melakukan nikah siri. Semoga (ahmad suroso)

tajuk Tribun Batam, Kamis, 19 Maret 2009

6 komentar:

Yuda mengatakan...

Menurut saya pernikahan siri Syekh puji tidak 100% mencontoh Rosulullah SAW disamping itu beluau kurang rendah hati dan cenderung memperlihatkan kekayaan dan power yang dimilikinya sehingga saya kira beliau tidak layak mendapat gelar Syekh. Coba pikir apa gunaya membangun penjara buatan sendiri kalau bukan untuk kesombongan, kenapa biaya untuk membangun penjara tersebut diinfakan.

Terima kasih.
http://persatuanislam.wordpress.com

Unknown mengatakan...

apa contoh dari Rasul harus diterapkan sesuai dengan apa yg dilakukan olehsyekh puji??
mereka dua individu yang berbeda..
kekayaan dan power itu semua hanya embel2 dunia ja..knp g bpikir klo penjara itu memang beliau bangun untuk tempat mendekatan dengan Sang Penguasa ..???

yusep mengatakan...

menurut saya, tidak ada satupun orang yang bisa mencontoh kebaikan rosulallah, "tentang kasus ini" hanya ego yang ada pada dirinya sebagai manusia ,(itu bukan sunah rosullah "karena rosulallah menikahi orang yang teraniaya, telah ditinggalkan suaminya karena perang") bila syah puji benar kaya hati dia tida akan menikahi anak dibawah umur karena litfina bisa diangkat menjadi anak asuh atau dibantu agar bisa sekolah, rendah hati itu adalah memberi tanpa meminta imbalan, itu...baru salah satu contoh sunah "rosul"....
sekian pendapat saya bila ada yang tersinggung saya sebagai manusia yang penuh dosa meminta maaf sebesar-besarnya, karena kekurangan adalah milik saya sebagai manusia...
wasalam....

baadshah al mujahidin mengatakan...

andai saya bisa, saya ingin sekali berbisaca di depan puji'. dia tidak pantas bergelas syekh..!!! SEHARUSNYA DI TIDAK BERAGAMA ISLAM.. LEBIH BAIK MURTAD SAJA LAH DARI PADA MENCORENG AGAMAKU...!!!!! itu bukan ibadah tp pesugihan.. JUJURLAH WALAU JUJUR ITU MENYAKITKAN.. DAN BERIBADAHLAH, CARI REJEKI YANG HALAL...
klo orang bergelar syekh itu wajahnya enak dilihat, tp klo si PUJI enaknya di HAJAR klo melihatnya.... ASTAGFIRULLAHAL ADZIM..

Faza mengatakan...

Astaghfirullah..antum tidak berhak memurtadkan seseorang akh..yang berhak itu hanya Allah. soal saudara kita yang melakukan kesalahan, itu wajar. walaupun ana tidak setuju juga dengan tindakan Pak Puji, tapi bukan harus memakinya kan? bukankah masih ada cara yang baik dan bijak? minimal dengan nasehat dan do'a. Ana mengerti perasaan antum akhi..sabar ya saudaraku akh baadshah al-mujahidin.

Faza mengatakan...

Astaghfirullah..Akhi baadshah al-mujahidin yang ana cintai karena Allah, antum tidak pantas berkata murtad eenaknya begitu. Amal seseorang itu hanya Allah yang pantas menimbangnya dan hanya Allah saja yang berhak menentukan seseorang itu berhak murtad atau tidak.. Bukan lah sikap bijaksana jika kita melihat SAUDARA KITA melakukan kesalahan lantas kita maki dan kta sebut dia MURTAD..tapi cobalah antum nasehati dan do'akan saudara kita Pak Puji agar mendapat hidayah dari Allah. toh, sebenarna\ya pak Puji tidak menyebut dirinya Syeikh tapi masyarakat disekitarnya yang memanggil beliau Syeikh..begitu.coba antum baca dulu semua berita dan kabat tentang beliau barulah antum simpulkan dengan bijaksana..Ana juga kurang setuju dengan tindakan pak Puji tapi bukan berarti harus memakinya kan ? ana yakin ada cara lain yang len\bih bijak dari sekedar memaki..Sabar ya Akhi..ana ngerti perasaan antum. Tapi Rasulullah bersabda, orang yang kuat bukanlah orang yang kuat mengangkat beban dan memikulnya, tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa menahan amarahnya..^_^.