Jumat, 27 Februari 2009

Putusan MK Melegakan pers

PERJUANGAN delapan pimpinan media massa yang mengajukan uji materiil (judicial review) atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPRD, DPD ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuahkan hasil. Dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (242), MK membatalkan ketentuan UU Pemilu yang mengatur sanksi terhadap lembaga pers dan penyiaran yang melanggar pembatasan iklan kampanye. Pertimbangannya, pasal 98 ayat 2, 3 dan 4 dan pasal 99 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tersebut inkonstitusional.

Kedua pasal itu bukan saja bertentangan dengan UU lainnya, juga bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Ketentuan pasal 98 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008 yang mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye Pemilu, menurut Mahkamah dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.

Mahkamah menilai kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers mencampuri kewenangan KPU mengatur peserta Pemilu. Karena itu, supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, Mahkamah menyatakan dua pasal itu tak berlaku lagi. Lagi pula dengan kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers menurut UU Nomor 40 Tahun 1999, tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak.

Menurut MK, pemberian sanksi sampai pembredelan media yang diatur dalam Pasal 98 Ayat 2,3,4 dan Pasal 99 Ayat 1 dan 2 bertentangan langsung dengan Pasal 28 E Ayat 3 dan Pasal 28 F UUD 1945. Karena Konstitusi telah memberikan jaminan sangat tegas terhadap kebebasan berekspresi, antara lain dengan dicabutnya keharusan adanya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan segala bentuknya.

Pertimbangan MK, UU Pemilu cenderung menggeneralisasi institusi pers, yakni media cetak dan lembaga penyiaran. Padahal terdapat perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur dalam UU No 32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU Pers No 40/1999. Bila lembaga penyiaran memerlukan perizinan dari Menkoinfo serta KPI, maka media cetak tidak memerlukan perizinan dari instansi manapun.

Keputusan MK mengabulkan permohonan yang diajukan delapan pemred Harian Terbit, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Rakyat Merdeka, Media Bangsa, Koran Jakarta, Warta Kota dan tabloid Cek & Ricek itu melegakan insan pers di Indonesia, dan sebenarnya juga menguntungkan masyarakat. Bukankah sejak era reformasi negara telah memberikan jaminan yang sangat tegas atas perlindungan kebebasan untuk menyatakan pendapat baik dengan lisan maupun tulisan sebagai hak konstitusional warga negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Adanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU Pemilu tersebut merupakan langkah mundur. Karena, pers sudah memiliki UU tersendiri, yaitu UU No 40/1999 yang tidak mengenal lembaga pembredelan dan penyensoran. Sehingga bila terjadi pelanggaran- pelanggaran terhadap oleh pers, cukup digunakan UU pers tersebut yang memang sudah disiapkan untuk memberikan sanksi kepada media, bukan berdasarkan UU yang lain. Begitu juga jika terjadi pelanggaran oleh lembaga penyiaran, untuk menjatuhkan sanksi sudah diatur dalam UU 32/2002.

Dewan Pers dibentuk justru untuk melindungi kebebasan pers. Lagi pula, Dewan Pers bukanlah penegak hukum yang dapat menjatuhkan sanksi, bukan lembaga judisial, tetapi merupakan lembaga mediasi untuk menyelesaikan persoalan akibat pemberitaan pers, yang kewenangannya sebatas memberikan pertimbangan moral, bukan sanksi hukum.(ahmad suroso)

Tajuk, Tribun Batam, Kamis, 26 Februari 2009

Tidak ada komentar: