Minggu, 15 Februari 2009

Fenomena Ponari Efek Diskriminasi Kesehatan

SAMPAI detik ini, masyarakat Indonesia masih dihebohkan dengan bocah cilik asal Jombang Jawa Timur, bernama Ponari yang tiba-tiba mendapat kemampuan untuk mengobati berbagai penyakit dengan sebuah batu yang dicelupkan ke dalam air minum. Akibat ekspos media massa yang luar biasa, dengan cepat pula puluhan ribu orang dari berbagai kota, khususnya di Jawa memadati dusun tempat tinggal Ponari di Jombang.

Kemampuan Ponari untuk menyembuhkan penyakit diakui oleh peneliti kesehatan tradisional Prof Dr dr Hariyadi Soeprapto, seperti dikutip Kompas, Kamis (12/2). Menurut Haryadi, fenomena pengobatan Ponari tak bisa hanya dianalisis dari sisi ilmiah. Semua orang seharusnya lebih bijaksana menghadapi fenomena Ponari ini, termasuk di dalamnya kemungkinan adanya kekuatan gaib pada diri Ponari yang tidak bisa dijelaskan dengan akal. Harus diakui bahwa masyarakat yang berduyun-duyun ke praktik Ponari melihat hal ini dari sisi kegunaan, dari sisi aksiologinya saja. Mereka tak butuh penjelasan ilmiah, mereka hanya ingin sembuh.

Itulah sebabnya, meskipun praktek pengobatan dukun cilik Ponari sudah memakan korban empat orang tewas terinjak-injak karena berdesakan saat antre di gang sempit menuju rumah Ponari tidak menyurutkan ribuan orang untuk datang berobat. Juga walaupun sudah diumumkan praktek pengobatan dukun cilik Ponari ditutup sejak beberapa hari lalu, orang tetap nekad menunggu, bahkan ada yang sampai berhari-hari menginap di rumah penduduk setempat agar bisa disembuhkan oleh Ponari.

Kita dibuat terpana. Mungkin saja Ponari atau batu ajaib yang ditemukan Ponari punya kekuatan gaib untuk bisa menyembuhkan penyakit. Tetapi ada pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena berduyun-duyunnya ribuan orang untuk berobat ke Ponari yang konon hanya memungut bayaran Rp 2.000 per orang.

Fenomena Ponari ini menguatkan asumsi bahwa keinginan masyarakat untuk sehat terhambat masalah keuangan sehingga pengobatan alternatif macam dukun cilik ini kian marak dan ramai didatangi. Cerita orang miskin di negeri ini "disandera" rumah sakit sudah biasa. Juga tak usah heran bila seorang ibu muda yang baru melahirkan tidak bisa membawa pulang bayinya dari klinik. Masalahnya sama, yaitu tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatan.

Kasus terbaru yang membuat nurani kita tersentuh, kisah seorang ayah yang terpaksa berjalan kaki 10 km dari rumah sakit ke rumahnya sambil menggendong jenazah anaknya yang masih berusia 2,5 tahun. Seperti diberitakan Tribun (15/2), Yakobus Anunut, meskipun sudah menunjukkan jaminan kesehatan untuk orang miskin (askeskin), tapi gara-gara tak punya uang Rp 300 ribu untuk sewa ambulance rumah sakit milik pemerintah, RSU Prof Dr WZ Johannes Kupang, Kamis (12/2) dinihari terpaksa membawa pulang jenazah anaknya berjalan kaki 10 km.

Mengapa kasus-kasus tersebut terjadi? Kalau kita runut akar utamanya sebenarnya adalah karena anggaran kesehatan sangat kecil dan sistem kesehatan yang diskriminatif. Dari APBN 2009 yang berjumlah Rp1.037,1 triliun, anggaran Departemen Kesehatan hanya Rp20,3 triliun atau 2,8 persen dari total APBN 2009. Angka ini jauh dari anggaran yang disarankan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 15 persen dari APBN. Ini "PR" bagi pemerintahan hasil pemilu 2009 untuk menaikkan anggaran kesehatan, khususnya untuk masyarakat bawah.

Sebab sampai sekarang, untuk melayani kesehatan dasar (untuk menyembuhkan warga sakit) pun belum tertangani semua. Ini menandakan bahwa harapan untuk memiliki rakyat yang sehat dan berkualitas jauh panggang dari api. Solusinya, antara lain memang Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sudah mencoba sejumlah terobosan. Di antaranya lewat kebijakan program Askeskin yang kini diganti menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Berobat gratis menjadi jalan pendek untuk melayani kesehatan kaum miskin. Menteri Kesehatan harus lebih tegas dan lebih berani untuk memperjuangkan nasib kesehatan kelas bawah. (ahmad suroso)

Corner, Tribun Batam Senin (16/2/2009)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wah, jujur kalau saya harus melempar pernyataan "Fenomena Ponari Efek Diskriminasi Kesehatan" pasti agak berat, entah iya entah tidak mungkin terlalu dini mengkambing hitamkan sesuatu dalam 'fenomena' !
hehehe,

tapi saya suka satu bagian ketika ponari lebih terlihat sebagai metafora, bukan paranoya !

sudahlah,
saya pikir ketika ponari dewasa, masyarakat sudah akan mulai dewasa pula, itu satu satunya hal yng pasti dalam kasus ini.

salam.