Sabtu, 07 Februari 2009

Ironi Demokrasi yang Kebablasan

DEMONSTRASI ribuan warga Tapanuli menuntut pemekaran Tapanuli Utara menjadi provinsi terpisah dari Sumatera Utara di gedung DPRD Sumut di Medan Selasa kemarin berakhir tragis. Ketua DPRD Sumut H Abdul Aziz Angkat tewas dihakimi massa pengunjukrasa pro pembentukan provinsi Tapanuli Utara. Massa yang beringas mengusung sebuah peti mati merangsek masuk ke dalam ruangan rapat paripurna, tempat Aziz tengah memimpin rapat. Mereka mengejar, mengeroyok Aziz sambil mengobrak- abrik ruang rapat, membuat suasana tak terkendali.

Peristiwa unjuk rasa yang berubah aksi anarkis sampai menelan korban jiwa petinggi wakil rakyat Sumut itu sangat kita sesalkan. Apalagi saat itu pihak aparat kepolisian sepertinya kurang tanggap dalam mengantisipasi tindakan massa yang anarkis. Menurut pihak Rumah Sakit Gleneagles Medan meninggalnya Azis akibat serangan jantung.

Terlepas dari faktor penyebab kematian korban lebih pada serangan jantung, tetapi seperti terlihat di tayangan televisi, Aziz terlihat diserang massa sejak dari ruang rapat paripurna di lantai 2 sampai ia digelandang turun ke halaman gedung dewan oleh beberapa petugas DPRD dan polisi, korban mengalami pemukulan bertubi-tubi.

Kalau pun alasan medis meninggalnya Aziz lebih disebabkan oleh serangan jantung, ini tidak bisa dijadikan alasan untuk 'meringankan' tindakan penganiayaan tersebut. Penyakit jantung tidak bisa dijadikan alasan kematian untuk kejadian ini, bagaimanapun tewasnya almarhum Azis adalah akibat penganiayaan alias pembunuhan.

Apapun alasannya, aksi anarki berbuntut pembunuhan itu tidak bisa ditolerir. Pihak kepolisian harus menindak pihak-pihak yang terlibat langsung dalam aksi pembunuhan tersebut. Ini adalan tindak pidana. Karena bila tidak, ini akan menjadi preseden buruk. Orang menjadi tidak akan takut lagi berbuat anarkis saat menyalurkan aspirasi.

Falsafah demokrasi memang menjamin kebebasan untuk menyatakan pendapat dan kritik termasuk lewat unjuk rasa, namun hendaknya dilakukan secara damai. Jangan sampai unjuk rasa berubah anarki. Karena ketika orang banyak berkumpul sebagai massa, suasana mudah berubah menjadi hiruk-pikuk, emosi, dan mudah tidak terkendali. Kepemimpinan model kerumuman ini potensial menimbulkan suasana chaos.

Azis telah korban dari kepemimpinan kerumunan. Kepemimpinan yang menghasilkan masyarakat kerumunan dengan ciri aura kemarahan, amuk, geram, dan kekerasan. Unjuk rasa yang kian marak dan disertai amuk massa belakangan ini memang dinilai telah banyak keluar dari rel demokrasi. Sebuah ironisme dari demokrasi.

Mengutip Sosiolog Michael Mafessoli, kepemimpinan kerumunan itu sangat potensial menimbulkan kerusuhan atau anarki. Di dalamnya acap terjadi keberingasan dan kemarahan akibat kepemimpinan kerumunan, yang umumnya lebih suka menghasut dan memotivasi bagi tindak kekerasan. Kerumunan massa dengan kepemimpinan kerumunan di dalamnya, jelas tidak bisa disebut demokrasi karena cenderung mengarah kekerasan.

Karena itu, menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan hal ini. Apalagi, peristiwa tersebut terjadi menjelang pesta demokrasi pemilu yang akan dimulai dengan kampanye terbuka pengerahan massa mulai pertengahan Maret nanti. Pemilu tahun ini pun juga rawan mengingat banyaknya kepemimpinan kerumunan di Indonesia, yang gemar menggosok dan memprovokasi massa ke arah kekerasan.

Peristiwa tragis ini pun menjadi pengalaman berharga bagi korps kepolisian khususnya, dan juga para aktivis dan simpatisan parpol yang sebentar lagi akan melangsungkan pesta demokrasi pemilu. Jangan sampai kejadian di DPRD Sumut itu terulang lagi di tempat lain. Marilah kita berdemokrasi dengan cara-cara yang lebih beradab dan mengedepankan hati nurani, bukan okol, dan emosi. Perlu diingat, jika sampai terjadi kekerasan dan bentrokan, kekerasan itu terjadi di antara kita dan kita.(ahmad suroso)

Tajuk Tribun Batam, 4 Februari 2009

Tidak ada komentar: