Rabu, 16 Januari 2008

Pepeling untuk Anakku

Pepeling untuk Anakku

Ketahuilah anak-ku
Rumah ini rumah singgah
Kuburan adalah rumah abadimu
dimana blatung akan menggerogoti jasadmu

Keelokan tubuhmu pun kini hanya TONG-TAI yang berjalan
Reputasimu, kebanggaanmu, kemegahanmu & kesombonganmu
hanya menggelapkan mata batinmu dari memandang Allah

Ingatlah anak-ku
Setiap debu dari nafas kehidupan rumah ini
ada hitungan di hadapan-Nya
Semua dipertanggungjawabkan

Jadi setiap laku lampah hidup ini
hanya sebagai sarana mengabdi
berjalan melaksanakan "Darmaning Satrio"

Batu ini keras anak-ku
namun dapat dipahat indah penuh tuah
jangan hatimu lebih keras dari batu ini
Cukup batu nisan indah yang tak bisa dipakai si empunya ini
sebagai "kaca benggolo" bagi hatimu

Yogya, 28 Mei 2007
Bapakmu

BSW Adjikoesoemo


Bait demi bait tulisan penuh makna itu terpahat pada Tetenger terbuat dari batu marmer berbentuk kotak bersegi panjang lebar 70 cm, tinggi satu tengah meter yang ditaruh di pojok ruang tamu rumah Adjiekoesoemo di perumahan Griya Mahkota, Jl Godean Yogyakarta. Di sisi sebelah kiri batu tersebut terdapat tulisan:
Cherrie Wijnschenk
Geb, 9 Juni 1857
Overl, 31 December 1934

Cherrie Wijnschenk inilah si empunya tetenger terbuat dari marmer, seorang warga Belanda yang tidak sempat memakai batu nisan tersebut untuk pusaranya. Justru Adji-lah yang berhasil memanfaatkan batu tersebut sebagai pepeling atau pengingat untuk anak-anaknya bahwa semua kekayaan, harta benda yang dimilikinya hanya sebagai alat untuk mengabdi kepada Sang Khalik, bukan sebagai tujuan.
"Dalam ceramah2 agama saya sering bilang bahwa kita umat Islam perlu kaya, termasuk sufi pun harus kaya. Tapi sekali-kali tidak boleh hati kita tertambat pada harta kekayaan kita. Nah supaya tidak dibilang 'jarkoni' (isa ngajari ora bisa nglakoni/bisa mengajari tetapi tidak bisa menjalani) maka saya ingin membuktikan saya pun juga bisa kaya. Tapi tujuan kita hidup bukan itu, melainkan hanya sebagai alat untuk berjihad di jalan Allah," kilah Adji suatu ketika pada penulis. Memang setiap malam Rabu dan Jumat, Adji selalu memimpin zikir yang diawali dengan memberi taushiyah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan amalan tasawuf.
Saya jadi teringat pada guru ruhaniku, seorang mursid thoriqoh di Jatim yang selalu menekankan pada jutaan murid-muridnya untuk untuk selalu memperbanyak mengingat Allah, dzikron katsiron, menjaga keseimbangan antara jasmani dan ruhani,  antara syariat dan hakekat, antara dhohir dan batin, antara fikir dan rasa, antara aqal dan qalbu, antara iman dan kemanusiaan untuk menuju sempurnanya hidup.
Selama ini mungkin masih banyak orang awam yang berpikir bahwa tasawuf hanya memikirkan akhirat dan menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi/fana. Mereka pekerjaannya hanya berzikir, munajat terus pada Allah agar dapat makrifatullah.  Namun pikiran itu tidaklah benar. Karena, paling tidak yang saya lihat sendiri, guru saya meskipun dikenal sebagai mursid tasawuf tetapi juga memiliki kekayaan yang nilainya mungkin ratusan miliar rupiah, mulai dari aset gedung- gedung di pondok pesantrennya yang luasnya mencapai puluhan hektar sampai menjadi komisaris di beberapa perusahaan, termasuk perusahaan Mitra Sigaret PT HM Sampurna. Di Cilegon konon juga ada seorang mursid thoriqoh yang memiliki perusahaan baja bernilai triliunan.
Lalu makna apa yang bisa dipetik dari "pepeling" yang dibuat oleh Adjikoesoemo? (ahmad suroso/bersambung).

Tidak ada komentar: