PENGANIAYAAN yang dilakukan empat orang lelaki tak dikenal terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun terus menjadi perhatian publik dan media massa sepekan terakhir ini. Simpati juga mengalir termasuk dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat tinggi negara yang meluangkan waktu menjenguk Tama di RS Asri Jakarta Selatan. Semuanya mengutuk sembari meminta kepolisian segera dapat menangkap pelakunya dan menuntaskan aksi teror itu .
Tama sendiri kondisi kesehatan sudah dinyatakan membaik, sehingga Selasa (13/7 sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Begitu keluar dari rumah sakit, pegiat antikorupsi yang getol membongkar dan melaporkan skandal rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi (Pati) Polri bernilai ratusan miliar ke KPK itu langsung meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Mengapa, kasus Tama menjadi terkesan sangat luar biasa. Padahal, dilihat dari kejadiannya, tak jauh berbeda dengan peristiwa kriminal lainnya yang hampir setiap hari terjadi di Tanah Air. Jawabnya, tak lain karena terkait dengan figur dan konteks. Bukan pada figur orangnya (Tama), melainkan pada institusinya, yakni Indonesia Corruption Watch (ICW), yang selama ini dikenal sangat kritis terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Kasus tersebut dikaitkan dengan konteks pengungkapan skandal rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi (Pati) Polri. Kasus itu juga dihubungkan dengan kejadian sebelumnya, yakni pelemparan bom molotov di kantor Tempo Jakarta, pasca laporan Tempo soal rekening gemuk Pati Polri. Sementara ICW secara aktif terus melaporkan dugaan rekening mencurigakan Pati Polri ke KPK dan mendesak lembaga tersebut segera menindaklanjuti.
Dukungan Presiden SBY dan sejumlah pejabat tinggi negara itu patut diapresiasi. Sebab kunjungan mereka merupakan pesan yang jelas bagi Polri untuk secara serius mengusut tuntas kasus ini, termasuk menyeret aktor dibalik teror terhadap aktor dibalik pemukulan itu.
Tidak menutup kemungkinan dalam dua kasus teror ini ada oknum yang mengail di air keruh untuk membenturkan institusi Polri, ICW dan pers. Tetapi, kedua insiden yang saling berdekatan waktunya itu sulit jika tak dikaitkan dengan pemberitaan rekening gendut milik beberapa Pati Polri. Karena Tama-lah yang melaporkan rekening gendut milik jenderal polisi ke KPK.
Bukan tidak mungkin ada oknum polisi yang merasa terusik dengan pemberitaan rekening gemuk serta langkah ICW yang getol mendesak KPK menangani kasus rekening tak wajar sejumlah jenderal, lalu bertindak anarkis. Namun Kemungkinan itu sudah dibantah tegas Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri.
Justru disinilah tantangan yang harus dijawab oleh polisi, Polri harus secepatnya dapat mengusut tuntas aksi teror tersebut untuk membuktikan bahwa teror tak terkait dengan institusi Polri ataupun pemberitaan rekening gendut Pati Polri.
Adalah sangat anomali, bila Presiden membesuk korban penganiayaan aktifis ICW tanpa kemampuan Polri untuk membongkar para peneror. Lebih dari itu, baik Presiden maupun kepolisian tidak dapat memastikan asal usul rekening gendut perwira polri. Kunjungan SBY tanpa mampu mengungkap kedua hal tersebut adalah tak lebih dari upaya pencitraan politik.
Agar tidak terkesan hanya untuk pencitraan politik, maka Presiden harus mendeadline Kapolri untuk secepatnya menangkap penganiaya Tama. Bila selama ini Polisi bisa dengan cepat menangkap dan mengungkap jaringan teroris yang tertata rapi, tentu bukanlah hal sulit untuk menangkap pelaku kekerasan terhadap Tama dan otaknya. (*)
corner tribun, 14 Juli 2010
Sabtu, 31 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar