Sabtu, 31 Juli 2010

Perang Dua Pendekar Hukum

BANGSA Indonesia, terutama para pemimpinnya kini seperti tidak punya pegangan di dalam perpolitikan Indonesia. Politiknya sudah demikian mengkristal, artinya yang buruk dan yang baik sudah jelas di depan mata. Negeri ini terkesan sudah kacau, ketika melihat situasi saat ini seperti polisi menangkap polisi, jaksa menuntut jaksa, hakim mengadili hakim.
Mengutip pendapat Rocky Gerung,, Ketua Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) seperti dilansir laman www.perspektifbaru.com (27/6/2010) situasi yang lebih formil yaitu masyarakat di daerah juga sudah semakin tribal seperti perang antarsuku, perang antarkeluarga. Di tingkat yang lebih formil lagi, DPR semakin finansial. Mereka tidak bisa berpikir kalau tidak ada uang. Yang paling parah, presiden makin feodal. Lengkaplah kondisi kengerian politik kita.
Dan yang paling gres munculnya perseteruan antara Jaksa Agung Hendarman Supanji dengan mantan Menteri Hukum dan HAM sekaligus mantan Mensesneg Yusril Izha Mahendra. Kedua pendekar hukum Indonesia itu hari-hari ini saling gertak dan mengancam untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka ke lembaga peradilan.
Perseteruan dua ahli hukum itu bermula dari penetapan Kejaksaaan Agung kepada mantan Menhuk dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum) yang merugikan keuangan negara Rp 420 miliar, pekan lalu. Bersama Yusril, ditetapkan juga sebagai tersangka dalam kasus ini Hartono Tanoesudibjo yang kini kabur ke luar negeri.
Yusril yang ditetapkan sebagai tersangka menolak diperiksa diperisa jaksa, karena menganggap jabatan Jaksa Agung yang disandang Hendarman Supanji ilegal. Yusril juga menuding Jaksa Agung Hendarman Supandji menerima suap sebesar 3 juta dollar AS dan Mensesneg Sudi Silalahi menerima 10 juta dolar AS dari Hartono Tanoesudibjo.
Dia berargumen, jabatan Jaksa Agung Hendarman sudah selesai bersamaan berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I pada 20 Oktober 2009. Karena saat pelantikan KIB II Hendarman tidak ikut dilantik sebagaimana anggota kabinet lainnya. Karena tak sah, Yusril menilai, penetapan dia sebagai tersangka dalam kasus Sisminbakum juga tidak sah.
Gerah jabatannya dituding ilegal, Jaksa Agung Hendarman akhirnya menantang Yusril menggugat secara hukum ke lembaga peradilan. Hendarman berargumen jaksa agung yang disandangkannya berpedoman pada UU Kementerian Tahun 2008, bukan UU Kejaksaan. Dalam UU Kementerian disebutkan lembaga Jaksa Agung adalah lembaga nonkementrian. Jadi tidak masuk di dalam ranahnya kabinet. Bukan menteri, tapi sederajat dengan menteri. Hendarman keukeuh mengatakan jabatannya sampai detik ini legal karena keppres pengangkatannya oleh Presiden tidak pernah dicabut.
Sementara menurut Yusril, saat membentuk pemerintahan dengan nama Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden SBY seharusnya mengangkat kembali Hendarman jaksa agung. Faktanya sampai sekarang Hendarman tak pernah diangkat lagi, maka kedudukannya menurut Yusril ilegal. Karena itu Yusril meladeni tantangan Hendarman dengan menggugat jabatan jaksa agung yang disandang Hendarman dengan mengajukan permohonan uji materiil Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (6/7).
Ketimbang masuk ke ranah politik yang sumir dan berdebat di luar jalur resmi, sebaiknya Jaksa yang menangani kasus ini tetap berpegang pada aspek materiil kasusnya saja. Kejaksaan tidak usah gentar dengan gebrakan Yusril yang kini sudah berstatus tersangka. Biarlah nanti Pengadilan yang akan membuktikan apakah mantan Menhuk dan HAM itu terlibat atau tidak dalam dugaan korupssi Sisminbakum yang merugikan negara Rp 420 miliar. Bagaimanapun supremasi hukum harus ditegakkan di bumi pertiwi ini. Para ahli hukum harus memberi contoh dalam mematuhi hukum. (*)

corner tribun, 8 Juli 2010

Tidak ada komentar: