Sabtu, 31 Juli 2010

Korupsi Sistemik di Lahan Basah

MARAKNYA korupsi dan ulah culas yang dilakukan oknum pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, misalnya Gayus HP Tambunan, Bahasyim Assyifie, penanganan kasus pajak Paulus Tumewu, pemalsuan data- data pajak, juga kasus penyimpangan yang terjadi di Ditjen Bea Cukai membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kecewa dan geram.
Kekesalannya itu dicurahkan dalam pengarahannya kepada jajaran Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai di Istana Negara, Jakarta, Rabu (21/7). Presiden menilai, masih adanya petugas pajak yang melakukan kejahatan luar biasa sehingga merugikan negara itu sebagai perbuatan kreatif tetapi keliru.
Oleh sebab itu, SBY memberikan tiga instruksi kepada kedua Ditjen tersebut. "Ini adalah kontrak dan pakta integritas antara saudara dan saya. Tidak perlu menunggu sampai reformasi selesai, sekarang juga," perintah SBY di depan para petinggi Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Tiga instruksi itu; pertama, segera menghentikan segala bentuk kejahatan dan penyimpangan perpajakan, kepabeanan dan cukai. Kedua, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai harus meneruskan reformasi birokrasi demi meningkatkan kinerja mereka. Hal yang perlu dibenahi terutama pelayanan publik yang cepat dan murah.
Ketiga, SBY meminta Menteri Keuangan Agus Martomardoyo mendukung pembenahan kinerja dan menjalankan reformasi birokrasi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Untuk mengawasi pelaksanaan ketiga instruksi tersebut, Presiden akan memantau dari dekat dengan bantuan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Kegusaran Presiden SBY bisa dimaklumi mengingat di dua instansi 'basah' tersebut belakangan ini memang sedang menjadi sorotan publik, khususnya penyimpangan di Ditjen Pajak. Terutama sejak terungkapnya kasus maker pajak Gayus yang bukan hanya dilakoni seorang diri, tetapi masalahnya ditengarai sudah menggurita. Peran Gayus membuktikan ada masalah sistemik di Ditjen Pajak.
Perintah Presiden SBY itu merupakan warning keras bagi aparat petugas di dua direktorat jenderal yang berada di lingkungan Kemenkeu tersebut untuk tidak mencoba-coba melakukan kejahatan dan penyimpangan yang berpotensi merugikan negara. Sebab bila ini diabaikan maka siap-siap untuk bernasib sama seperti Gayus dan aparat pajak lainnya yang harus merasakan dinginnya tembok rumah tahanan.
Seperti ramai diberitakan di media massa, pasca tertangkapnya Gayus Tambunan, beberapa aparat Ditjen Pajak di berbagai daerah menyusul ditangkap polisi maupun KPK, antara lain Bahasyim Assyifie di Jakarta, dan beberapa aparat pajak di Surabaya dengan nilai kerugian negara mencapai ratusan miliar, pegawai pajak di Bekasi dan lainnya.
Bahkan KPK seperti disampaikan Juru Bicara KPK, Johan Budi, di Kantornya, Kamis (22/7), kembali menjebloskan empat tersangka kasus suap pajak ke tahanan. Mereka adalah tiga tersangka pemeriksa pajak Kantor Pajak Bandung I, Jawa Barat dan mantan Direktur Kepatuhan Bank Jabar Herry Achmad Buchori terkait kasus dugaan suap Bank Jabar ke pemeriksa pajak Kantor Pemeriksa Pajak Bandung I, pada 2001-2002.
Tiga orang pemeriksa pajak itu, yakni Roy Yuliandri, Muhammad Yazid, dan Dien Rajana Mulya. Dalam kasus ini, Buchori bersama mantan Dirut Bank Jabar, Umar Syarifuddin, diduga memberikan uang suap Rp 2,5 miliar kepada mantan Kepala Pemeriksa Pajak Bandung I, Edi Setiadji, pada 2004 sebagai imbalan atas pengurangan jumlah nilai pajak Bank Jabar pada 2001 dan 2002. Sedangkan, Yazied, Dien, dan Buchori diduga bersama-sama dengan atasannya Edi Setiadji ikut menikmati pemberian, masing-masing Rp550 juta. Sebelumnya, KPK juga telah menahan mantan Supervisor Pemeriksa Pajak Dedy Suwardi dan Edi Setiadi. Artinya, KPK telah menahan seluruh tersangka yang terkait kasus ini.
Sebuah peringatan yang patut menjadi bahan perenungan bagi seluruh aparat birokrasi, bukan hanya yang berada di lingkungan kedua institusi tersebut, tetapi juga instansi pemerintah lainnya. (*)

corner tribun, 23 Juli 2010

Tidak ada komentar: