MASA depan Komisi Yudisial (KY), badan yang eksistensinya diperintahkan konstitusi terancam mengalami kevakuman. Pasalnya, meskipun usia komisioner KY jilid I (2005-2010) hanya tersisa 28 hari lagi, tetapi proses seleksi komisioner baru kenyataannya masih pada tahap pendaftaran bakal calon.
Padahal jika mengacu kepada UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial, idealnya proses seleksi memakan waktu hingga 6 bulan. Dengan tahapan seleksi saat ini, bisa dipastikan lembaga ini akan mengalami kekosongan komisioner yang akan demisioner pada 2 Agustus 2010 mendatang. Kekhawatiran itu antara lain dikemukakan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) saat menggelar konferensi pers di Jakarta, beberapa hari lalu.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), LSM yang tergabung dalam koalisi ini, berbeda halnya dengan nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berada di ujung tanduk karena ulah perlawanan koruptor, nasib KY justru terancam karena ketidakseriusan pemerintah. Dalam hal ini Presiden dinilai telah melalaikan kewajiban konstitusionalnya.
Koalisi mencatat, terdapat tiga fakta yang menunjukkan kelalaian Presiden dalam seleksi Komisioner KY. Pertama, pembentukan pansel yang terlambat dari jadwal yang semestinya. Pansel yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 seharusnya terbentuk pada Februari 2010, tetapi kenyataannya baru terbentuk pada 23 April 2010. Parahnya lagi, Presiden baru sadar akan tugas dan tanggungjawabnya, setelah Koalisi Pemantau Peradilan mendesak Presiden untuk segera membentuk pansel komisioner KY.
Kelalaian lainnya terjadi ketika anggaran pansel sejumlah Rp 6 miliar yang tak kunjung diturunkan. Pemerintah juga dinilai tidak adil memberi bobot perhatian terhadap komisi ini. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi, panitia seleksi diketuai menteri. Sebaliknya untuk Komisi Yudisial secara eksplisit diperintahkan konstitusi ketua panselnya hanya pejabat setingkat dirjen.
Tak kunjung diturunkannya anggaran untuk pansel, pemerintah berdalih bahwa tidak ada biaya yang tersedia sesuai dengan jadwal. Hal itu mengesankan pemerintah tidak mendukung proses pembersihan lingkungan peradilan dari praktik mafia hukum. Anehnya, di tengah biaya yang tidak kunjung turun untuk rekrutmen anggota Komisi Yudisial, pemerintah boros membentuk badan-badan ad hoc yang tidak ada dalam konstitusi dan undang-undang.
Padahal, jika terjadi kekosongan komisioner, maka akan berdampak pada proses pengawasan dan pemeriksaan para hakim. Pengaruhnya akan sangat signifikan dalam kehidupan bernegara kita. Kerja-kerja KY sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi bisa tersendat.
Tugas KY tersebut seperti tercantum dalam Pasal 24 (b) UUD 1945 disebutkan, 'Komisi Yudisial bersifat mandiri, yang berwenang mengusulkan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim'.
Karena itulah, kita mengamini desakan sejumlah LSM yang tergabung dalam KPP -- Indonesia Legal Roundtable (ILR), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)--, yang mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempercepat proses seleksi calon pimpinan KY yang tinggal 4 minggu lagi.
Mereka memberi tenggat waktu hingga 1 Agustus 2010 agar komisioner KY sudah terpilih untuk mengisi kekosongan jabatan tujuh anggota KY pada tanggal itu. Tanpa mengurangi kualitas seleksi, pansel harus lebih aktif dan lebih berinisiatif menyiasati proses seleksi yang tinggal 28 hari lagi.
Apalagi bila mengingat sepinya peminat yang mendaftar sebagai calon anggota KY, sampai masa pendaftaran diperpanjang dua kali. Pada bulan pertama perpanjangan hingga 18 Juni 2010, jumlah pendaftar jsmus mencapai 100-an orang. Sehingga pendaftaran calon anggota komisi itu harus diperpanjang satu bulan lagi hingga 18 Juli 2010. (*)
corner, tribun, 5 Juli 2010
Sabtu, 31 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar