LEDAKAN tabung gas elpiji kembali terjadi di Bekasi,. Jabar, Minggu (4/7). Ledakan yang dipicu kebocoran tabung elpiji itu selain merusakkan sedikitnya tiga rumah warga juga mengakibatkan tiga orang luka bakar (Kompas, 5/7). Musibah ini menambah panjang daftar ledakan tabung gas elpiji terutama ukuran 3 kg yang membuat masyarakat semakin resah.
Bagaimana tidak, sejak program konversi minyak tanah ke gas digulirkan pemerintah pada 2007, lebih dari seratus ledakan tabung elpiji terjadi di tengah masyarakat. Tahun 2007 ada lima kasus dengan empat korban luka, meningkat menjadi 27 kasus dengan dua korban meninggal dunia dan 35 korban luka pada 2008. Kasus ledakan bertambah menjadi 30 kasus dengan 12 korban meninggal dunia dan 48 korban luka pada 2009.
Sementara pada 2010, sampai Juni tercatat ada 33 kasus ledakan dengan delapan korban meninggal dunia dan 44 korban luka. Angka yang terdata itu sudah membuat kita miris. Padahal dipastikan banyak yang belum terdeteksi. Berbagai gangguan dan kekhawatiran yang membuat masyarakat merasa dirugikan itu harusnya menggugah pemerintah dan Pertamina.
Memang, kebijakan konversi minyak tanah ke gas merupakan kebijakan tepat. Selain gas lebih ramah lingkungan, lebih praktis dan ketersediaannya semestinya lebih terjamin mengingat jumlah cadangan gas di perut bumi Nusantara jauh lebih besar daripada minyak. Mengutip pengamat energi Kurtubi, sekitar 50 juta rumah tangga sudah dikonversi ke gas, subsidi minyak tanah bisa dihemat sekitar Rp 25 triliun setiap tahun.
Namun, kian maraknya ledakan tabung elpiji belakangan ini jelas mengindikasikan adanya sesuatu yang salah dalam implementasi program ini. Ledakan baru bisa terjadi jika ada tabung yang bocor dan tersambar api. Gas bisa keluar dari badan atau kepala botol, bisa lewat selang, regulator, atau pentil karet. Api yang menyambar gas bocor bisa datang dari pemakai yang bermaksud menyalakan kompor, benda panas, lampu listrik yang ada di ruangan, dan sebagainya.
Jadi masalahnya bersumber pada kualitas tabung gas elpiji ukuran 3 Kg beserta komponennya yang rendah. Karena, hampir tak pernah terdengar kasus ledakan tabung gas ukuran 12 kg. Tak heran bila tabung elpiji 3 kg kini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat kelas bawah.
Persoalan bertambah rumit lagi, karena meskipun Pertamina telah menyalurkan sekitar 45 juta tabung gas 3 kg, pekan lalu satuan tugas yang beranggotakan berbagai kementerian menemukan ada sekitar 16 juta tabung gas elpiji 3 kg ilegal alias tidak ber SNI sudah beredar di masyarakat.
Masyarakat berhak menuntut pemerintah dan Pertamina untuk memberi garansi karena merupakan program nasional. Karena itu kita mendesak pemerintah segera menarik seluruh tabung LPG 3 kilogram yang beredar di masyarakat, dan mengganti dengan tabung yang baru yang sudah aman.
Pemerintah tidak perlu malu-malu mengakui kesalahannya dengan menarik LPG 3 kilo karena sudah banyak korban di masyarakat. PT Pertamina sendiri seperti disampaikan juru bicara Pertamina, Wianda Purponegoro Jumat (2/7) lalu sudah siap menarik tabung gas 3 kg beserta komponennya (selang dan regulator) yang beredar di masyarakat.
Namun harus juga disadari selain persoalan ketidaklayakan tabung gas dan komponennya, minimnya pemahaman masyarakat juga menjadi penyebab maraknya ledakan tabung gas. Untuk itu, Pertamina harus meningkatkan sosialisasi pemakaian tabung gas dengan memanfaatkan semua media massa yang bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Antara lain, sosialisasi agar tabung gas elpiji seharusnya diletakkan di dapur yang memiliki ventilasi udara sehingga bila terjadi kebocoran gas elpiji tidak terkonsentrasi di dapur tetapi dapat mengalir keluar. Bila perlu, pemerintah menyediakan cakram padat atau compact disc (CD) berisi materi sosialisasi yang dibagikan ke setiap RT agar dapat diteruskan ke setiap keluarga. (*)
corner tribun, 6 Juli 2010
Sabtu, 31 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar