Sabtu, 31 Juli 2010

Ledakan Gas Tanggung Jawab Pemerintah

WAJAH Ridho, bocah yang masih berusia 4 tahun itu rusak setelah terkena ledakan tabung gas ukuran 3 Kg. Tabung itu meledak saat Susi Hariani, ibunya, sedang memasak untuk menyiapkan sarapan untuknya, 24 Maret 2010. Akibat ledakan tabung gas tersebut, bukan hanya sakit fisik saja ya ia alami, namun Ridho diyakini juga mengalami tekanan psikologis.
Ridho dan Susi masih bernasib baik. Berkat keberaniannya datang langsung ke Istana Negara untuk meminta bantuan presiden demi kesembuhan anaknya, Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih yang diutus SBY menjenguk Ridho akhirnya menjamin semua biaya operasi akan ditanggung oleh Kemenkes dan Pertamina.
Sebelumnya ada begitu banyak korban, termasuk anak-anak yang tidak dapat diselamatkan akibat ledakan tabung gas yang tentu amat mengerikan itu. Sudah begitu, para korban tabung gas meleduk itu harus menanggung sendiri biaya pengobatan dan kerugian yang dialaminya.
Dari hari ke hari, pemberitaan ledakan gas dan air mata sepertinya tak pernah putus menghiasi media kita dalam kurun waktu empat bulan terakhir ini. Media melaporkan cerita pilu korban ledakan tabung gas dari berbagai daerah yang putus asa memikirkan nasibnya, bingung memikirkan biaya, siapa yang harus menanggung akibatnya.
Tabung gas mirip buah melon yang pada masa-masa awal diberlakukannya konversi minyak tanah menjadi gas begitu dibanggakan -- selain karena praktis dan lebih menghemat biaya dan bisa menekan subsidi pemerintah -- itu kini justru menghantui puluhan jutaan masyarakat. Catatan Pertamina, setidaknya 50 juta masyarakat Indonesia sudah menggunakan tabung gas ukuran 3 Kg.
Ironisnya, meski hampir setiap hari terjadi kasus tabung gas yang bocor meledak, antarinstansi pemerintah sejauh ini -- kecuali untuk kasus Ridho-- hanya bisa saling menyalahkan, atau hanya mengaku prihatin atas maraknya insiden tabung gas meledak yang menimpa rakyatnya. Tetapi soal bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen tabung gas, semuanya cenderung mengelak.
Untuk menjawab persoalan itu, didalam ilmu hukum ada teori yang disebut teori risiko. Teori itu lahir mungkin bisa untuk menjawab persoalan yang selama ini tidak dapat dijawab oleh teori kesalahan ketika ada orang yang sungguh dirugikan oleh orang lain yang bersifat onrechtmatige (melawan hukum), maka ia berhak atas ganti rugi.
Menurut teori risiko tersebut, kewajiban untuk menanggung risiko tidak didasarkan pada kesalahan. Teori risiko ini telah digunakan oleh hakim dalam memutus perkara ”de Lekkende Kruik” atau ‘JUMBO’ yang sangat terkenal (Arrest HR 2 Februari 1973). Dalam kasus tersebut pada intinya HR menyatakan bahwa perusahaan J yang memproduksi dan telah melempar ke pasaran produk berupa ranjang bayi dengan alat pemanas (bedkruik). Karena alat pemanas itu bocor sehingga mengakibatkan luka pada bayi Tuan U, berarti produsennya harus siap bertanggung jawab untuk memikul risiko atas segala kemungkinan timbulnya kerugian yang disebabkan oleh produk tersebut (Disertasi Sari Murti, 2007: 175-177).
Kalaupun ada berbagai spekulasi yang berkembang selama ini, seperti adanya kejahatan pemalsuan tabung yang tidak memenuhi standar, kejahatan berupa pemindahan isi gas dari tabung gas 3 kg yang bersubsidi ke dalam tabung gas 12 kg yang tidak bersubsidi sehingga mengakibatkan kerusakan yang membuat tabung tetap ‘ngesos’ walau regulator telah terpasang atau berbagai spekulasi lainnya, maka hendaknya hal itu tidak menjadi excuse untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab.
Memang, selain faktor alat (kompor, tabung dan regulator) masih ada faktor manusia yang turut andil dalam persoalan ini. Bisa jadi masyarakat belum cukup teredukasi dalam penggunaan kompor dan tabung gas. Namun bagaimana pun pemerintah yang telah membuat kebijakan konversi minyak tanah ke gas harus bertanggung jawab atas musibah yang menimpa rakyatnya. (*)

corner tribun, 24 Juli 2010

Tidak ada komentar: