Sekjen PDIP Ditelepon 30 Menit sebelum Aksi Penyerbuan
PERNYATAAN Sekjen PDIP Pramono Anung yang mengaku 30 menit sebelum kejadian penyerbuan ratusan massa Front Pembela Islam (FPI) ke kelompok aksi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monas, Jakarta, ditelepon oleh mantan Kadiv Humas Polri Irjen Saleh Saaf (kini Kabag Intelkam Mabes Polri-red) menarik untuk dicermati.
Sebelum acara dialog sehari Bedah UU Pemilu DPR, DPD, DPRD, di Jakarta, Rabu (4/6), Pramono mengaku mendapat telepon dari Kabag Intelkam Mabes Polri Irjen Saleh Saaf. Karena telepon itulah PDIP tidak ikut tercoreng akibat rusuh Monas 1 Juni lalu. Pada hari itu, Monas dipenuhi massa berbagai elemen, termasuk ribuan kader PDIP yang memperingati Hari Lahir Pancasila.
Menurut Pramono, 30 menit sebelum kejadian (kerusuhan), ia ditelepon Saleh Saaf yang meminta agar massa PDIP ditarik. Karena akan ada kelompok lain yang datang. Akan ada kejadian. Kalau ada kejadian rusuh, PDIP akan tercoreng. Sekjen PDIP itu lalu mengumpulkan anggota dan akhirnya massa PDIP bisa ditarik.
Dari informasi itu, Pramono menyadari bahwa polisi sejatinya sudah mengetahui akan ada dua massa yang berhadapan. Pram menyesalkan polisi tidak mengantisipasi serangan massa FPI pada massa AKKBB. Dari cerita Pramono tersebut menunjukkan bahwa potensi akan adanya kerusuhan di Monas itu sebenarnya sudah sejak awal diketahui oleh intelkam polisi. Wajar bila muncul pertanyaan, mengapa polisi membiarkan aksi kekerasan itu terjadi, dan baru bertindak setelah jatuh korban.
Bila benar apa yang dikatakan Pramono, tentu ini sangat disesalkan. Bagaimana mungkin, aparat kepolisian yang seharusnya mencegah terjadinya kerusuhan, tetapi ini ada kesan justru membiarkan saja. Padahal, bila polisi cepat bertindak, bentrokan antara massa FPI dan massa AKKBB sebetulnya bisa dihindari.
Tetapi fakta di lapangan menunjukkan adanya pembiaran aksi anarkis itu terjadi di area publik yang berada di depan Istana Negara. Ini tentu patut disayangkan. Karena aksi kekerasan itu sebagaimana kita saksikan, telah memancing semakin keruhnya konflik horisontal di ibukota. Pada saat bersamaan, eskalasi konflik horisontal itu juga telah meluas ke sejumlah wilayah di Indonesia.
Masyarakat pun bertanya mengapa polisi seperti tak berdaya. Ada apa ini?" Tudingan tak sedap pun terlontar dari Sosiolog Indonesia, Tamrin Amal Tomagola perihal keberadaan ormas-ormas di Indonesia, yang ditunggangi mantan penguasa orde baru dari pihak militer dan kepolisian.
Untuk diketahui Tamrin di kolom opini sebuah harian nasional menyebut-nyebut bahwa sejumlah ormas yang beredar di masyarakat sengaja dibentuk pihak intelijen, militer dan kepolisian pada era Orde Baru. Dalam tulisannya bertajuk Anak Macan yang keblinger, Tamrin secara gamblang menyebut bahwa sinyalemen itu mencuat lantaran adanya nama beberapa mantan penguasa pada masa orde baru dari pihak militer dan kepolisian sebagai pendiri dan pengurus FPI. Tanpa menyebutkan nama, lebih lanjut Tamrin mendesak mantan penguasa Orde Baru ini untuk segera mengambil jarak dan menegaskan diri tidak lagi menjadi pelindung FPI.
Menanggapi tudingan tersebut, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto, usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di kompleks Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/6) kepada pers hanya berujar singkat, "Saya baru dengar. Kalau kasih informasi yang lengkap.Kalau beropini ya harus didukung bukti-bukti secara hukum".
Akhirnya kita hanya bisa berharap, konflik horisontal dapat secepatnya diakhiri. Kasihan masyarakat yang sudah letih dibelit kenaikan harga BBM, diikuti melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Masyarakat sudah cerdas dan bisa koreksi, siapa yang salah dan siapa yang harus dibenarkan. Untuk itu polisi harus bertindak tegas terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran hukum. (ahmad suroso)
Tribun Corner, Tribun Batam, 5 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar